25 Januari 2017

Pontianak Post 5 Juni 2016



                Alhamdulillah yah, tahun kemarin yang baru beberapa hari lewat, tepatnya tanggal 5 Juni 2016, hehe. Terbit cerpen pertamaku di media! Ayey! Meski koran lokal, tapi itu juga udah syukur banget. Cerpen ini awal mulanya berasal dari tantangan untuk nge-remake dongeng yang diadain sama Ruru di grup OWOP (one week one paper). Well, sebenernya sebagai seorang ibu muda, ada beberapa dongeng dari luar negeri yang agak gak sreg di saya. Bukan gak suka sepenuhnya kok. Tapi hmm, ambil kisah Putri Cinderella yang ceritanya udah melegenda seantero dunia. Tentang seorang anak tiri yang disiksa oleh ibu dan saudara-saudara tirinya, lalu ada ibu peri dan triiiing! Jadilah putri dalam waktu semalam, datang ke pesta dansa kemudian bertemu pangeran kerajaan. Terjadilah insiden ketinggalan sepatu kaca tepat jam 12 malam teng, karena jika melewati jam 12 malam, sang putri akan kembali lagi mengenakan pakaian compang-campingnya. Nahas pangeran menemukan sepatu kaca yang tertinggal karena Cinderella terburu-buru meninggalkan ruang pesta. Kadung jatuh cinta, pangeran itu akhirnya mencari ke mana-mana pemilik sepatu kaca itu. Sampailah pada akhir cerita yang happy ending, pangeran bertemu Cinderella dan hidup bahagia selamanya.

                Hm, ketika nanti Mursyid mendengar kisah itu, akan saya jelaskan pesan moralnya begini:

                Kesulitan hidup itu adalah tarbiyah dari Allah. Lantas tujuan bersabar bukan karena dunia semata (mendapat harta, pasangan kaya dsb). Tapi karena percaya janji Allah itu pasti. Jika di dunia Allah belum kabulkan, maka surga adalah segalanya.

                Dan akhirnya, saya mendapat ide membuat cerpen dengan kisah seperti ini. Cekidot~


Sindi(rella) Mencari Sepatu Kaca

"Siiiin ... Sindiiiii!" panggil emak dari dapur. Entah untuk yang keberapa kalinya, emak mendapati tumpukan piring kotor yang belum dicuci atau kondisi rumah yang juga belum dikemas rapi.
Yang dipanggil masih asik menghirup wangi bunga tidur. Telinganya seolah sudah kebal dengan teriakan emaknya yang memekakkan itu. Cekikikan serta bisik-bisik tetangga yang mengatakan kalau Sindi anak tiri yang malas, tak juga membuat kuping dara berusia 17 tahun itu panas.
Ayah Sindi menikah dengan emak yang seorang janda sekitar lima tahun lalu. Saat itu usia Sindi baru menginjak usia 12 tahun. Dari pihak emak belum memunyai anak. Setelah empat tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Ayah Sindi meninggal akibat kanker paru-paru stadium empat.
Selama ini Sindi menyamakan hidupnya dengan Cinderella. Seperti yang ada pada dongeng pengantar tidur yang kerap diceritakan Ayah Sindi saat masih kecil. Padahal para penghuni gang pendidikan -tempat tinggal Sindi dan emaknya- juga tahu kalau Sindi jelas lebih beruntung dari Cinderella. Sindi memang anak tiri. Tapi emaknya tak pernah memperlakukan Sindi dengan kejam seperti Cinderella dalam buku-buku cerita.
"Sindi! Mau sampai kapan tidur hah? Matahari udah merangkak naik. Anak gadis malah malas-malasan!" Emak menarik selimut. "Eh eh eh! Lihat piring dan gelas di dapur. Lantai masih penuh debu!"
Inilah yang menjadi alasan kuat Sindi menganggap dirinya bak Puteri Cinderella. Emaknya selalu memerintahkan Sindi mengerjakan pekerja rumah tangga. Selesai cuci piring, pakaian kotor menanti, belum lagi lantai yang harus disapu dan pel tiap hari, atau setrikaan baju yang seolah siap mencekik kebebasan Sindi. Sindi bukan tak menutup mata kalau emak juga banting tulang untuk kehidupan mereka. Sehari-harinya, emak berdagang kue kering dan basah di pasar besar. Berangkat sebelum ayam berkokok, pulang ke rumah menjelang siang.
***
Malas-malasan Sindi beranjak dari tempat tidurnya. Tak lupa dengan gerutunya diseling nyanyian "ratapan anak tiri" yang dipopulerkan oleh penyanyi dangdut kondang Iis Dahlia. Emak hanya geleng-geleng kepala menyaksikan polah anak tiri semata wayangnya itu.
"Kamu ini terlalu sering dengar dongeng Cinderella dari ayahmu!" omel emak.
"Apalah emak ni! Memang benar begitu. Aku disuruh kerja terus di rumah!" balas Sindi sambil menimba air di sumur.
"Kamu itu anak gadis, Sin. Kelak berumahtangga macem emak. Kalau kerjamu hanya tidur, makan, pasang musik di kupingmu. Sekolah pun akhirnya keluar. Kelak mau jadi apa kamu! Sepatu kaca itu tak pernah ada untuk orang malas."
"Apa urusan emak dengan hidupku? Emak 'kan cuma emak tiriku!"
Selalu saja begitu. Semua penghuni gang pendidikan sudah hafal di luar kepala percakapan antara emak dan anaknya tirinya. Tentu saja terdengar jelas. Selain jarak antar rumah warga yang berdempetan. Suara emak dan Sindi saat sedang bertengkar seperti para calon wakil rakyat yang berorasi menyampaikan visi misi di depan warga. Lantang dan tegas dengan masing-masing argumennya. Emak hanya mampu mengelus dada. Tak jarang juga mengeluh. Namun cinta juga bakti emak kepada almarhum Ayah Sindi membuatnya tak gentar untuk mendidik serta menjaga Sindi.
"Emak ini dititipi kamu sama ayahmu! Kalau nanti ketemu ayah lagi di surga, emak bisa senyum bangga.”
***
Sampai suatu hari, Sindi menghilang hampir satu minggu lamanya. Emak kebingungan setengah mati. Sindi tidak meninggalkan surat atau petunjuk apapun di kamarnya. Semua warga gang pendidikan sudah emak tanyai perihal Sindi. Namun hasilnya nihil. Tidak ada yang tahu batang hidung anak tirinya itu. Kasak-kusuk yang beredar di kalangan para tetangga, Sindi melewati jalan pintas untuk mendapatkan sepatu kaca yang selama ini ia idamkan. Emak tak acuh, pura-pura tak mendengar kabar burung itu. Emak hanya tersenyum kecut jika kedapatan ibu-ibu yang menggosipkan Sindi saat belanja di warung.
***
Matahari mulai merangkak naik. Hari ini emak pulang lebih awal dari pasar besar. Sengaja ia buat kue sedikit agar cepat habis. Bagi emak, tidak mengapa penghasilannya berkurang. Yang penting, niat emak ke kantor polisi untuk lapor kehilangan anak tirinya itu harus berjalan sesuai rencana.
“Sindi?” Emak mengucek matanya yang tak gatal. Kaki emak yang tadinya sudah dipersiapkan gerak cepat untuk bersiap-siap ganti baju, mendadak seperti terpaku di depan pintu.
“Ya Allah! Ke mana saja kamu!” Emak mengguncang tubuh Sindi yang tertidur di sofa ruang tamu.
“Apa sih, Mak…” jawab Sindi malas dengan mata yang masih terpejam kuat.
“Jelaskan ke emak, Sin!” bentak emak sambil menahan air mata.
“Cari sepatu kaca, Mak.”
Deg! Jantung emak seolah mau loncat mendengar jawaban Sindi. Pikiran emak melayang pada gosip yang tengah hangat berembus.
***
Semenjak kejadian itu, emak terlihat lebih pendiam. Tak lagi cerewet seperti biasanya. Emak tidak menyuruh Sindi untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Emak pun tak komentar dengan aktivitas baru anak tirinya itu. Kini Sindi mempunyai kebiasaan pergi untuk mencari sepatu kaca. Setelah isya Sindi ke luar rumah, dan waktu pulangnya bersamaan dengan emak yang kembali dari pasar besar saat matahari sepenggalah. Emak memutuskan tidak mau banyak cakap dan tanya. Emak sibuk menerka, tapi tak siap mendengar kenyataan.
Tok tok tok!
“Heh! Cepat buka pintu, Cinderella kesiangan!”
Emak baru menyelesaikan empat rakaat di siang hari. Gegas emak ke depan, dan membuka pintu.
“Cari siapa?” tanya emak sambil memasang mata selidik ke arah tamu yang tak dikenalnya itu. Seorang wanita yang emak taksir seusia dengan dirinya. Rambut tersanggul rapi, memakai kebaya, ditambah parfum yang menyengat dari tubuh sang tamu.
“Ini rumah Sindi ‘kan?!” bentak si tamu. “Bilang sama dia! Jangan pernah lagi cari sepatu kaca kalau dia mau selamat!”
Sepeninggal si tamu, emak merangsek masuk dengan lemas ke dalam rumah. Pikiran emak berkelit kelindan, penuh pertanyaan. Tidak mungkin! Batin emak berontak. Ditengoknya Sindi yang tengah tertidur pulas di atas ranjang dari celah pintu kamar Sindi. Satu lagi yang berubah dari emak. Sejak Sindi kembali ke rumah, emak tidak pernah mau lagi masuk ke kamar Sindi. Tepatnya, emak pura-pura tak mau tahu dengan kondisi Sindi atau kamarnya.
Rupanya tamu wanita paruh baya yang kemarin datang bukanlah yang terakhir. Setelahnya banyak orang yang mendatangi rumah emak. Sebagian besar tamu yang tak dikenal emak berjenis kelamin wanita. Rata-rata datang sambil teriak dengan umpatan kasar disertai sumpah serapah yang sungguh tidak pantas didengar. Ada juga tamu laki-laki, baik tua maupun muda yang mencari Sindi. Semua menyampaikan pesan yang sama. “Jangan cari sepatu kaca lagi!”
***
Emak berusaha tutup mata dan kuping dengan semua yang terjadi. Emak ketakutan setengah mati. Sudah beberapa malam ini, emak memimpikan suaminya yang sudah tenang di alam kubur. Dalam mimpinya, almarhum Ayah Sindi murka karena emak tak mampu mendidik dan menjaga anaknya. Tiap bangun tidur, emak menggigil disertai peluh yang membasuh sekujur tubuhnya.
Akhirnya malam hari setelah Sindi pamit pergi, emak memberanikan masuk ke dalam kamar anak tirinya itu. Mata emak membulat lebar. Emak terbelalak melihat banyak sepatu kaca yang terjejer rapi di raknya. Hampir saja emak terpekik kaget jika tak segera membekap mulutnya.
“Dari mana semua sepatu kaca ini…” ucap emak lirih.
Tok tok tok!
Emak terkesiap mendengar ketukan pintu. Jarang ada yang bertamu pada jam-jam begini.
“Selamat malam. Betul ini rumah Sindi? Kami dari pihak kepolisian ingin melaporkan kalau Sindi...” Belum sempat pria berseragam cokelat lengkap dengan atribut kepolisiannya itu menyelesaikan kalimatnya, emak pingsan.
***
Setelah siuman, emak dibawa polisi ke suatu tempat. Dalam perjalanan emak diam seribu bahasa. Emak tidak peduli dengan rentetan pertanyaan dari polisi wanita yang duduk di sampingnya. Pikiran emak dipenuhi dengan dongeng Cinderella, sepatu kaca juga wajah almarhum Ayah Sindi.
Sesampainya di tempat yang dituju, emak keluar mobil dengan kaki gemetaran. Emak ragu untuk melangkah. Emak juga tak berani mendongakkan kepala. Namun polisi wanita menuntun emak dengan hati-hati untuk masuk ke dalam bangunan mewah. Emak disambut hawa dingin yang menusuk kulit. Juga mencubit ulu hati emak dengan sangat perih. Dalam hati, emak tengah menyumpah serapahi dongeng Cinderella yang telah meracuni hati serta otak Sindi. Sepatu kaca itu takkan pernah ada untuk orang malas dan yang lewat jalan pintas!
Emak tertegun di depan pintu bernomorkan 102. Saat polisi membuka pintu, emak mulai berani mengedarkan pandangan. Emak kembali pingsan saat melihat tubuh Sindi yang tebujur kaku dan tak ditutup sehelai benang pun. Di sekeliling mayat anak tirinya itu, berhamburan sepatu kaca yang pecah serta serpihan-serpihannya yang terserak.


               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan komentar dengan bahasa santun :)