Alya melipat surat yang semalam ia buat. Subuh tadi ia menyelinap keluar rumah dengan sangat hati-hati. Takut kalau-kalau ada yang menyadari kepergiannya. Ditemani gadget dan headset yang terpasang di telinganya, Alya menembus gerimis yang dirasa amat ritmis. Di sinilah sekarang ia berdiri. Di atas jembatan kayu tempat dulu Alya dan Tezar kecil banyak menghabiskan waktu.
"Alya, coba kamu hanyutkan perahu yang sebelumnya kamu tulis harapanmu. Kalau sejauh mata kita memandang, perahunya gak rusak berarti terkabul." Begitu Tezar kecil pernah berkisah suatu petang.
Sebentar lagi mimpi Alya terwujud. Dulu sekali, kertas bertuliskan nama Tezar dihanyutkan Alya. Bukan. Alya tahu apa yang diinginkannya menjadi nyata sekarang ini bukan karena perahu kertas. Benar bahwa Tezar akan mengikrarkan janji di hadapan Tuhan pagi ini; menjaga Alya seumur hidup.
Beberapa potong episode antara Alya dengan Elisa terputar sendiri. Lagu Lee Hi-Can You Hear My Heart mengalun merdu. Rasa sesak yang berjejalan sejak lama, kian mendera hati Alya. Menyebabkan perih teramat sangat. Tanpa sadar, Alya makin terjebak dalam labirin kenangan. Penyesalan? Iya. Meski kadarnya tak banyak. Tezar melamar Alya beberapa bulan lalu. Seperti mimpi Alya selama ini. Alya akan memiliki raga Tezar dalam hitungan jam lagi, namun tidak dengan hati Tezar. Ya. Alya sadar itu. Sosok Elisa memang telah hilang, namun rindu Tezar tak pernah berubah.
Apakah cinta harus berakhir dengan pernikahan? Pertanyaan itu terus memenuhi kepala Alya. Tapi tentu saja jika mendadak semua ini dibatalkan, banyak hati yang tersakiti.
Apa ini hukuman dari lo, El? Apa lo merestui? Apa itu cinta, El?
Alya melarungkan surat yang ia sudah selesai ia bentuk menjadi perahu kertas. Sejauh mata Alya memandang, perahu itu masih utuh. Tidak hancur. Sesungging senyum hadir di bibir Alya. Kakinya melangkah pulang. Bebannya sedikit hilang bersama dengan perahu kertas. Ada harapan yang terbit diam-diam. Ada kesemogaan yang Alya amini.
Dear, Tezar.
Entahlah ada apa dengan gue. Dari kemarin, gue berdoa pada Tuhan untuk mengambil nyawa gue. Tapi nyatanya sampai semalam saat surat ini ditulis gue masih bernapas. Tatapan kosong mata lo saat memandang gue, cincin yang lo lingkarkan di jari manis gue, senyum lo, semua itu terasa dingin. Gak ada kehangatan seorang Tezar. Gue ragu melangkah. Bahagia itu apa, Zar?
Gue ... udah minta sama Tuhan untk mengambil nyawa gue setelah kita nikah. Yang jelas, gue dulu yang ninggalin lo dan Elisa... ah, anggap aja ini hukuman buat gue karena mengoyak mimpi lo dan Elisa. Semoga suatu hari kalian tersenyum mesra, saling merenda cinta dalam ikatan pernikahan.
Dari yang sangat mencintai Tezar,
Alya.
Alya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)