Co-pas dengan sedikit editan yang bercetak tebal. 
cinta
 itu sebuah misteri yang membuat seseorang akan berdecak kagum. karena 
apa?. cinta adalah sebuah do'a yang diam-diam kita bisikkan pada-Nya . 
saat kelelahan mendera, saat rindu membuncah, cukup kita adukan saja 
pada-Nya. Lalu aamiin-kan sepenuh jiwa. Dan, suatu saat, Dia akan 
menjawab segala bisikkan dan aduan kita (sunflower muslimah, 2012). 
selamat membaca, dan diambil hikmahnya.
![]()  | 
| sesuatu banget pict-nya..ahaha | 
Bismillahirrahmanirrahiim
 ... 
Pada suatu hari yang gelap di musim  gugur 1942, udara dingin, 
sangat dingin. Hari itu tak ada bedanya dengan  hari-hari lain di kamp 
konsentrasi Nazi. Aku berdiri menggigil dalam  pakaian compang-camping 
yang tipis, masih tak percaya bahwa mimpi buruk  ini benar-benar 
terjadi.
Aku hanya seorang anak laki-laki.  Seharusnya 
aku bermain-main bersama kawan-kawanku; seharusnya aku pergi  ke 
sekolah; seharusnya aku bersemangat menyongsong masa depanku, ketika  
aku akan menjadi dewasa, menikah, dan membangun keluargaku sendiri.  
Tetapi, semua impian itu hanya pantas untuk mereka yang masih hidup, dan
  aku bukan lagi salah satu dari mereka. Aku nyaris mati, mencoba  
bertahan hidup dari hari ke hari, dari jam ke jam, sejak aku diseret  
dari rumahku dan dibawa ke sini bersama puluhan rIbu orang Yahudi  
lainnya. Apakah besok aku masih hidup? Apakah malam ini aku akan dibawa 
 ke kamar gas?
Aku berjalan mondar-mandir di dekat 
pagar  kawat berduri, mencoba menghangatkan tubuhku yang kedinginan. Aku
 lapar,  tetapi sudah sejak lama aku kelaparan, lebih lama dari yang 
ingin  kuingat-ingat. Aku selalu kelaparan. Makanan yang layak 
sepertinya hanya  ada dalam mimpi. Setiap hari semakin banyak di antara 
kami menghilang  begitu saja, masa lalu yang bahagia tampak semakin 
samar. Aku kian  tenggelam dalam keputusasaan.
Tiba-tiba,
 aku melihat  seorang anak perempuan berjalan di balik pagar kawat 
berduri. Anak itu  berhenti dan memandangku dengan mata sedih, mata yang
 seakan berkata  bahwa dia mengerti, bahwa dia juga tidak bisa menemukan
 jawab mengapa  aku ada di sini. Aku ingin membuang pandang, aku malu 
dan canggung  karena anak perempuan asing itu melihatku dalam keadaan 
seperti ini.  Tetapi, aku tak kuasa mengalihkan mataku dari matanya.
Kemudian
  dia merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebutir apel merah. Apel yang 
 cantik, merah kemilau. Sudah berapa lamakah sejak terakhir kalinya aku 
 melihat apel seranum itu?! Dengan waspada dia menoleh ke kanan dan ke  
kiri, lalu sambil tersenyum penuh kemenangan cepat-cepat melemparkan  
apel itu melewati atas pagar. Aku lari memungutnya, memeganginya dengan 
 jari-jariku yang gemetar dan membeku. Dalam duniaku yang penuh 
kematian,  apel itu menjadi lambang kehidupan, lambang cinta. Aku 
mengangkat  wajahku dan melihatnya menghilang di kejauhan.
Esok
  harinya, aku tak dapat menahan diri—pada waktu yang sama aku berdiri 
di  tempat yang sama, di dekat pagar. Apakah aku gila mengharapkan dia  
datang lagi? Tentu saja. Tetapi, di dalam hati aku bergantung pada  
seiris harapan tipis. Dan, sepantasnyalah, aku hanya menggantungkan harapan pada Dia yang Maha Pencipta. 
Sekali
 lagi, dia datang. Sekali  lagi, dia membawakan sebutir apel untukku, 
melemparkannya lewat atas  pagar sambil tersenyum manis seperti kemarin.
 Kali ini apel itu  kutangkap, lalu kupegang tinggi-tinggi agar dia 
melihatnya. Matanya  berbinar. Apakah dia mengasihaniku? Mungkin. Aku 
tidak peduli. Aku cukup  senang bisa memandangnya. Dan untuk pertama 
kalinya sejak sekian lama,  aku merasa hatiku bergetar karena luapan 
perasaanku.
Tujuh  bulan lamanya kami bertemu seperti 
itu. Kadangkadang kami bertukar  kata. Kadang-kadang, hanya sebutir 
apel. Tetapi, bukan hanya perutku  yang diberinya makanan. Dia bagaikan 
malaikat dari surga. Dia memberi  makanan untuk jiwaku. Dan entah 
bagaimana, aku tahu aku juga memberinya  makanan.
Suatu
 hari, aku mendengar kabar mengerikan: kami  akan dipindahkan ke kamp 
lain. Itu bisa berarti kiamat bagiku. Yang  jelas, itu merupakan akhir 
pertemuanku dengan kawanku itu. Esok harinya  ketika aku menyapanya, 
dengan hati hancur kukatakan apa yang nyaris tak  kuasa kusampaikan,
“Besok jangan bawakan aku apel,” kataku kepadanya.“Aku akan dipindahkan ke kamp lain. Kita takkan pernah bertemu lagi.”
Sebelum
  kehilangan kendali atas diriku, aku berbalik dan berlari menjauhi  
pagar. Aku tak sanggup menoleh ke belakang. Kalau aku menoleh, aku tahu 
 dia akan melihatku berdiri canggung sementara air mata mengalir  
membasahi wajahku.
Bulan demi bulan berlalu. Mimpi 
buruk  itu terus berlanjut. Tetapi kenangan akan anak perempuan itu 
membantuku  mengatasi saat-saat mengerikan, rasa sakit, dan rasa putus 
asa.  Berkali-kali aku melihatnya dengan mata pikiranku; aku melihat 
wajahnya  dan matanya yang lembut. Aku mendengar kata-katanya yang 
lembut dan  mencecap manisnya apel-apel itu.
Sampai 
pada suatu hari,  mimpi buruk itu tiba-tiba berakhir. Perang sudah 
selesai. Kami yang  masih hidup dibebaskan. Aku telah kehilangan semua 
milikku yang  berharga, termasuk keluargaku. Tetapi aku masih menyimpan 
kenangan akan  anak perempuan itu, kenangan yang kusimpan dalam hati dan
 memberiku  kemauan untuk meneruskan hidupku setelah aku pindah ke 
Amerika untuk  memulai hidup baru.
Tahun-tahun berlalu. Sampai tahun  1957. Saat itu aku tinggal di New York City. Seorang kawan memaksaku bertemu dengan kawan wanitanya.
 Dengan enggan, aku  menyetujuinya. Ternyata wanita itu manis, namanya 
Roma. Seperti aku,  dia juga seorang imigran. Dengan begitu, 
setidak-tidaknya kami punya  persamaan.
“Di mana kau 
selama masa perang?” Roma bertanya  kepadaku, dengan cara halus seperti 
umumnya para imigran yang saling  bertanya tentang tahun-tahun itu.
“Aku ada di sebuah kamp konsentrasi di Jerman,” jawabku.
Mata Roma tampak menerawang, seakan-akan dia ingat sesuatu yang manis namun membuatnya sedih.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku
  ingat masa laluku, Herman,” Roma menjelaskan dengan suara yang  
tiba-tiba menjadi sangat lembut. “Waktu masih kecil, aku tinggal dekat  
sebuah kamp konsentrasi. Di sana ada seorang anak laki-laki, seorang  
tahanan. Selama beberapa bulan aku selalu mengunjunginya setiap hari.  
Aku ingat, aku biasa membawakan apel untuknya. Aku selalu melemparkan  
apel itu lewat atas pagar. Anak itu senang sekali”
Roma
  mendesah panjang, lalu meneruskan, “Sulit menggambarkan bagaimana  
perasaan kami masing-masing—bagaimanapun waktu itu kami masih muda  
sekali. Bahkan jika situasi memungkinkan pun kami hanya bertukar  
beberapa kata—tetapi aku yakin, waktu itu di antara kami tumbuh cinta  
yang tulus. Aku yakin dia pasti dibunuh seperti yang lain-lain. Tetapi, 
 aku tak sanggup membayangkan itu. Karenanya, aku berusaha mengenangkan 
 dia seperti yang kulihat di bulan-bulan itu, ketika kami sedang  
bersama-sama.”
Dengan jantung berdegup kencang hingga kupikir nyaris meledak, aku menatap Roma lekat-lekat dan bertanya,
“Apakah
  pada suatu hari anak laki-laki itu berkata kepadamu, ‘Besok jangan  
bawakan aku apel. Aku akan dipindahkan ke kamp lain’?”
“Wah, ya,” sahut Roma, suaranya bergetar.“Tapi, Herman, bagaimana mungkin kau bisa tahu itu?”
Aku meraih tangannya dan menjawab, “Karena aku adalah anak laki-laki itu, Roma.”
Detik-detik berlalu lambat. Yang ada hanya keheningan.
Kami
  tak dapat mengalihkan mata kami. Lama kami saling memandang. Kemudian,
  setelah tirai waktu terangkat, kami mengenali jiwa di balik mata yang 
 saling bertatapan, kami mengenali kawan yang manis dan pernah sangat  
kami cintai, yang selalu kami cintai, yang tak pernah hilang dari  
kenangan kami.
Akhirnya, aku berkata, “Roma, aku pernah
  dipisahkan darimu. Sekarang aku tidak ingin dipisahkan lagi darimu.  
Sekarang aku bebas, aku ingin selalu bersamamu, selamanya. Sayangku,  
maukah kau menikah denganku?”
Aku melihat binar-binar 
yang  sama di mata yang dulu sering kupandangi itu ketika Roma menjawab,
 “Ya,  aku mau menikah denganmu.”  Sekarang, tak ada lagi yang akan  
memisahkan kami.
Hampir empat puluh tahun telah berlalu
  sejak aku menemukan Roma-ku lagi. Nasib mempertemukan kami untuk 
pertama  kalinya di masa perang, untuk menunjukkan kepadaku adanya janji
 tak tertulis tentang sebuah rasa. sekarang, nasib pula yang mempersatukan kami untuk menunaikan  janji itu.
Tanggal
 14 Februari tahun 1996. Kuajak Roma ke  acara Oprah Winfrey Show untuk 
menghormatinya di siaran televisi  nasional. Di depan jutaan pemirsa, 
aku ingin mengatakan kepadanya apa  yang kurasakan dalam hatiku setiap 
hari:
“Kekasihku, kau  memberiku makanan di kamp 
konsentrasi ketika aku kelaparan. Aku akan  tetap lapar dan dahaga akan 
sesuatu yang rasanya takkan pernah cukup  kuperoleh: Aku lapar dan 
dahaga akan cintamu.”
Herman dan Roma RosenblatSeperti diceritakan kepada Barbara De Angelis, Ph.D.
**Sumber : erda-sary.blogspot.com
Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/

super sekali...!!
BalasHapuskalo jodoh gak kemana yaaa <3
iya, Mba :).hehe..
Hapus