Alhamdulillah
yah, tahun kemarin yang baru beberapa hari lewat, tepatnya tanggal 5 Juni 2016,
hehe. Terbit cerpen pertamaku di media! Ayey! Meski koran lokal, tapi itu juga udah
syukur banget. Cerpen ini awal mulanya berasal dari tantangan untuk nge-remake dongeng
yang diadain sama Ruru di grup OWOP (one week one paper). Well, sebenernya
sebagai seorang ibu muda, ada beberapa dongeng dari luar negeri yang agak gak sreg
di saya. Bukan gak suka sepenuhnya kok. Tapi hmm, ambil kisah Putri Cinderella
yang ceritanya udah melegenda seantero dunia. Tentang seorang anak tiri yang
disiksa oleh ibu dan saudara-saudara tirinya, lalu ada ibu peri dan triiiing!
Jadilah putri dalam waktu semalam, datang ke pesta dansa kemudian bertemu
pangeran kerajaan. Terjadilah insiden ketinggalan sepatu kaca tepat jam 12
malam teng, karena jika melewati jam 12 malam, sang putri akan kembali lagi
mengenakan pakaian compang-campingnya. Nahas pangeran menemukan sepatu kaca
yang tertinggal karena Cinderella terburu-buru meninggalkan ruang pesta. Kadung
jatuh cinta, pangeran itu akhirnya mencari ke mana-mana pemilik sepatu kaca
itu. Sampailah pada akhir cerita yang happy ending, pangeran bertemu Cinderella
dan hidup bahagia selamanya.
Hm,
ketika nanti Mursyid mendengar kisah itu, akan saya jelaskan pesan moralnya
begini:
Kesulitan
hidup itu adalah tarbiyah dari Allah. Lantas tujuan bersabar bukan karena dunia
semata (mendapat harta, pasangan kaya dsb). Tapi karena percaya janji Allah itu
pasti. Jika di dunia Allah belum kabulkan, maka surga adalah segalanya.
Dan
akhirnya, saya mendapat ide membuat cerpen dengan kisah seperti ini. Cekidot~
Sindi(rella) Mencari Sepatu Kaca
"Siiiin ...
Sindiiiii!" panggil emak dari dapur. Entah untuk yang keberapa kalinya,
emak mendapati tumpukan piring kotor yang belum dicuci atau kondisi rumah yang juga
belum dikemas rapi.
Yang dipanggil masih
asik menghirup wangi bunga tidur. Telinganya seolah sudah kebal dengan teriakan
emaknya yang memekakkan itu. Cekikikan serta bisik-bisik tetangga yang
mengatakan kalau Sindi anak tiri yang malas, tak juga membuat kuping dara
berusia 17 tahun itu panas.
Ayah Sindi menikah
dengan emak yang seorang janda sekitar lima tahun lalu. Saat itu usia Sindi baru
menginjak usia 12 tahun. Dari pihak emak belum memunyai anak. Setelah empat
tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Ayah Sindi meninggal akibat kanker
paru-paru stadium empat.
Selama ini Sindi
menyamakan hidupnya dengan Cinderella. Seperti yang ada pada dongeng pengantar
tidur yang kerap diceritakan Ayah Sindi saat masih kecil. Padahal para penghuni
gang pendidikan -tempat tinggal Sindi dan emaknya- juga tahu kalau Sindi jelas
lebih beruntung dari Cinderella. Sindi memang anak tiri. Tapi emaknya tak
pernah memperlakukan Sindi dengan kejam seperti Cinderella dalam buku-buku
cerita.
"Sindi! Mau sampai
kapan tidur hah? Matahari udah merangkak naik. Anak gadis malah malas-malasan!"
Emak menarik selimut. "Eh eh eh! Lihat piring dan gelas di dapur. Lantai
masih penuh debu!"
Inilah yang menjadi
alasan kuat Sindi menganggap dirinya bak Puteri Cinderella. Emaknya selalu
memerintahkan Sindi mengerjakan pekerja rumah tangga. Selesai cuci piring,
pakaian kotor menanti, belum lagi lantai yang harus disapu dan pel tiap hari,
atau setrikaan baju yang seolah siap mencekik kebebasan Sindi. Sindi bukan tak
menutup mata kalau emak juga banting tulang untuk kehidupan mereka.
Sehari-harinya, emak berdagang kue kering dan basah di pasar besar. Berangkat
sebelum ayam berkokok, pulang ke rumah menjelang siang.
***
Malas-malasan Sindi
beranjak dari tempat tidurnya. Tak lupa dengan gerutunya diseling nyanyian
"ratapan anak tiri" yang dipopulerkan oleh penyanyi dangdut kondang
Iis Dahlia. Emak hanya geleng-geleng kepala menyaksikan polah anak tiri semata
wayangnya itu.
"Kamu ini terlalu
sering dengar dongeng Cinderella dari ayahmu!" omel emak.
"Apalah emak ni!
Memang benar begitu. Aku disuruh kerja terus di rumah!" balas Sindi sambil
menimba air di sumur.
"Kamu itu anak
gadis, Sin. Kelak berumahtangga macem emak. Kalau kerjamu hanya tidur, makan,
pasang musik di kupingmu. Sekolah pun akhirnya keluar. Kelak mau jadi apa kamu!
Sepatu kaca itu tak pernah ada untuk orang malas."
"Apa urusan emak
dengan hidupku? Emak 'kan cuma emak tiriku!"
Selalu saja begitu.
Semua penghuni gang pendidikan sudah hafal di luar kepala percakapan antara
emak dan anaknya tirinya. Tentu saja terdengar jelas. Selain jarak antar rumah
warga yang berdempetan. Suara emak dan Sindi saat sedang bertengkar seperti
para calon wakil rakyat yang berorasi menyampaikan visi misi di depan warga.
Lantang dan tegas dengan masing-masing argumennya. Emak hanya mampu mengelus
dada. Tak jarang juga mengeluh. Namun cinta juga bakti emak kepada almarhum
Ayah Sindi membuatnya tak gentar untuk mendidik serta menjaga Sindi.
"Emak ini dititipi
kamu sama ayahmu! Kalau nanti ketemu ayah lagi di surga, emak bisa senyum
bangga.”
***
Sampai
suatu hari, Sindi menghilang hampir satu minggu lamanya. Emak kebingungan
setengah mati. Sindi tidak meninggalkan surat atau petunjuk apapun di kamarnya.
Semua warga gang pendidikan sudah emak tanyai perihal Sindi. Namun hasilnya
nihil. Tidak ada yang tahu batang hidung anak tirinya itu. Kasak-kusuk yang
beredar di kalangan para tetangga, Sindi melewati jalan pintas untuk
mendapatkan sepatu kaca yang selama ini ia idamkan. Emak tak acuh, pura-pura
tak mendengar kabar burung itu. Emak hanya tersenyum kecut jika kedapatan
ibu-ibu yang menggosipkan Sindi saat belanja di warung.
***
Matahari
mulai merangkak naik. Hari ini emak pulang lebih awal dari pasar besar. Sengaja
ia buat kue sedikit agar cepat habis. Bagi emak, tidak mengapa penghasilannya
berkurang. Yang penting, niat emak ke kantor polisi untuk lapor kehilangan anak
tirinya itu harus berjalan sesuai rencana.
“Sindi?”
Emak mengucek matanya yang tak gatal. Kaki emak yang tadinya sudah dipersiapkan
gerak cepat untuk bersiap-siap ganti baju, mendadak seperti terpaku di depan
pintu.
“Ya
Allah! Ke mana saja kamu!” Emak mengguncang tubuh Sindi yang tertidur di sofa
ruang tamu.
“Apa
sih, Mak…” jawab Sindi malas dengan mata yang masih terpejam kuat.
“Jelaskan
ke emak, Sin!” bentak emak sambil menahan air mata.
“Cari
sepatu kaca, Mak.”
Deg!
Jantung emak seolah mau loncat mendengar jawaban Sindi. Pikiran emak melayang
pada gosip yang tengah hangat berembus.
***
Semenjak
kejadian itu, emak terlihat lebih pendiam. Tak lagi cerewet seperti biasanya.
Emak tidak menyuruh Sindi untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Emak pun tak
komentar dengan aktivitas baru anak tirinya itu. Kini Sindi mempunyai kebiasaan
pergi untuk mencari sepatu kaca. Setelah isya Sindi ke luar rumah, dan waktu
pulangnya bersamaan dengan emak yang kembali dari pasar besar saat matahari
sepenggalah. Emak memutuskan tidak mau banyak cakap dan tanya. Emak sibuk
menerka, tapi tak siap mendengar kenyataan.
Tok
tok tok!
“Heh!
Cepat buka pintu, Cinderella kesiangan!”
Emak
baru menyelesaikan empat rakaat di siang hari. Gegas emak ke depan, dan membuka
pintu.
“Cari
siapa?” tanya emak sambil memasang mata selidik ke arah tamu yang tak
dikenalnya itu. Seorang wanita yang emak taksir seusia dengan dirinya. Rambut
tersanggul rapi, memakai kebaya, ditambah parfum yang menyengat dari tubuh sang
tamu.
“Ini
rumah Sindi ‘kan?!” bentak si tamu. “Bilang sama dia! Jangan pernah lagi cari
sepatu kaca kalau dia mau selamat!”
Sepeninggal
si tamu, emak merangsek masuk dengan lemas ke dalam rumah. Pikiran emak
berkelit kelindan, penuh pertanyaan. Tidak mungkin! Batin emak berontak.
Ditengoknya Sindi yang tengah tertidur pulas di atas ranjang dari celah pintu
kamar Sindi. Satu lagi yang berubah dari emak. Sejak Sindi kembali ke rumah,
emak tidak pernah mau lagi masuk ke kamar Sindi. Tepatnya, emak pura-pura tak
mau tahu dengan kondisi Sindi atau kamarnya.
Rupanya
tamu wanita paruh baya yang kemarin datang bukanlah yang terakhir. Setelahnya
banyak orang yang mendatangi rumah emak. Sebagian besar tamu yang tak dikenal
emak berjenis kelamin wanita. Rata-rata datang sambil teriak dengan umpatan
kasar disertai sumpah serapah yang sungguh tidak pantas didengar. Ada juga tamu
laki-laki, baik tua maupun muda yang mencari Sindi. Semua menyampaikan pesan
yang sama. “Jangan cari sepatu kaca lagi!”
***
Emak
berusaha tutup mata dan kuping dengan semua yang terjadi. Emak ketakutan
setengah mati. Sudah beberapa malam ini, emak memimpikan suaminya yang
sudah tenang di alam kubur. Dalam mimpinya, almarhum Ayah Sindi murka karena
emak tak mampu mendidik dan menjaga anaknya. Tiap bangun tidur, emak menggigil
disertai peluh yang membasuh sekujur tubuhnya.
Akhirnya
malam hari setelah Sindi pamit pergi, emak memberanikan masuk ke dalam kamar
anak tirinya itu. Mata emak membulat lebar. Emak terbelalak melihat banyak
sepatu kaca yang terjejer rapi di raknya. Hampir saja emak terpekik kaget jika
tak segera membekap mulutnya.
“Dari
mana semua sepatu kaca ini…” ucap emak lirih.
Tok
tok tok!
Emak
terkesiap mendengar ketukan pintu. Jarang ada yang bertamu pada jam-jam begini.
“Selamat
malam. Betul ini rumah Sindi? Kami dari pihak kepolisian ingin melaporkan kalau
Sindi...” Belum sempat pria berseragam cokelat lengkap dengan atribut
kepolisiannya itu menyelesaikan kalimatnya, emak pingsan.
***
Setelah
siuman, emak dibawa polisi ke suatu tempat. Dalam perjalanan emak diam seribu
bahasa. Emak tidak peduli dengan rentetan pertanyaan dari polisi wanita yang
duduk di sampingnya. Pikiran emak dipenuhi dengan dongeng Cinderella, sepatu
kaca juga wajah almarhum Ayah Sindi.
Sesampainya
di tempat yang dituju, emak keluar mobil dengan kaki gemetaran. Emak ragu untuk
melangkah. Emak juga tak berani mendongakkan kepala. Namun polisi wanita
menuntun emak dengan hati-hati untuk masuk ke dalam bangunan mewah. Emak
disambut hawa dingin yang menusuk kulit. Juga mencubit ulu hati emak dengan
sangat perih. Dalam hati, emak tengah menyumpah serapahi dongeng Cinderella
yang telah meracuni hati serta otak Sindi. Sepatu kaca itu takkan pernah ada
untuk orang malas dan yang lewat jalan pintas!
Emak
tertegun di depan pintu bernomorkan 102. Saat polisi membuka pintu, emak mulai
berani mengedarkan pandangan. Emak kembali pingsan saat melihat tubuh Sindi
yang tebujur kaku dan tak ditutup sehelai benang pun. Di sekeliling mayat anak
tirinya itu, berhamburan sepatu kaca yang pecah serta serpihan-serpihannya yang
terserak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)