29 Maret 2016

Janji (tak) Kembali


Di peron stasiun, aku menatap lama ular besi yang membawamu.
“Aku akan kembali. Jadi tunggu aku di sini." ucapmu manis sambil memberiku sekuntum bunga matahari sebelum kau pergi.
Tapi tetap saja, pagi itu setelah kulambaikan tangan padamu. Kugigit kuat bibir bagian bawah sambil sesekali menatap langit. Menahan mati-matian air bah dari sepasang mataku yang siap tumpah. Aku menanti sampai kehilangan hati. Namun entah mengapa, aku terus saja merapal doa agar kau menepati janji.
***
Tahun berganti tahun, ingatanku padamu tak kunjung melemah. Padahal sudah banyak buku yang sengaja kujejalkan di otakku. Berharap pada lembaran-lembaran yang berisi tentang obat dan penyakit, mampu mengenyahkanmu yang bertahta dengan baik dalam aliran darahku.
Sudah hampir sepuluh tahun kau tak mengirim kabar. Padahal kau tahu pasti alamat lengkap rumahku. Sayangnya saat kita berpisah, aku masih belum memegang ponsel, pun belum paham apa itu surel.
Nahasnya lagi semenjak kepindahanmu ke kota lain, aku selalu menumpuk juga menimbun rindu. Rindu itu seperti obat golongan narkotika, Tuan. Membuatku candu untuk terjebak lama dalam labirin rasa. Namun rindu pulalah yang terkadang membelenggu hatiku dengan rantai putus asa.
"Kereta sore ini belum datang, Nona," sapa petugas peron stasiun seperti biasanya.
Aku melempar senyum. Sejurus kemudian, kutekuni buku yang menjadi kawan baik saat lengang. Namun ucapan ayah malam kemarin masih terngiang jelas.
"Efedrin! Lihat dirimu! Kau ini seorang apoteker yang tengah ranum. Banyak orang baik-baik datang kepada keluarga kita. Mau sampai kapan kau menolak laki-laki yang datang melamarmu?"
Priiiiiit!
Peluit ditiup. Aku selesai melintasi petala ingatan. Kini jantungku berdebar kencang. Ritmenya tak beraturan. Deru suara mesin kereta api tertangkap jelas di indera pendengaranku. Aku memindai satu persatu wajah yang turun dari semua gerbong. Berharap ada kau di sana.
Aku masih ingat jelas bagaimana wajahmu di usia remaja. Sekolah kita memang berbeda. Tapi tiap sore, kau mengajakku menyusuri rel kereta api atau kita habiskan waktu bersama dengan menyaksikan senja di kebun bunga matahari. Kuharap wajahmu tak berubah banyak. Tentu agar mudah kukenali dalam satu kali tatapan setelah lama tak berjumpa.
Derap langkah kaki berhamburan. Sepatu-sepatu itu seperti telah menemukan jalan pulang. Dari jauh kulihat, serombongan muda-mudi bercengkrama lepas. Kurasa mereka tengah jatuh cinta pada pohon maple yang tengah meranggas. Juga pada alam yang menyuguhkan aroma musim gugur diracik dengan petrikor. Gerimis mulai membasuh bumi.
"Nona muda, dia masih belum datang ya?" tanya petugas itu lagi.
Kuberikan seluas senyum dan helaan napas sebagai jawaban. Saat tengah mengemasi tas dan bukuku ...
"Halo? Maaf..., "
Suasana peron stasiun yang riuh, mendadak kurasakan menjadi senyap. Kembali? Aku dan kau bersitatap. Aku menata hati yang remuk dengan lem-lem harapan. Mulutku kelu.
"Maaf, Nona. Di mana letak rumah sakit kasih?" lanjut pertanyaanmu.
Kau tak ingat?
"Oh, i-itu ... agak jauh dari sini. Kau bisa menggunakan taksi."
"Terima kasih."
Lalu kau melewatiku begitu saja. Bahkan menyebut namaku pun tidak?
"Damar ... " ucapku lirih.
Tiba-tiba langkahmu terhenti, kemudian berbalik ke arahku yang masih mematung. "Ya? Nona memanggil saya? Tapi nama saya Hero."
Aku menggeleng cepat. Lalu pergi meninggalkanmu yang masih berdiri tegap di peron stasiun.
***
Petang itu aku tak mampu menahan tangis. Kubuang buku harian yang sebagian besar isinya tentang penantianku padamu dekat stasiun. Wajahmu tak mungkin berubah. Aku tak mungkin lupa. Sebab telah kupahat lekuk senyum dan garis wajahmu pada pembuluh darah arteriku. Tapi kenapa?
Hari-hari setelahnya lebih menyakitkan. Kau yang harus kupanggil Dokter Hero, adalah rekan sejawat dalam rumah sakit tempat aku mengabdi. Aku harus mencabik dengan tega semua asa dan rasa yang kubangun selama sepuluh tahun.
"Eh, Nona Apoteker Efedrin?" Kau menyipitkan mata saat membaca lencana pengenalku.
"Ya, Dam- ah, maksud saya Dokter Hero."
"Damar?"
"Maaf, saya mungkin salah orang. Tapi ... kalau boleh saya tanya, apakah dokter pernah kecelakaan yang menyebabkan amnesia?" Aku memberanikan diri. Sekilas kulihat, wajahnya berubah datar dan kaku.
"Tidak tentu saja, Nona Efedrin. Kenapa bertanya seperti itu?"
"Wajahmu mirip sekali dengan orang yang saya kenal."
"Namanya Damar?"
Aku mengangguk pelan.
"Memang dia ke mana?" tanyamu seperti sedang menginterogasiku.
"Pindah ke kota lain sepuluh tahun lalu." jawabku sambil menatap jas putih yang kau kenakan. "S-s ... saya ..."
Belum sempat kuselesaikan kalimatku, kau menyanggah. "Baiklah. Saya masih ada tugas visit ke bangsal anggrek."
Air mataku mengembang. Aku menoleh ke belakang. Menatap punggungmu yang menjauh. Benarkah kau lupa? Atau aku yang mengalami delusi? Tidak. Tak mungkin. Kau kembali dan ini kenyataan.
***
Kuputuskan untuk tidak menyerah. Aku sudah menyelidiki latar belakang pendidikanmu. Dokter Hero -yang kuanggap dirimu- berasal dari kota yang sama dengan Damar yang telah pindah sepuluh tahun lalu. Lantas apakah ada dua Damar?
Aku mulai frustrasi. Semalam ayah kembali menyinggung soal pernikahan. Rasanya ingin teriak karena aku merasa terdesak. Ada katarsis yang siap kuhempaskan ke udara.
Kau? Sedang apa duduk di bangku taman sambil memejamkan mata? Kuhampiri dirimu yang tengah bermandikan matahari sore. Kau biarkan sinarnya menyapamu lembut. Semakin dekat kupandang wajahmu, aku kian yakin bahwa itu kau. Damar yang kukenal sepuluh tahun lalu. Yang berjanji padaku di bawa pohon maple untuk melindungiku. Saat itu aku tengah menangis sesenggukan setelah diganggu anak-anak nakal.
"Apa saya mirip sekali dengan Damarmu?"
Aku terperanjat kaget mendengar pertanyaan yang tiba-tiba. Kau membetulkan posisi dudukmu. Tersenyum padaku. Kau menangkap basah aku yang diam-diam memerhatikanmu.
"Duduklah di sampingku." katamu lagi memersilakan duduk.
Kakiku kaku, tapi kupaksa bergerak. Lalu duduk bersisian denganmu. Kepalaku tak mampu tegak menatap matahari yang tengah mengucap sampai jumpa pada bumi.
"Nona Efedrin, apakah Damar itu orang yang berharga di masa lalumu?"
Aku menoleh ke samping. Mencari sepasang matamu yang ternyata tengah menatap lurus bunga matahari di taman. Kuembuskan napas kencang.
"Ya."
"Bagaimana jika dia sudah meninggal? Atau bisa saja dia sudah menikah dengan wanita lain 'kan? Dia pernah berjanji apa padamu di masa lampau?"
Mataku membulat mendengar ucapanmu. Kerongkonganku tercekat. Suaraku seolah menghilang seketika.
"Ayolah, Nona. Jangan terlalu naif. Janji manusia tak pernah pasti."
Tanpa berpamitan, aku langsung berlari. Hatiku remuk redam. Air mataku jatuh dengan cepat. Kenapa kau bertanya padaku begitu? Kalaupun kau bukan Damar, memang kau ini siapa yang dengan teganya mengoyak harapanku?
***
Aku terlalu lelah dengan penantian, Tuan Damar. Menunggumu seumpama efedrin yang siap meracuni saraf-saraf di otakku dengan candu. Namun efedrin pulalah yang meruntuhkan pemahamanku tentang cinta sejati yang takkan mati. Aku yang salah. Tiap hari dosisnya sengaja kutambah tanpa perhitungan.
Kian lama dadaku sesak. Tuhan mengabulkan permintaanku. Kesempatan Dia hadiahkan padaku. Kau kembali. Namun bukan sebagai Damar yang kukenal. Aku tak mungkin salah orang, Tuan. Hatiku terlalu teliti menyimpan dengan rinci tentangmu.
"Nona muda!" petugas peron stasiun memanggilku.
Kususut air mataku yang hampir saja jatuh. Aku melambaikan tangan. "Ya?"
"Mana orang yang selalu Anda tunggu? Sudah hampir satu bulan Anda tak kemari. Kutebak, dia sudah datang 'kan?"
Keningku berkerut mendengar pertanyaannya. Tapi aku tak mampu menyembunyikan wajah sendu yang seperti layangan putus.
"Anda mau ke mana?" tanya si petugas peron saat melihat koper besar di samping kananku.
"Mencari pohon maple di tempat lain. Atau mencari dia di kota lain." jawabku sekenanya.
"Haha! O ya, subuh tadi ada seorang laki-laki yang memberikan saya buku ini. Katanya tolong berikan pada Nona Efedrin yang tiap sore menunggu seseorang di peron stasiun. Dia bilang, terima kasih untuk Nona."
Aku terperanjat mendengar penuturan petugas peron stasiun. Kuterima buku harian milikku. Buku yang petang itu kubuang dekat stasiun dengan hati yang patah. Buru-buru kubuka halaman pertama. Ada sepucuk surat di sana ...
Mungkin obat golongan antinyeri harus segera diadakan penelitian ulang, Nona Apoteker. Sebab mereka tak mampu menekan perih pada ulu hatiku. Atau aku yang salah diagnosa? Entahlah ... yang jelas, aku pantas kau rajam dalam ingatanmu. Kau cukup mematahkan aku menjadi serpihan kenangan yang mudah diterbangkan angin.
Aku tahu selama sepuluh tahun kau menungguku. Diam-diam aku selalu datang, tahukah? Tentu saja kau takkan pernah kenal atau sadar. Sebab aku datang dengan penyamaran yang sempurna. Sama seperti sebulan yang lalu sampai kemarin di bangku taman. Kau memang tak salah mengenali orang. Aku juga tak mengalami amnesia atau kecelakaan ...
Salahmu adalah menanti janji yang memenuhi rongga harapanmu. Tapi, Efedrin, bisakah aku menolak permohonan ayah yang terbaring lemah? Maaf. Akhirnya aku menyerah pada cincin yang bulan depan akan kulingkarkan pada jari manis wanita lain.
Dari : Hero yang orang-orang panggil Damar saat masih kecil.
Sudut mataku basah. Ingatanku terbang pada saat-saat menunggumu. Acapkali aku merasa melihatmu saat kereta berhenti di peron stasiun. Aku juga kerap merasa bahwa kau dekat. Ya. Perasaan-perasaan itu yang membuatku tak ingin menyerah untukmu. Namun tiap kali aku mencarimu, hanya tersisa gerbong kosong yang ditinggal para penumpangnya.
Aku tak pernah paham perkara penerimaan takdir dengan tulus. Atau kata maaf yang begitu ajaib menurut petuah orang bijak. Aku hancur? Jelas. Kau sudah memberi rasa sakit yang amat padaku. Kau berdusta karena berlagak tak mengenaliku.
Namun Damar, waktu akan menancapkan belati berkali-kali jika aku larut dalam kubang penyesalan. Maka tersenyumlah dengan baik di atas kesedihanku. Semoga kau bahagia.
Priiiiiiit!
Peluit ditiup keras.
Tut tut tut ...!
"Nonaaaaaa! Awaaaaas...!!!" sayup kudengar petugas peron stasiun memanggilku.
Braaaaak...!
Lama-lama suara petugas peron stasiun menghilang dalam pendengaranku.
***
Epilog

Di dalam gerbong kereta api, ada seorang laki-laki yang sedang melamun di sisi jendela. Matanya kosong. Hatinya tak lagi utuh. Laki-laki itu baru saja berdusta lewat kata-kata dalam sebuah surat. Menghancurkan hati seorang wanita yang selama ini berdiam di hatinya. Saat ini, dia siap untuk dicaci, disumpah serapahi, dan yang paling ia takutkan ... ia sudah siap jika harus dilupakan selamanya.
Kriiiing...!
Laki-laki itu merogoh saku celananya. Mengambil ponsel.
"Damar?"
Terdengar suara berat di ujung telepon.
"Ya, Ayah."
"Sudah siap untuk pengobatan kankermu di luar negeri? Kau sudah menyelesaikan semua urusanmu?"
"Ya, Ayah."
Klik. Sambungan telepon terputus.

--selesai--

2 komentar:

Silakan komentar dengan bahasa santun :)