Laman

24 Februari 2017

[SBT: Friendship] Chapter 4 - Misi Wanda



SBT adalah kepanjangan dari Story Blog Tour, yang merupakan salah satu program komunitas menulis One Week One Paper. Dengan adanya SBT ini, anggota belajar untuk menyelesaikan satu cerita bersama-sama. Tema SBT kali ini adalah FRIENDSHIP!
Settingnya anak SMA. Yaaa you know lah gimana serunya masa-masa itu… hohoho. Oh iya, cerita di bawah ini fiksi, yaaa! Kalau ada kesamaan nama tokoh, nama sekolah dkk, itu semua gak di sengaja kok, hehe.
Semoga cerita SBT kali ini tetap bisa dinikmati seperti SBT-SBT sebelumnya. Semalat membacaaaa :) Komen yah. Kritik dan sarannya ditungguuu <3 <3 <3
Btw, ini cerita sebelumnya. Kalau kamu mau nyambung baca ceritanya, nikmati sesuai urutan:
  1. Nana: Misteri Dana Operasional
  2. Depi: Pertemuan
  3. Naimas: Perbincangan Di Kafe 

Chapter 4: Misi Wanda

‘Hadyan, apa gue bener harus ngelakuin hal ini?’
‘Lo gak masalah? Gak ada semacam cemburu gitu?’
Wanda mendengus kesal. Pagi-pagi dia sudah diharuskan tiba di sekolah dalam rangka menjalankan rencana yang telah mereka susun. Bibir Wanda mengerucut maju beberapa senti. Terdengar bunyi perutnya yang seolah memainkan orkestra keroncong. Dia harus rela tidak mengindahkan nasi goreng bakso spesial buatan maminya untuk sarapan. Duh, mana Bu Iyem belum datang pula. Hadyan juga ke mana sih? Chat WA gue kok dibales-bales padahal udah dia baca… batin Wanda.
“Neng Wanda,” Sapa Pak Parto, penjaga sekolah. “Kok tumben pagi bener? Biasanya datang lima menit sebelum bel bunyi.”
Wanda memamerkan deretan giginya yang putih. “Eh iya, Pak. Ada janji sama temen…”
Suara motor terdengar jelas. Ah! Sesungging senyum tipis menghias bibir Wanda. Anton memang terkenal siswa paling rajin yang masuk sekolah sejak masa MOS. Bahkan pernah meraih penghargaan dari pihak sekolah atas kerajinannya itu. Saat ditanya Pak Wagi alasan Anton bisa sangat pagi masuk sekolah sangat simpel: agar bisa melihat pekerjaan rumah yang belum selesai.
Sambil berlari kecil, ingatan Wanda melayang pada percapakan mereka di kafe kemarin.
“Yang bener aja? Masa gue kudu deketin Anton gitu?” Protes Wanda.
“Nda, seantero sekolah juga tahu kalo Anton itu suka sama lo sejak kita kelas X.” Ucap Darma.
Wanda melirik Hadyan yang hanya diam membisu.
“Okelah.” Wanda akhirnya pasrah dan mengiyakan.
Tiba di parkiran motor, Wanda pura-pura membuka jok motor matic-nya sambil sesekali melirik Anto.
“Duh,” Gerutu Wanda. “Gimana nih, buku fisika gue ketinggalan. Mampus deh…”
Anton yang sejak melihat Wanda berlari dari arah kantin, tak kuasa untuk menyembunyikan lebih lama aktivitas mencuri lihat wajah gadis pujaannya. Kemudian, bak mendapat angin pagi segar yang berembus, Anton tak menyiakan kesempatan emas yang langka itu.
Anton mengatur napas sebelum menyapa.
“Ha-i, Wan-da.” Sapa Anton terbata.
“Eh , Anton … duh, lo macem malaikat yang Tuhan kirim buat nolongin gue. Lo ada matpel fisika gak hari ini?” tanya Wanda sambil menampilkan mimik wajah cemas. Tentu saja Wanda sudah mengecek jadwal kelas XII IPA 2 –kelasnya Anton—sebelum menjalankan misi pentingnya.
“Ada. Kenapa? Buku lo ketinggalan?”
Wanda mengangguk sambil berpura-pura menekuk wajahnya.
“Bentar,” Anton membuka tasnya lalu mengambil sesuatu. “Gue pelajaran terakhir kok. Lo pake duluan aja.”
“Seriusan?”  Wajah Wanda berbinar karena rencananya sejauh ini berjalan lancar. “Makasih banyaaaaak. Pulang sekolah lo mau gak gue traktir di kafe seberang?”
Mendengar tawaran dari gadis idamannya, mata Anton membulat lebar. Kedua pipi Anton bersemu merah. Senyum malu-malu terbit pada bibirnya. “Iya … boleh.”
“Oke deh. Gue ke kelas duluan, ya…” Ucap Wanda sambil mengacak rambut Anton dan tak lupa mengambil buku fisika dari tangannya.
Deg! Dada Anton berdesir hebat.
***
“Wanda, gimana?” Tanya Darma di depan aula.
Yang ditanya hanya mengacungkan jempol sambil melirik Hadyan yang bergeming.
“Oh iya,” Hadyan membuka suara. “Bayu dan Fiki izin gak bisa ke sini. Ada PR yang belom dikerjain kata mereka …”
“Gak apa. Kita lanjutin sesuai rencana kita, ya.” Ucap Darma sebelum mereka membubarkan diri. Darma pun berpesan, agar kedekatan mereka tidak boleh terlihat siapapun agar tak ada yang curiga.
***
Wanda melambaikan tangan kanannya. Seseorang yang ditunggunya tengah membuka pintu kafe.
“Sorry lama,”
“Gak kok. Gue juga baru datang.” Wanda memersilakan Anton duduk di depannya. “Lo mau pesen apa?”
“Emm, sama kayak lo deh.
Wanda lalu mengacungkan tangan. Seorang pelayan mencatat pesanan mereka. Selang beberapa menit, dua es krim vanilla choco banana terhidang di atas mereka.
“Emmm, Anton … lo pengurus osis kan, ya?”
“Iya,”

“Lagi ada kabar apa di osis nih?”
Anton memicingkan matanya heran.
Melihat reaksi Anton yang sedikit curiga atas pertanyaannya, Wanda buru-buru meralat. “Maksud gue, osis kapan bikin acara pensi?”
“Oh itu,” Anton kembali menyuapkan es krim ke dalam mulutnya. “Proposal sih lagi digarap. Rencana pas ultah sekolah.”
“Penampilan dari masing-masing ekskul di sekolah ada 'kan?”
“Oh jelas dong.”
Setelah berbasa-basi agak lama, Wanda mulai masuk pada pembicaraan inti.
“Emm… gue lagi agak pusing nih ngatur pengurus cheers. Pusing juga ya jadi seorang pemimpin.” Keluh Wanda. “Eh menurut lo, Dimas gimana soal kepemimpinannya?”
“Lumayan sih … cuma belakangan gue lagi agak kesel sama dia.”
Wanda tersenyum. Anton telah memasuki perangkapnnya. “Oh iya? Kenapa?”
“Secara struktur ‘kan, gue membawahi bidang ekskul basket … kata Dimas, kalo Hadyan minta gue supaya gue mau bantu Hadyan biar dapet dana dari sekolah untuk turnamen gitu. Gue gak boleh bantu.”
Sepasang mata Wanda menyipit. “Alasannya?”
“Gak tahulah. Makanya gue kesel, apalagi sampe Pak Wagi dan kepala sekolah kemarin…” Merasa keceplosan, Anton membekap mulutnya. “Maksud gue, si Dimas itu tukang main perintah aja tanpa kasih tau ada apa. Tapi berhubung gue juga gak terlalu suka sama Hadyan karena beberapa hal, jadi ya gue turutin aja.”
“Gak suka karena? Masalah pribadi?” Selidik Wanda.
Anton tersedak. “Uhuk… yaa… begitulah.”
Sambil menghabiskan sisa es krim, Wanda mengirim hasil rekaman perbincangan dirinya dengan Anton kepada Darma lewat aplikasi chat WA.
***
Di rumah Hadyan…
Kesal mendengar hasil rekaman yang Wanda kirim, Hadyan meraih mainan bola basketnya lalu melempar ke ring yang terpasang di dinding kamarnya. Tuk! Masuk dengan sempurna.
“Sial si Anton!” Ucap Hadyan berang.
“Tenang dulu, Sob,” Fiki mencoba menenangkan.
“Berarti memang ada sesuatu yang patut kita gali lebh dalam. Sasaran selanjutnya Dimas. Tapi agak kesulitan buat deketin dia.” Darma coba menganalisa.
“Gue ada ide!” Ucap Bayu tiba-tiba sambil menjentikkan jarinya ke dagu. “Gue pernah denger Dimas pernah ditegur sama wali kelasnya gegara nilai-nilainya pada turun. Gue rasa, gue bisa deketin dia dengan menawarkan bantuan.”

BERSAMBUNG! Bantuan apa kira-kira? Apakah Dimas masuk ke perangkap Bayu dan yang lainnya?
Silakan menanti, ya! Setelah ini ke Achev

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan komentar dengan bahasa santun :)