18 Oktober 2016

Jembatan Kayu dan Perahu Kertas Alya

Alya melipat surat yang semalam ia buat. Subuh tadi ia menyelinap keluar rumah dengan sangat hati-hati. Takut kalau-kalau ada yang menyadari kepergiannya. Ditemani gadget dan headset yang terpasang di telinganya, Alya menembus gerimis yang dirasa amat ritmis. Di sinilah sekarang ia berdiri. Di atas jembatan kayu tempat dulu Alya dan Tezar kecil banyak menghabiskan waktu.

"Alya, coba kamu hanyutkan perahu yang sebelumnya kamu tulis harapanmu. Kalau sejauh mata kita memandang, perahunya gak rusak berarti terkabul." Begitu Tezar kecil pernah berkisah suatu petang.
Sebentar lagi mimpi Alya terwujud. Dulu sekali, kertas bertuliskan nama Tezar dihanyutkan Alya. Bukan. Alya tahu apa yang diinginkannya menjadi nyata sekarang ini bukan karena perahu kertas. Benar bahwa Tezar akan mengikrarkan janji di hadapan Tuhan pagi ini; menjaga Alya seumur hidup.

Beberapa potong episode antara Alya dengan Elisa terputar sendiri. Lagu Lee Hi-Can You Hear My Heart mengalun merdu. Rasa sesak yang berjejalan sejak lama, kian mendera hati Alya. Menyebabkan perih teramat sangat. Tanpa sadar, Alya makin terjebak dalam labirin kenangan. Penyesalan? Iya. Meski kadarnya tak banyak. Tezar melamar Alya beberapa bulan lalu. Seperti mimpi Alya selama ini. Alya akan memiliki raga Tezar dalam hitungan jam lagi, namun tidak dengan hati Tezar. Ya. Alya sadar itu. Sosok Elisa memang telah hilang, namun rindu Tezar tak pernah berubah. 

Apakah cinta harus berakhir dengan pernikahan? Pertanyaan itu terus memenuhi kepala Alya. Tapi tentu saja jika mendadak semua ini dibatalkan, banyak hati yang tersakiti.

Apa ini hukuman dari lo, El? Apa lo merestui? Apa itu cinta, El?

Alya melarungkan surat yang ia sudah selesai ia bentuk menjadi perahu kertas. Sejauh mata Alya memandang, perahu itu masih utuh. Tidak hancur. Sesungging senyum hadir di bibir Alya. Kakinya melangkah pulang. Bebannya sedikit hilang bersama dengan perahu kertas. Ada harapan yang terbit diam-diam. Ada kesemogaan yang Alya amini.

Dear, Tezar.

Entahlah ada apa dengan gue. Dari kemarin, gue berdoa pada Tuhan untuk mengambil nyawa gue. Tapi nyatanya sampai semalam saat surat ini ditulis gue masih bernapas. Tatapan kosong mata lo saat memandang gue, cincin yang lo lingkarkan di jari manis gue, senyum lo, semua itu terasa dingin. Gak ada kehangatan seorang Tezar. Gue ragu melangkah. Bahagia itu apa, Zar

Gue ... udah minta sama Tuhan untk mengambil nyawa gue setelah kita nikah. Yang jelas, gue dulu yang ninggalin lo dan Elisa... ah, anggap aja ini hukuman buat gue karena mengoyak mimpi lo dan Elisa. Semoga suatu hari kalian tersenyum mesra, saling merenda cinta dalam ikatan pernikahan. 

Dari yang sangat mencintai Tezar,
Alya.

13 Oktober 2016

[SBT OWOP] Terhempas dari Cinta

Halooooow~

Udah lama gak ngeblog. Maaf, ya blog. Aku sibuk sih wkwkwk. Gak juga ding. Males sih intinya hihihi. Oke. Sekian lama gak isi blog, dateng2 aku bikin SBT OWOP dengan genre romance-angst. Well yeah... sedikit menakutkan karena ada iris-mengiris lengan wkwk. Tapi seru kok. So, cekidot ya! 

bagian 1 Nifa: Luka Elisa
bagian 2 Asti: Self Harm
bagian 3 Ara:  Friendzone
bagian 4 Nana: Dua Sisi Koin
bagian 5 Zu: Teman Baru
bagian 6 Ruru:  Permulaan
bagian 7 Nadita: Diluar Dugaan
bagian 8 Depi:  Luka

***
Terhempas dari Cinta

"Elisa, gimana keadaan lo?" tanya Alya sambil meletakkan buah-buahan di meja samping tempat tidur Elisa.

Elisa berusaha untuk bangkit meski dipaksakan. 

"Eh, kalo sakit gak perlu bangun." Alya menopang tangan kanan Elisa, membantu Elisa duduk. 

"Gue ... maaf ya. Gue ... gak tahu harus bilang apa." Bahu Elisa terguncang hebat, tangisannya keras. Sayang, Elisa tidak menyadari betapa dingin tatapan gadis yang ada di hadapannya.

Alya menarik napas pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Sesungging senyum dipaksakan Alya untuk melengkung indah. Dipeluknya bahu Elisa. "Kita sahabat 'kan?" 

***

Alya menutup pintu kamar rawat Elisa dengan dada yang bergemuruh rusuh. Ada rasa tak suka yang ditahan kuat-kuat. Ada keinginan membunuh yang berusaha dilenyapkannya. 

"Alya?"

Alya terkesiap. "Oh, hai, Zar."

Tanpa memandang Tezar, Alya ingin buru-buru pergi. Takut rasa iri serta dengki itu tak mampu disembunyikan Alya lebih lama dan terlihat jelas di wajahnya. Alya khawatir Tezar semakin jauh darinya.

"Eh, Al ... tunggu. Tangan lo kenapa?" Tezar terkejut melihat perban yang terbebat rapi di tangan kiri Alya.

"A ... anu ... " Alya tergeragap. "Semalem gue cuci piring terus pecah dan gak sengaja kena..." Tentu saja semua itu dusta yang Alya karang. Jawaban yang sama dilontarkan Alya ketika ditanya Elisa tadi.

"Masa, sih?" Tezar menautkan alis, tak percaya dengan ucapan Alya. Bagaimana pun, Tezar dan Alya saling kenal sejak kecil. Kebohongan Alya mampu Tezar tangkap meski hanya sepercik. 

"Iya. Lo mau ketemu Elisa 'kan? Dia udah nunggu kayaknya. Gue pergi dulu, ya." Alya berjalan memunggungi Tezar yang masih dilanda kebingungan dan banyak pertanyaan.

"Eh, Zar ... " Alya membalikkan badannya tiba-tiba. "Jangan lupa makan."

Tezar mengangguk, lesung pipi sebelah kanannya terlihat jelas.

Gue gak rela senyum itu juga untuk Elisa, Zar. Alya membatin dengan hati terkoyak. 

Sepanjang jalan, Alya terkenang masa kecilnya bersama Tezar; saat Alya diajari naik sepeda oleh Tezar, saat mereka dikejar anjing galak, saat lutut Alya terluka dan diobati Tezar, saat Alya memeluk Tezar yang kesepian di suatu senja.

Semua itu berkelindan dan berubah menjadi pisau belati yang menusuk hati Alya. Merajam  cinta Alya hingga mati dan berubah menjadi kepingan. Alya ingin berteriak kuat, menumpahkan katarsis yang menyesakkan jiwa. Mengapa cinta? Kenapa Elisa? Bagaimana bisa rindu dan cemburu melebur, lalu memenuhi rongga dadanya? 

Petang ini, air mata yang membanjiri pipi Alya menjadi saksi. Bahwa jarak antara cinta dan benci sangatlah tipis. Tidak! Alya tidak pernah benci Tezar... Alya hanya kecewa pada hatinya yang jatuh kepada laki-laki yang dikenalnya sejak kecil. Lalu Elisa? Sesungguhnya, meski hanya sedikit ... rasa kasihan pada gadis itu nyata. Tapi cemburu dan benci adalah bahan bakar untuk api yang berkobar dan sanggup membumihanguskan nurani dalam sekejap; Elisa harus lenyap selamanya.

***

Alya menatap langit kamarnya dengan pandangan kosong. Tezar dan Elisa lagi apa, ya? Pasti ketawa bahagia. Terus gue? 

Alya mengalihkan perhatian pada perban yang melilit lengannya. Dibukanya perlahan. Dilihatnya bekas luka yang masih basah. Tangan kanan Alya meraih gadget dari kantong rok abu-abunya. Sampailah ia pada laman sebuah forum: Young Blood. Lalu dengan cekatan, Alya mengetik pada sebuah thread. Tepat di atas kolom reply milik Elisa.

Ternyata patah hati lebih sakit dari punggung tangan yang sengaja gue bikin luka, ya, hahahaha...
Ehya Elisa, lo gak ada niat untuk pindah dunia ke surga misal? Gimana kalo kita mati sama-sama?
 
Tentu saja akunnya bukan bernama Alya. Azsa.

***

Elisa mengerutkan keningnya. Azsa? 

Tezar memerhatikan Elisa yang terpaku pada layar gadgetnya sambil mengupas kulit apel. "Baca apa, El? Serius banget?"

Elisa gugup mendengar pertanyaan Tezar. Elisa merasa tak enak dengan Tezar. Elisa tahu bagaimana perjuangan Tezar yang selama ini ada di sampingnya. Ya. Curahan perhatian dan semangat yang selalu Tezar berikan ... cinta itu masih berbentuk benih dan janin yang selalu berusaha Elisa gugurkan. Tezar terlalu baik untuknya dan berhak memiliki kekasih yang sempurna, begitu yang Elisa catat selalu. Lagi pula, trauma yang ditimbulkan dari pertengkaran mama dan papa Elisa begitu membekas. Cinta pria dan wanita terlalu semu dan samar bagi Elisa. 

Elisa tak ingin Tezar tahu bahwa ia bergabung dalam sebuah komunitas yang menggiringnya pada kematian. Mungkin saja... Azsa benar... 

Papa bilang, aku sebuah kesalahan? Elisa kembali tergugu. 

"El, lo kenapa? Kok nangis lagi?"

"Zar, papa bilang ... gue adalah kesalahan. Gue gak tahu maksudnya apa... " Alya berkisah sambil sesenggukan. 

Tangan Tezar berusaha menggapai Elisa. Tezar ingin memeluk gadis yang ada di hadapannya, namun urung ia lakukan. Tezar hanya mampu menepuk-nepuk bahu Elisa untuk ditenangkan. Seandainya semua penderitaan lo mampu gue pindahkan ke dalam diri gue, El. 

***

Tezar menyelimuti Elisa yang terlelap setelah menangis agak lama. Kemudian, ia meraih HP Elisa yang layarnya masih berkedap-kedip. 

Young Blood? Azsa?! Siapa dia? Forum sialan apa ini? Pekik Tezar yang tertahan di kerongkongan.

***

01 Juni 2016

Cake Cokelat dari Tepung Beras

Rame2 soal gluten, well, agak susah kalau kita bener2 mau free. Prinsip saya, selama gak berlebihan insyaa Alloh kesehatan terjaga. Apapun itu. Walau buat cake buat Mursyid, saya batasi konsumsinya. Saya jadwal makannya. Sisanya bisa dikasih anak tetangga :). Jadi pinter2 kita aja supaya anak kita gak terlalu ketagihan banget sama cake, hehe.

Kali ini aku mau coba buat brownies dari tepung beras. Cuma kok setelah jadi, rasanya gak mirip brownies, wkwkwk. Ya udahlah, yang penting halal dan enak mehihihi :D.

25 Mei 2016

Sahabat Lama yang Kembali

Notebook lama rasa baru. Ini notebook dari zaman masih kuliah di UNSOED. Lulus trus nikah, trus kuliah lagi, trus hamil, trus punya anak, trus hamil lagi #eh aamiin.

13 Mei 2016

[Resep] Perkedel Tahu Ayam Ala Ummu Mursyid

Bosan dengan lauk itu-itu aja? Mungkin Perkedel tahu-ayam ala aku bisa jadi alternatif, hehe. Gampang dan gak ribet.

11 Mei 2016

[Resep] Kue Pelangi Kukus Simpel dan Gak Ribet

Berhubung beberapa waktu lalu booming sama 'gerakan' pelangi yang isinya LGBT. Eke jadi sebel deh ah. Pelangi yang bagus gitu malah dijadikan lambang sama mereka. Ah udahlah! Gak penting juga ngomongin mereka. Mending eksekusi resep "Kue Kukus Pelangi" ala Ummu Mursyid yang simpel dan cepet.

[Resep] Nugget Tahu Simpel Ala Ummu Mursyid

Huwaah!
Lama gak nengok kamu, Blog. Maafkan... aku selain sibuk dengan rumah dan bikin kue *halah, sibuk bantu Abu Mursyid nulis non-fiksi #eaaaa
Kali ini mau sok-sokan kasih resep nugget tahu ala Umminya Mursyid.

01 Mei 2016

[Resep] Brownies Kukus No Mixer, Simpel dan Cepet :D


Halo~
Beberapa waktu lalu, saya nyobain resep bikin donat tanpa kentang, tanpa mentega, tanpa susu (duh, boros kata ‘tanpa’). Berhasil sih. Cuma rasanya belum nampol, hahaha. Ya iyalah … tapi it’s okelah. Tinggalkan dulu donat tanpa-tanpa itu. Saya beralih ke resep brownies serba 2-4 sendok makan, mehihihihi. Langsung aja deh. Cekidot~

26 April 2016

Pengakuan Untuk Hati yang Patah


Aku melipat koran dan menyesap teh melati. Kisahku dan perempuan hujan, telah kuhimpun dalam barisan aksara dan dibaca banyak orang pada koran minggu pagi hari ini. Setelah paragraf terakhir dari cerita pendek itu, termaktub inisial nama penaku di sana.

Hampir enam bulan lamanya aku tak memesan kopi di kafe yang menjadi saksi betapa patahnya hatiku saat itu. Aku tak menikmati petrikor. Tidak berdiri di langkan rumah ketika mega mendung berarak. Juga, aku sengaja memasang earphone saat hujan mendadak tumpah dari langit.

Kalian boleh mencaciku bodoh. Tapi aku kesulitan mengenyahkan bayangan sepasang mata perempuan hujan. Dia kala itu menatap sepintas sebelum aku mendebam pintu kafe dengan keras. Akibatnya sampai detik ini aku benci hujan, dan selalu memilih teh sebagai kawan karibku.

Aku menatap tiket pesawat yang tergeletak di samping koran. Kuputuskan untuk pergi ke kota khatulistiwa. Menerima permintaan ayah-ibu untuk tinggal bersama mereka. Penerbanganku petang ini. Kuliahku telah selesai. Seremonial wisuda tiga hari lalu membulatkan tekadku untuk pergi dari hiruk pikuk Jakarta, dan perempuan hujan.

***

Kuhirup napas panjang lalu mengembuskannya kuat-kuat. Aku telah menghabiskan satu porsi chai kwe yang tentu saja ditemani secangkir teh. Aku makan di sebuah restoran yang terletak di tepian Sungai Kapuas.

Tik tik tik...

Ah, hujan turun. Padahal aku ingin menyaksikan teja jingga di kaki langit barat dari tempat dudukku. Oh! Aku lupa membawa earphone. Sepasang telingaku dengan pasrah menangkap suara hujan yang merajam hatiku. Hujan dan aroma espresso yang tiba-tiba saja menyeruak, menerabas indera penciumanku. Kini aku sempurna terjebak dalam labirin kenangan.

"P-peremupuan itu?!" Aku mengucek mata yang tak gatal. Aku tak mungkin salah mengenali wajah yang masih terpahat di pembuluh darah arteriku. Ilusi? Delusi?

Kuhampiri perempuan hujan dengan payung warna-warni yang berdiri di depan restoran. Tak kupedulikan tatapan heran yang datang dari pelayan restoran atau pengunjung lainnya.

Perempuan itu menoleh dan tersenyum tipis. "Apa kabar?"

"Bukankah seharusnya kau? Mana suamimu?" Aku celingukan mencari laki-laki itu.

Perempuan itu mendongakkan kepala. "Suami? Aku berharap setelah kukirimkan bill dusta itu, aku mampu melupakanmu."

Aku mengerutkan kening.

"Kupikir sekian lama diam-diam memerhatikanmu yang berdiri di balkon. Lalu kupendam mati-matian kagum yang membubung pada tiap cerita pendek atau puisimu di koran minggu pagi. Tuhan menakdirkan segores kisah indah untuk kita. Pelayan kafe dan bill itu dusta, Tuan Penulis."

"Maksudmu?" Jantungku seperti loncat saat mendengar penuturannya.

"Aku ingin mengenalmu dari dekat, Tuan. Tapi hari itu aku mendapat telepon dari ayah untuk segera menikah dengan anak sahabatnya. Kupakai payung hitam untuk menarik perhatianmu. Dan tebakanku benar. Kau mengikutiku sampai kafe. Tapi Tuan, seharusnya aku tidak perlu melakukan sandiwara bersama sahabatku si pelayan kafe yang kuminta berpura-pura menjadi suamiku. Tentu saja aku ingin tahu reaksimu saat tahu aku sudah menikah." Bibirnya melengkung indah ke kanan-kiri sebelum melanjutkan kalimatnya. "Hatiku benar. Kita memunyai perasaan yang sama. 

Aku mencerna dengan baik yang diucapkannya. Kulihat bibirnya sedikit pucat yang kutebak akibat hawa dingin yang mulai menyergap kami. Kemeja dan jeans-ku kuyup, begitu pun dengan pakaiannya.

"Ayahku... " Perempuan hujan mengembuskan napas sejenak. Kemudian dipalingkan wajahnya ke arah restoran yang ramai dengan para wisatawan. "Dia pemilik restoran ini. Sudah dua pekan aku berada di Pontianak. Aku berusaha melapangkan hati, menerima perjodohan, dan kembali ke rumah. Entah apa yang Tuhan inginkan ... saat aku sudah siap melepas bayanganmu. Aku melihat Tuan Penulis yang tengah memandang Kapuas."

Suara petir menggelegar. Jiwaku seolah rontok. Hatiku yang patah dan tengah kuperbaiki dengan lem keikhlasan tiba-tiba kembali remuk. Kali ini bukan hanya terbelah, tapi juga terserak. Aku tak peduli dengan banyak pasang mata dari lalu-lalang pengunjung restoran. Untuk kali ini aku tak ingin membenci hujan. Sebab hujan dengan baik hatinya menyamarkan air bah yang tumpah dari sepasang mataku.

(Sebenernya mau ikutan challenge Tutut, hehe. Tapi berhubung telat isi presensi yasudahlah... tapi pas baca tulisannya Tutut  yang judulnya "Patah Hati Pada Kopi dan Hujan", tiba-tiba aja dapet ide buat bikin ini. Ya ampun, endingya apa-apaan banget. Padahal abis nonton drakor "Jang Yeongsil" yang gak menye-menye. Hah... kasian amat Si Tuan Penulis)

20 April 2016

Benang, Mawar dan Api di Masa Lalu



gambar dari sini
Tiba-tiba aku ingin mengetuk pintu masa lalu. Sebentar saja mengulang waktu. Pikiranku berkelindan, seolah tengah mengurai benang usang yang dulu pernah kurajut menjadi sebuah kisah. Pertemuan aku dan dia, berawal dari dunia yang maya. Namun rupanya, pelan tapi pasti kedekatan kami memunculkan sebuah rasa yang nyata. Perasaan itu cepat menggunung, bergemuruh memenuhi rongga dada. Lalu terciptalah banyak kalimat indah berbentuk puisi atau prosa yang melukiskan betapa merah jambunya cerita kami masa itu.

Lamat-lamat ada yang berselirat. Kusut berjalin-jalin. Menimbang hubungan dengan ikatan simpul hidup yang semu, apakah semua ini benar atau salah. Apakah berhenti atau tetap berjalan…

"Kita sedang bermain dengan api," ucapnya pelan suatu hari di taman kota. 

"Lalu mau dipadamkan begitu saja?"

Beberapa waktu lamanya, tema percakapan tadi seolah menghilang--untuk sementara. Mungkin lebih tepat jika kami yang menghindar agar tidak membahasnya.

Kalian tentu tahu. Jatuh cinta dekat dengan sebuah komitmen. Seperti aku yang kerap diberikan banyaknya harapan bak mawar-mawar merah yang merekah di taman kota. Nahasnya, kami sudah sama-sama paham bahwa tak ada janji yang abadi selain janji dari Tuhan.

Kami pun --sengaja melupakan-- perihal mawar merah yang memiliki duri amat tajam. Hingga pada suatu hari, masing-masing jemari kami terluka akibat menggenggam mawar merah terlalu erat. Luka itu menginfeksi, merambat cepat ke hati.

"Ki-kita terluka 'kan? tanyaku ragu.

Di ujung telepon kudengar dia mendesah. Lalu menghela napasnya yang berat. "Aku akan membawa obatnya. Tapi aku butuh waktu yang tidak sebentar untuk..."

"Aku akan menunggu kau membawa obatnya," sanggahku cepat.

Sebenarnya sudah banyak orang lain yang memperingati tatkala melihat darah dan airmata kami yang becucuran. Tapi aku dan dia masih keras kepala untuk bermain api sambil menggenggam mawar.

Waktu terus begulir. Dia belum juga datang ke rumah membawa  penawar yang dijanjikan. Kian lama, ceruk kecewa melebar. Tak jarang aku mengalami demam disertai gigilan akibat menahan nyeri. Dengan gontai, aku menghadap-Nya dalam sujud panjang. Meminta kesembuhan. Tabiat manusia. Jika diterpa kesusahan, maka hati akan kembali pada Sang Pencipta.

Kami bersepakat dalam diam. Tak ada ucapan perpisahan. Tak ada caci maki akibat sesal yang sesak. Api perlahan padam. Aku dan dia saling memunggungi. Mawar-mawar yang kami sebut harapan tadi, satu persatu kelopaknya layu, luruh dan jatuh. Luka yang membebat jemari dan hati kami membaik, infeksi terhenti. Kini aku mulai menerima yang ditetapkan-Nya. Juga, aku berusaha untuk paham pada sebuah kalimat dalam novel yang kubaca : tak perlu memaksa harus bersama.
***
"Nyonya, mawar ini mau diletakkan di sebelah mana?"

Aku terperanjat mendengar pertanyaan tukang kebun rumahku. Aku selesai melintasi petala ingatan. Sebuah kenangan yang mampu menjebakku lama dalam labirin rasa. Ah, benang-benang masa lalu sudah tergulung rapi lagi pada tempatnya.

"Di sebelah sana aja, Pak." Aku menunjuk pot di pinggir kolam yang terdapat air terjun buatan.

Tiiin Tiiin...!

Suara klakson mobil membuatku gegas ke depan rumah. Aku menyambut seorang pria yang --kupanggil suami-- setahun lalu mengajakku berkenalan tanpa mawar atau menyeretku masuk lagi ke dalam api. Pria itu datang meminta izin kepada ayah-ibu untuk menyembuhkan lukaku dengan janji suci yang ia ikrarkan di hadapan Tuhan.

(Okeh done. Tulisan ini apa banget, wahahaha. Ini dalam rangka ikutan challenge si Tutut yang suruh bikin flashfic dengan tema P-A-T-A-H. Gak tau patah apa. Patah tulang mungkin (?) wkwkwk. Abaikan... buka link ini deh, biar seberapa tau patahnya Tutut. Eh salah... makusdnya flashfic-nya Tutut. Ngiahahaha *ketawa jahat. Pisss, Tut :p)