Pertanyaan Basa-Basi

Saya ini agak males kalau ketemu sama ibu-ibu yang hobinya membandingkan anaknya dengan anak orang lain. Entah anaknya yang dia sanjung atau sebaliknya.

Contoh gini :
"Jeng, kok udah mau setahun anaknya belom bisa jalan sih? Ibunya males ngelatih jalan ya? Kalau anak saya mah, cepet banget jalannya. Setahun kurang loh udah bisa jalan. Anaknya jeng termasuk yang lama ya berarti."

Saya pernah ketemu dengan ibu yang model macem begini. Yaa ucapannya sih gak sama. Tapi kira-kira begitu deh. Dan saya cuma kasih senyum sambil bilang, "Masyaa Alloh. Baarakallah ya, Bu."
Setelah itu ngeloyor pergi dengan tangan kiri gendong Mursyid.

Plis banget para mamah muda atau tua, gak perlu kita bandingkan begitu. Emang tahu kalau di rumahnya gak pernah dilatih jalan? Tahu ibunya males?

Jaga perasaan orang lain dari sekadar pertanyaan baca-basi yang emang basi. Bisa 'kan kalimatnya diganti dengan yang lebih elegan? Gak perlu diembel-embeli dengan anak saya begini-begitu. Bertanya sewajarnya aja. "Usianya berapa, Bu? Udah bisa apa nih?"

Lalu dijawab anaknya setahun dan masih belajar jalan.

"Gak apa-apa. Insyaa Alloh bentar lagi bisa jalan sama lari ya. Aamiin."

Yang kayak gitu lebih enak didengar.

Komentarlah dengan wajar pula. Kita kan gak tahu, si anak memang spesial misal, atau perjuangan si ibu melatih anaknya.

"Jeng, ih, anaknya anak sapi ya? Kok susunya sapi?" 

Saya alhamdulillah masih ASI Mursyid sampai sekarang. Tapi saya gak pernah bertanya seperti itu ke ibu-ibu yang kasih sufor ke anaknya. Emang kita tahu, kali aja kan si ibu ada kondisi medis yang gak bisa ngASI anaknya. Plis jaga perasaan.

"Jeng kenapa kerja di luar rumah? Gak kasihan sama anaknya? Nanti anaknya lebih deket sama pembantu atau nenek-kakeknya loh."

Pertanyaan itu subhanallah... saya pernah dicurhati teman yang memlilih karir di luar karena terpaksa. Terus dia bilang sedih dan perih karena ada yang komentar seperti di atas. Duh, tahukah? Baik ibu yang karir di luar rumah atau memilih di rumah, keduanya memiliki hati baja dengan pengertian masing-masing.   

"Jeng, kok anaknya di vaksin? Emang gak tahu ya kalau vaksin itu dari babi? Ntar anaknya jadi kayak babi gimana? Lagian itu gak ada di zaman Rasulullah. Gak ikut sunnah nabi tuh. Jeng mau jadi antek orang kafir?"

Demiapah kalau ketemu ibu yang begitu, pengen saya lempar hape eh sayang hapenya. Pun kalau misal ada yang provaksin bully pakai kata-kata kasar ke antivaksin, saya juga gak setuju. Saya lebih memilih diam dan menjauh dari debat. Yang penting, semua dalil dan penjelasan ilmiah sudah saya utarakan. Duh, kalau ngomong masalah vaksin, syusah emang ketemu titik temu. Panjang kayak rel kereta, luas macem samudera kalau mau bahas soal vaksin dan antivaksin. Butuh postingan tersendiri. Plis ya buibu, saya itu walau provaksin, gak benci sama antivaks! Cuma gemes aja #eh. Saya benci kampanye antivaksin dengan nyebar berita yang hoax atau gak valid. Saya dan suami juga termasuk yang menerapkan thibbun nabawi loh. Bekam oke, alhamdulillah juga suami saya bisa bekam. Habbat, madu dan lainnya oke juga. Tapi vaksin juga bismillaah.

Plis. Jaga perasaan. Dengan kalimat embel-embelnya itu. Jangan sampai jalinan persahabatan merenggang karena lisan yang tak terjaga. Astaghfirullah... tulisan ini self reminder buat saya. Jaga hati, jaga hati, jaga hati. Jaga lisan-tulisan, jaga lisan-tulisan, jaga lisan-tulisan.