Yeah, ini dia fanfic CCS persembahan Zu dan Emud!
Yang belom baca Chapter 3-nya, jangan lupa mampir dulu ke sini
Seperti yang diketahui, untuk fanfic ini dibuat per-chapter dan per-pov. Saya bertugas membuat di POV Sakura, dan Emud di POV Shaoran. Mohon maaf kalau OOC, semoga ngga parah, dan inilah fanficnyaaaa~~~~
Cekidot!
Yang belom baca Chapter 3-nya, jangan lupa mampir dulu ke sini
Seperti yang diketahui, untuk fanfic ini dibuat per-chapter dan per-pov. Saya bertugas membuat di POV Sakura, dan Emud di POV Shaoran. Mohon maaf kalau OOC, semoga ngga parah, dan inilah fanficnyaaaa~~~~
Cekidot!
To: Kinomoto
Sakura
Hari ini
luang? Bisa ketemuan? Jam 11 di Taman Pinguin, gimana?
Aku tersenyum setelah mengirim pesan itu. Aku yakin Sakura cemas
memikirikanku semalaman. Kupandangi sesuatu yang kubungkus rapi tergeletak di
atas meja. Isinya adalah kue berbentuk teddy
bear yang kubuat subuh tadi untuknya. Semoga
hari ini berjalan lancar…
“Lee, ayo kita sarapan dulu,”
panggil seseorang dari balik pintu kamar.
“Ya, dalam beberapa menit aku akan
ke meja makan,”
Aku memandangi wajah dan pakaianku
di depan cermin. Kulilitkan syal hijau di leherku. Aku ingin datang lebih awal
ke Taman Pinguin dari waktu yang kujanjikan pada Sakura. Kumasukkan ponsel ke
dalam saku celana dan tak lupa kubawa kue buantanku.
“Ohayo,” sapaku pada seseorang yang sudah menunggu untuk
sarapan.
“Ohayo, Lee,” balas Yukito dengan
senyumnya yang khas.
“Kau mau ke mana, Lee? Sudah rapi
sekali?”
“Oh, emm, ada janji dengan
seseorang…”
Aku malu untuk
mengatakan yang sebenarnya.
“Kau mau menyerahkan kue itu padanya
ya?”
Aku hanya mengangguk pelan mendengar
ucapan Yukito.
“Ah, Yukito… terima kasih atas tumpangannya.”
“Tak perlu sungkan. Anggap saja
rumah sendiri. Aku malah senang ada kawannya.”
***
To : Kinomoto
Sakura.
Jam
11, di Taman pinguin ya. Sampai Nanti.
Aku menutup layar ponsel setelah mengirim pesan yang kedua
untuk Sakura. Aku datang lebih awal dari waktu yang kujanjikan. Sengaja. Aku
rindu Tomoeda dan ingin mengenang saat aku dan Sakura mengumpukan kartu clow,
juga pada saat mengubah kartu clow menjadi kartu sakura.
Saat kakiku menjejak di Taman Pinguin, aku terjebak dalam bagian
labirin memori yang tak ingin kuingat. Saat itu, Sakura menceritakan bahwa ia
baru saja ditolak oleh Yukito. Tentu saja seperti ada yang menusuk tepat di
dadaku. Namun aku tak ingin melihat Sakura menangis. Ingin rasanya kala itu
kuhapus sendiri air matanya dengan jemariku. Tapi… kuputuskan memberi sapu
tangan milikku saja. Aku biarkan dia menangis dalam pelukanku. Saat itu Sakura
masih menganggapku sahabatnya, sedang aku sudah memandangnya sebagai seorang
perempuan yang kusukai…
“Sha-Shaoran...?”
Aku
terperanjat kaget mendengar sapaan yang tiba-tiba.
“Hai...”
Aku tersenyum sambil melambaikan tangan.
“Em...
ha-hai...” Sakura membalas senyumanku.
Aku bingung harus memulai percakapan dari mana. Sakura tentu
masih bertanya-tanya mengapa baru sekarang aku menemuinya. Andai kau tahu,
Sakura. Betapa selama empat tahun ini aku mati-matian menahan rindu yang
acapkali membuat sesak.
“Em...
Bagaimana kabarmu?” Sakura membuka percakapan.
“Menurutmu,
bagaimana?” tanyaku balik.
Aku
melihat ekspresi bingung di wajahnya, lalu kulanjutkan dengan sebuah pengakuan
jujur. “Tidak bertemu orang yang kusukai selama empat tahun, aku rasa bukan
termasuk kabar yang baik.”
“Ka-kalau
begitu kenapa nggak pernah datang menemuiku?”
Hhhh…
sudah kuduga. Pasti akan dilanjut dengan pertanyaan semacam itu.
“Aku
rasa, aku sudah bilang alasannya pada ayahmu kemarin.” jawabku sekenanya sambil
kupandangi wajah kesal Sakura.
Aku tahu Sakura takkan percaya
dengan alasan sibuk membantu bisinis ibu.
“Jadi
kamu mau aku bilang gimana?” tanyaku sambil mencondongkan tubuh ke arahnya.
Aku dapat memindai wajah orang yang kurindukan dari dekat.
“Ya-ya...
terserah. Ya-yang lebih masuk akal.” Sakura terlihat gugup saat kami hanya
berjarak beberapa senti saja.
“Kalau
kamu marah wajar kok...” kataku sambil mengelus pelan kepalanya.
Apa
kamu tahu, Sakura? Bukan hanya kamu yang benci jarak dalam hubungan kita. Tapi
setidaknya, ia dapat membuatku yakin-pun kamu, bahwa rindu adalah bahan bakar
yang baik untuk cinta.
Baru
saja aku ingin memeluk perempuan yang ada di hadapanku. Jika saja…
Krauk,
krauk, krauk!
Terdengar
seperti ada seseorang yang sedang makan sesuatu.
“Hoooeee!!!
Ke-Kero!?”
“Huaa!
Kuenya!!” Aku berteriak panik.
“Eh?
Kue?”
“Apa
yang kau lakukan, Kerberos!” Aku merebut bungkus kue yang isinya sedang
dinikmati oleh makhluk penjaga segel kartu clow.
“Kueku!!”
protes Kero.
Bagaimana
mungkin usahaku menjadi sia-sia begini? Aku sengaja bangun pagi buta untuk
membuat kue- yang tadinya- adalah hadiah untuk Sakura. Tapi Kerberus
menghancurkan semuanya.
“Tinggal
setengah... maaf, Sakura. Padahal aku berniat untuk memberikannya padamu
tadi...”
“Nggak
apa. Akan kuterima sisanya...” Sakura mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku
memberikan bungkusan kue yang isi separuhnya sudah dilahap oleh Kero.
“…kueku...”
Aku mendengar suara Kero lemas.
“Keliahatannya
enak. Kamu membuatkannya sendiri untukku?” tanya Sakura sambil tersenyum.
“Yah, dibantu sedikit oleh Yukito-san.” jawabku
jujur sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
“Kamu
tinggal di tempatnya Kak Yukito?”
“Kebetulan
saat kemarin sedang mencari penginapan aku bertemu dengannya dan dia menawarkan
untuk menginap di rumahnya.”
***
flashback
Setelah
kedatanganku yang tiba-tiba di rumah Sakura dan mengganggu acara makan malam
keluarga mereka, aku diusir oleh Kak Toya. Memang bukan karena alasan yang tak
jelas. Kak Toya hanya takut tetangga sekitar rumah mereka berpandangan buruk
jika ada laki-laki asing –yang belum resmi menjadi bagian keluarga tentunya-
menginap selama liburan musim dingin.
Tapi
ke mana lagi harus kucari penginapan yang kosong saat musim liburan begini? Aku
merutuki kebodohanku. Seandainya saja aku tak terlalu mengandalkan rumah Daidoji.
Mungkin saat di Cina aku sudah memesan lewat telepon untuk satu kamar di sebuah
penginapan.
Aku
terhenti di bawah lampu jalanan sambil
mengembuskan napas pelan. “Hhhhh…”
Saat
hampir putus asa, ada suara laki-laki tak asing menyapaku. “Lee?”
“Oh,
Yukito-san?”
“Sejak
kapan ada di Tomoeda? Lalu kau mau ke mana?”
“Baru
beberapa jam yang lalu mendarat,” Aku membetulkan letak ranselku yang cukup
berat. “Aku… sedang mencari penginapan.”
“Penginapan?
Kau tak menginap di rumah Daidoji atau Sakura?”
“Daidoji
sedang dalam perjalanan ke Inggris menemani ibunya. Kalau Sakura… emm…”
“Ah,
aku tahu alasannya.” Yukito tersenyum. Ia seolah paham kenapa aku sulit
menjelaskan alasannya.
“Yeah…”
“Bagaimana
jika kau menginap di rumahku? Gratis. Tak perlu bayar apapun.”
Aku
kaget mendengar tawaran Yukito. Aku memang tak punya pilihan lain. Tapi jika
Kak Toya tahu…
“Tenang.
Kalau pun Toya tahu, dia takkan mampu mengusirmu dari rumahku.”
“Baiklah. Terima kasih sebelumnya, Yukito-san. Dan juga,
maaf merepotkanmu karena kedatangan tamu mendadak.” Aku pun akhirnya menyutujui
tawaran Yukito.
“Jangan sungkan. Ayo kita ke rumahku. Udara di luar sangat
dingin.” ajak Yukito.
Saat kami baru jalan beberapa langkah. “Apa tak ada kabar
terbaru tentang kartu clow?”
“Yue-san?!” Aku terperanjat kaget dan reflek menoleh ke arah
suara.
“Lama tak berjumpa, Lee. Kulihat kau bak-baik saja.”
flashback end
***
“Wah
keliatannya asik.”
ujar Sakura setelah mendengar ceritaku semalam.
Sejujurnya aku masih menyimpan sedikit –yang entah kenapa
sulit hilang- rasa cemburu. Aku tentu sangat paham bagaimana perasaan Sakura
pada Yukito dulu. Mungkin hanya sebatas kagum yang berlebihan. Tapi tetap saja…
buktinya Sakura sampai membuat pengakuan walau berakhir dengan penolakan.
“Dan
Kero! Kenapa kamu bisa di sini!?” Sakura berteriak ke arah Kero sambil memasang
muka sebal.
“Hee!?
Ya-yah... aku pikir kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku, Sakura. Jadi
ketika kau sedang menelpon, aku diam-diam masuk ke tasmu. Dan ternyata benar!!
Bocah ini membawakan kue! Itu kuekuuu!!” Kero masih berusaha keras merebut kue
pemberianku dari tangan Sakura.
“Ini
milikku, Kero!” tukas Sakura. “ Dan sekarang jadi tinggal sedikit begini...”
“Tidak,
itu kueku!!!” Kero tetap tak mau mengalah untuk sesuatu yang bukan miliknya.
“Kalau
begitu bagaimana kita ke cafe
sekalian untuk makan siang?” Aku melerai keduanya. Jika tak kuhentikan, mungkin
terjadi semacam perkelahian antara majikan dan sang penjaga kartu. Yang jelas, kencan
pertamaku semakin berantakan.
“Eh?”
Sakura terlihat bingung dengan ajakanku.
“Asiik!”
Kero berteriak kegirangan dan melepaskan kue itu dari tangannya.
“Hei
bocah! Lama nggak ketemu ternyata semakin pintar.” Kero menepuk bahu kiriku
dengan gayanya seperti laki-laki dewasa.
“Ayo?” Aku menggamit tangan Sakura.
Walau
akhirnya Kero ikut kami, setidaknya kencan pertamaku dan Sakura tak berakhir mengenaskan.
***
“Silakan
dilihat dulu menunya.” Ucap pelayan cafĂ© pada kami yang memilih tenpat duduk
dekat jendela besar menghadap jalan raya.
“Ah,
terima kasih Jiro...”
Sepertinya
Sakura mengenal baik pelayan yang berdiri di depan meja makan kami.
“Dia
temanmu, Sakura?” tanya si pelayan –yang kutahu bernama Jiro.
“Bu-bukan...
pa-pa...”
“Aku
pacarnya.” Kuulurkan tangan kananku untuk berjabat tangan. Namun Jiro tak
mengacuhkanku. Tiba-tiba aku teringat isi pesan yang dikirim Daidoji lewat
surel. Tentang laki-laki yang siap merebut Sakura dari tanganku. Jangan-jangan…
Tak
lama setelah kami menyebut menu yang diinginkan, makanan yang kami pesan sudah
terhidang di meja.
Tapi… uh… kenapa rasanya aneh
begini? Asin sekali…
Jika
tak ingat bahwa ini adalah kencan pertamaku dengan Sakura, mungkin sudah
kumuntahkan makanan yang ada di mulutku. Tapi aku tak ingin membuat Sakura
cemas. Dan aku juga tak boleh mengambil kesimpulan terlalu cepat tentang Jiro.
Mungkin saja rasa makanan yang aneh ini hanya semacam sambutan perkenalan …
***
Selesai
makan siang, aku mengajak Sakura pergi ke beberapa toko yang menjual teddy bear untuk melihat-lihat. Kerberus
sepertinya tidur nyenyak di dalam tas Sakura akibat kekenyangan. Namun selama
di toko, aku merasa ada sepasang mata yang sedari tadi mengawasi kami. Mengintai
aku dan Sakura. Tapi siapa?
“Shaoran?
Ada masalah?”
“Tidak
ada, Sakura.” Jawabku cepat.
Sakura
seperti menyadari sikapku yang sedang mencari-cari. Lalu kuajak dia duduk di
bangku dekat pohon besar di seberang jalan toko. Aku meminta izin pada Sakura
pergi sebentar. Memastikan sesuatu. Tapi tetap tak kutemukan jawaban atas
perasaan aneh yang menyelimutiku. Kubeli dua orange juice di mesin penjual minuman otomatis.
Saat
kami sedang menikmati minuman kaleng, tiba-tiba saja ingataku melayang pada
sebuah kisah yang belum pernah kuceritakan pada Sakura. Masih tentang kartu
clow… selain karena dalam tubuhku mengalir darah Tuan Clow, ada alasan lain
yang mengharuskan aku mengumpulkan semua kartu itu. Ya… permintaan kakek.
“Sakura,
apa sejak saat itu kamu masih merasakan adanya keberadaan kartu?”
“Sudah
nggak pernah lagi. Kenapa?” Sakura balik bertanya.
“Berarti
kartu itu sudah benar-benar terkumpul ya?”
“Sepertinya
begitu.”
“Lalu,
selama empat tahun terakhir nggak terjadi apapun?” tanyaku menegaskan.
“Em...
aku rasa begitu. Memangnya ada apa sih?” Sakura semakin penasaran. Dia menuntut penjelasan yang rinci.
“Sebenernya
ini cerita yang sudah sangat lama... almarhum kakek memintaku untuk mengampulkan
kartu clow itu bersama beliau. Setelah aku tahu keberadaan semua kartu di Tomoeda,
aku langsung ke sini. Almarhum kakek bilang, saat semua kartu clow terkumpul,
maka kita dapat mewujudkan suatu harapan yang bagi kita tak mungkin. Namun
sebelum aku berhasil mengumpulkan kartu-kartu itu, kakek meninggal dalam
penantiannya.”
“Menurutmu
harus bagaimana?” tanya Sakura setelah mendengar penjelasnku.
“Entahlah.
Meskipun aku sudah membaca jurnal-jurnal yang dikumpulkan kakek bertahun-tahun,
aku tidak bisa menemukan informasi penting mengenai ‘permintaan yang terkabul’
itu.” jawabku setengah putus asa.
“Aku
nggak inginkan apa-apa lagi...” Aku mendengar komentar lirih Sakura atas
jawabanku.
Aku
menatap lama matanya. Aku pun tak inginkan apa-apa dari semua kartu itu.
Melihat semua kartu sudah menemukan pemiliknya –dan itu adalah gadis yang
kusukai- sudah cukup bagiku. Yang kuinginkan hanya bisa bersama Sakura
–selamanya.
“Ketemu!”
seorang gadis yang usianya kira-kira sepantaran dengan kami, mendekat dan
berhenti tepat di hadapanku.
Eh?
Gadis dengan wajah oriental. Siapa?
“Lee
Shaoran?” Gadis itu bertanya dengan logat Cina yang khas. “Namaku Lihua. Kau
belum diberitahu oleh ibumu tentang pertunangan kita?”
“Apa?!”
Lalu
pandangan gadis berambut cokelat sepunggung itu beralih ke Sakura. “Ah, aku
Lihua. Em... dalam bahasa Jepangnya apa ya... tu- tunangan? Ah, ya... aku
tunangannya Lee Shaoran, halo!”
Aku
sangat kaget mendengar penuturan gadis ini. Gadis yang mengaku bernama Lihua mengingatkanku
pada Meilin yang juga pernah menyebut dirinya sebagai tunanganku. Tapi
masalahnya, aku sama sekali tak mengenal dia. Tiba-tiba saja hadir di kencan
pertamaku dan mengaku sebagai tunanganku? Oh Tuhan… tak cukupkah Kak Toya
sebagai ujian cintaku pada Sakura?
Aku
memandang Sakura yang -sudah pasti- kaget dan bingung.
“Tunggu.
Apa maksud ucapanmu itu, Nona Lihua? Aku tak mengenalmu sama sekali.” sanggahku
cepat. Aku takut Sakura salah paham.
“Coba
kamu hubungi ibumu, Lee.” ujar Lihua sambil menyerahkan ponselnya yang sudah
terhubung ke nomor ibuku.
Di
ujung telepon, aku mendengar semua penjelasan dari ibu. Tentang permintaan
kakek… juga janji kakek pada almarhum sahabatnya jika tak berhasil mengumpulkan
kartu clow. Ya Tuhan… bagaimana caraku menjelaskan semua ini pada Sakura?
Bersambung!
Ciee shaoran baper cieee *dikemplang pake pedang
BalasHapusYuk Emud kita akhir saja cerita ini, kita bikin dia menikah langsung, nikah mudah *ngagul
Ngiahahaha. Yang nulis juga baper :3
HapusBoleh tuh!Hmm...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus