10 Maret 2016

[fanfiction CCS] Berita Pertunangan




Yeah, ini dia fanfic CCS persembahan Zu dan Emud!

Yang belom baca Chapter 3-nya, jangan lupa mampir dulu ke sini
Seperti yang diketahui, untuk fanfic ini dibuat per-chapter dan per-pov. Saya bertugas membuat di POV Sakura, dan Emud di POV Shaoran. Mohon maaf kalau OOC, semoga ngga parah, dan inilah fanficnyaaaa~~~~

Cekidot!
To: Kinomoto Sakura
Hari ini luang? Bisa ketemuan? Jam 11 di Taman Pinguin, gimana?

Aku tersenyum setelah mengirim pesan itu. Aku yakin Sakura cemas memikirikanku semalaman. Kupandangi sesuatu yang kubungkus rapi tergeletak di atas meja. Isinya adalah kue berbentuk teddy bear yang kubuat subuh tadi untuknya. Semoga hari ini berjalan lancar…
            “Lee, ayo kita sarapan dulu,” panggil seseorang dari balik pintu kamar.
            “Ya, dalam beberapa menit aku akan ke meja makan,”
            Aku memandangi wajah dan pakaianku di depan cermin. Kulilitkan syal hijau di leherku. Aku ingin datang lebih awal ke Taman Pinguin dari waktu yang kujanjikan pada Sakura. Kumasukkan ponsel ke dalam saku celana dan tak lupa kubawa kue buantanku.
“Ohayo,” sapaku pada seseorang yang sudah menunggu untuk sarapan.
            “Ohayo, Lee,” balas Yukito dengan senyumnya yang khas.
            “Kau mau ke mana, Lee? Sudah rapi sekali?”
            “Oh, emm, ada janji dengan seseorang…”
 Aku malu untuk mengatakan yang sebenarnya.
            “Kau mau menyerahkan kue itu padanya ya?”
            Aku hanya mengangguk pelan mendengar ucapan Yukito.
“Ah, Yukito… terima kasih atas tumpangannya.”
            “Tak perlu sungkan. Anggap saja rumah sendiri. Aku malah senang ada kawannya.”
***

To : Kinomoto Sakura.
Jam 11, di Taman pinguin ya. Sampai Nanti.

Aku menutup layar ponsel setelah mengirim pesan yang kedua untuk Sakura. Aku datang lebih awal dari waktu yang kujanjikan. Sengaja. Aku rindu Tomoeda dan ingin mengenang saat aku dan Sakura mengumpukan kartu clow, juga pada saat mengubah kartu clow menjadi kartu sakura.
Saat kakiku menjejak di Taman Pinguin, aku terjebak dalam bagian labirin memori yang tak ingin kuingat. Saat itu, Sakura menceritakan bahwa ia baru saja ditolak oleh Yukito. Tentu saja seperti ada yang menusuk tepat di dadaku. Namun aku tak ingin melihat Sakura menangis. Ingin rasanya kala itu kuhapus sendiri air matanya dengan jemariku. Tapi… kuputuskan memberi sapu tangan milikku saja. Aku biarkan dia menangis dalam pelukanku. Saat itu Sakura masih menganggapku sahabatnya, sedang aku sudah memandangnya sebagai seorang perempuan yang kusukai…
“Sha-Shaoran...?”
            Aku terperanjat kaget mendengar sapaan yang tiba-tiba.
“Hai...” Aku tersenyum sambil melambaikan tangan.
“Em... ha-hai...” Sakura membalas senyumanku.
Aku bingung harus memulai percakapan dari mana. Sakura tentu masih bertanya-tanya mengapa baru sekarang aku menemuinya. Andai kau tahu, Sakura. Betapa selama empat tahun ini aku mati-matian menahan rindu yang acapkali membuat sesak.
“Em... Bagaimana kabarmu?” Sakura membuka percakapan.
“Menurutmu, bagaimana?” tanyaku balik.
Aku melihat ekspresi bingung di wajahnya, lalu kulanjutkan dengan sebuah pengakuan jujur. “Tidak bertemu orang yang kusukai selama empat tahun, aku rasa bukan termasuk kabar yang baik.”
“Ka-kalau begitu kenapa nggak pernah datang menemuiku?”
Hhhh… sudah kuduga. Pasti akan dilanjut dengan pertanyaan semacam itu.
“Aku rasa, aku sudah bilang alasannya pada ayahmu kemarin.” jawabku sekenanya sambil kupandangi wajah kesal Sakura. Aku tahu Sakura takkan percaya dengan alasan sibuk membantu bisinis ibu.
“Jadi kamu mau aku bilang gimana?” tanyaku sambil mencondongkan tubuh ke arahnya. Aku dapat memindai wajah orang yang kurindukan dari dekat.
“Ya-ya... terserah. Ya-yang lebih masuk akal.” Sakura terlihat gugup saat kami hanya berjarak beberapa senti saja.
“Kalau kamu marah wajar kok...” kataku sambil mengelus pelan kepalanya.
Apa kamu tahu, Sakura? Bukan hanya kamu yang benci jarak dalam hubungan kita. Tapi setidaknya, ia dapat membuatku yakin-pun kamu, bahwa rindu adalah bahan bakar yang baik untuk cinta.
Baru saja aku ingin memeluk perempuan yang ada di hadapanku. Jika saja…
Krauk, krauk, krauk!
Terdengar seperti ada seseorang yang sedang makan sesuatu.
“Hoooeee!!! Ke-Kero!?”
“Huaa! Kuenya!!” Aku berteriak panik.
“Eh? Kue?”
“Apa yang kau lakukan, Kerberos!” Aku merebut bungkus kue yang isinya sedang dinikmati oleh makhluk penjaga segel kartu clow.
“Kueku!!” protes Kero.
Bagaimana mungkin usahaku menjadi sia-sia begini? Aku sengaja bangun pagi buta untuk membuat kue- yang tadinya- adalah hadiah untuk Sakura. Tapi Kerberus menghancurkan semuanya.
“Tinggal setengah... maaf, Sakura. Padahal aku berniat untuk memberikannya padamu tadi...”
“Nggak apa. Akan kuterima sisanya...” Sakura mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku memberikan bungkusan kue yang isi separuhnya sudah dilahap oleh Kero.
“…kueku...” Aku mendengar suara Kero lemas.
“Keliahatannya enak. Kamu membuatkannya sendiri untukku?” tanya Sakura sambil tersenyum.
 “Yah, dibantu sedikit oleh Yukito-san.” jawabku jujur sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
“Kamu tinggal di tempatnya Kak Yukito?”
“Kebetulan saat kemarin sedang mencari penginapan aku bertemu dengannya dan dia menawarkan untuk menginap di rumahnya.”
***
flashback
Setelah kedatanganku yang tiba-tiba di rumah Sakura dan mengganggu acara makan malam keluarga mereka, aku diusir oleh Kak Toya. Memang bukan karena alasan yang tak jelas. Kak Toya hanya takut tetangga sekitar rumah mereka berpandangan buruk jika ada laki-laki asing –yang belum resmi menjadi bagian keluarga tentunya- menginap selama liburan musim dingin.
Tapi ke mana lagi harus kucari penginapan yang kosong saat musim liburan begini? Aku merutuki kebodohanku. Seandainya saja aku tak terlalu mengandalkan rumah Daidoji. Mungkin saat di Cina aku sudah memesan lewat telepon untuk satu kamar di sebuah penginapan.
Aku terhenti di bawah lampu jalanan sambil  mengembuskan napas pelan. “Hhhhh…”
Saat hampir putus asa, ada suara laki-laki tak asing menyapaku. “Lee?”
“Oh, Yukito-san?”
“Sejak kapan ada di Tomoeda? Lalu kau mau ke mana?”
“Baru beberapa jam yang lalu mendarat,” Aku membetulkan letak ranselku yang cukup berat. “Aku… sedang mencari penginapan.”
“Penginapan? Kau tak menginap di rumah Daidoji atau Sakura?”
“Daidoji sedang dalam perjalanan ke Inggris menemani ibunya. Kalau Sakura… emm…”
“Ah, aku tahu alasannya.” Yukito tersenyum. Ia seolah paham kenapa aku sulit menjelaskan alasannya.
“Yeah…”
“Bagaimana jika kau menginap di rumahku? Gratis. Tak perlu bayar apapun.”
Aku kaget mendengar tawaran Yukito. Aku memang tak punya pilihan lain. Tapi jika Kak Toya tahu…
“Tenang. Kalau pun Toya tahu, dia takkan mampu mengusirmu dari rumahku.”
“Baiklah. Terima kasih sebelumnya, Yukito-san. Dan juga, maaf merepotkanmu karena kedatangan tamu mendadak.” Aku pun akhirnya menyutujui tawaran Yukito.
“Jangan sungkan. Ayo kita ke rumahku. Udara di luar sangat dingin.” ajak Yukito.
Saat kami baru jalan beberapa langkah. “Apa tak ada kabar terbaru tentang kartu clow?”
“Yue-san?!” Aku terperanjat kaget dan reflek menoleh ke arah suara.
“Lama tak berjumpa, Lee. Kulihat kau bak-baik saja.”
flashback end
***
“Wah keliatannya asik.” ujar Sakura setelah mendengar ceritaku semalam.
Sejujurnya aku masih menyimpan sedikit –yang entah kenapa sulit hilang- rasa cemburu. Aku tentu sangat paham bagaimana perasaan Sakura pada Yukito dulu. Mungkin hanya sebatas kagum yang berlebihan. Tapi tetap saja… buktinya Sakura sampai membuat pengakuan walau berakhir dengan penolakan.
“Dan Kero! Kenapa kamu bisa di sini!?” Sakura berteriak ke arah Kero sambil memasang muka sebal.
“Hee!? Ya-yah... aku pikir kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku, Sakura. Jadi ketika kau sedang menelpon, aku diam-diam masuk ke tasmu. Dan ternyata benar!! Bocah ini membawakan kue! Itu kuekuuu!!” Kero masih berusaha keras merebut kue pemberianku dari tangan Sakura.
“Ini milikku, Kero!” tukas Sakura. “ Dan sekarang jadi tinggal sedikit begini...”
“Tidak, itu kueku!!!” Kero tetap tak mau mengalah untuk sesuatu yang bukan miliknya.
“Kalau begitu bagaimana kita ke cafe sekalian untuk makan siang?” Aku melerai keduanya. Jika tak kuhentikan, mungkin terjadi semacam perkelahian antara majikan dan sang penjaga kartu. Yang jelas, kencan pertamaku semakin berantakan.
“Eh?” Sakura terlihat bingung dengan ajakanku.
“Asiik!” Kero berteriak kegirangan dan melepaskan kue itu dari tangannya.
“Hei bocah! Lama nggak ketemu ternyata semakin pintar.” Kero menepuk bahu kiriku dengan gayanya seperti laki-laki dewasa.
 “Ayo?” Aku menggamit tangan Sakura.
Walau akhirnya Kero ikut kami, setidaknya kencan pertamaku dan Sakura tak berakhir mengenaskan.
***
“Silakan dilihat dulu menunya.” Ucap pelayan cafĂ© pada kami yang memilih tenpat duduk dekat jendela besar menghadap jalan raya.
“Ah, terima kasih Jiro...”
Sepertinya Sakura mengenal baik pelayan yang berdiri di depan meja makan kami.
“Dia temanmu, Sakura?” tanya si pelayan –yang kutahu bernama Jiro.
“Bu-bukan... pa-pa...”
“Aku pacarnya.” Kuulurkan tangan kananku untuk berjabat tangan. Namun Jiro tak mengacuhkanku. Tiba-tiba aku teringat isi pesan yang dikirim Daidoji lewat surel. Tentang laki-laki yang siap merebut Sakura dari tanganku. Jangan-jangan…
Tak lama setelah kami menyebut menu yang diinginkan, makanan yang kami pesan sudah terhidang di meja.
Tapi… uh… kenapa rasanya aneh begini? Asin sekali…
Jika tak ingat bahwa ini adalah kencan pertamaku dengan Sakura, mungkin sudah kumuntahkan makanan yang ada di mulutku. Tapi aku tak ingin membuat Sakura cemas. Dan aku juga tak boleh mengambil kesimpulan terlalu cepat tentang Jiro. Mungkin saja rasa makanan yang aneh ini hanya semacam sambutan perkenalan …
***
Selesai makan siang, aku mengajak Sakura pergi ke beberapa toko yang menjual teddy bear untuk melihat-lihat. Kerberus sepertinya tidur nyenyak di dalam tas Sakura akibat kekenyangan. Namun selama di toko, aku merasa ada sepasang mata yang sedari tadi mengawasi kami. Mengintai aku dan Sakura. Tapi siapa?
“Shaoran? Ada masalah?”
“Tidak ada, Sakura.” Jawabku cepat.
Sakura seperti menyadari sikapku yang sedang mencari-cari. Lalu kuajak dia duduk di bangku dekat pohon besar di seberang jalan toko. Aku meminta izin pada Sakura pergi sebentar. Memastikan sesuatu. Tapi tetap tak kutemukan jawaban atas perasaan aneh yang menyelimutiku. Kubeli dua orange juice di mesin penjual minuman otomatis.
Saat kami sedang menikmati minuman kaleng, tiba-tiba saja ingataku melayang pada sebuah kisah yang belum pernah kuceritakan pada Sakura. Masih tentang kartu clow… selain karena dalam tubuhku mengalir darah Tuan Clow, ada alasan lain yang mengharuskan aku mengumpulkan semua kartu itu. Ya… permintaan kakek.
“Sakura, apa sejak saat itu kamu masih merasakan adanya keberadaan kartu?”
“Sudah nggak pernah lagi. Kenapa?” Sakura balik bertanya.
“Berarti kartu itu sudah benar-benar terkumpul ya?”
“Sepertinya begitu.”
“Lalu, selama empat tahun terakhir nggak terjadi apapun?” tanyaku menegaskan.
“Em... aku rasa begitu. Memangnya ada apa sih?” Sakura semakin penasaran. Dia  menuntut penjelasan yang rinci.
“Sebenernya ini cerita yang sudah sangat lama... almarhum kakek memintaku untuk mengampulkan kartu clow itu bersama beliau. Setelah aku tahu keberadaan semua kartu di Tomoeda, aku langsung ke sini. Almarhum kakek bilang, saat semua kartu clow terkumpul, maka kita dapat mewujudkan suatu harapan yang bagi kita tak mungkin. Namun sebelum aku berhasil mengumpulkan kartu-kartu itu, kakek meninggal dalam penantiannya.”
“Menurutmu harus bagaimana?” tanya Sakura setelah mendengar penjelasnku.
“Entahlah. Meskipun aku sudah membaca jurnal-jurnal yang dikumpulkan kakek bertahun-tahun, aku tidak bisa menemukan informasi penting mengenai ‘permintaan yang terkabul’ itu.” jawabku setengah putus asa.
“Aku nggak inginkan apa-apa lagi...” Aku mendengar komentar lirih Sakura atas jawabanku.
Aku menatap lama matanya. Aku pun tak inginkan apa-apa dari semua kartu itu. Melihat semua kartu sudah menemukan pemiliknya –dan itu adalah gadis yang kusukai- sudah cukup bagiku. Yang kuinginkan hanya bisa bersama Sakura –selamanya.
“Ketemu!” seorang gadis yang usianya kira-kira sepantaran dengan kami, mendekat dan berhenti tepat di hadapanku.
Eh? Gadis dengan wajah oriental. Siapa?
“Lee Shaoran?” Gadis itu bertanya dengan logat Cina yang khas. “Namaku Lihua. Kau belum diberitahu oleh ibumu tentang pertunangan kita?”
“Apa?!”
Lalu pandangan gadis berambut cokelat sepunggung itu beralih ke Sakura. “Ah, aku Lihua. Em... dalam bahasa Jepangnya apa ya... tu- tunangan? Ah, ya... aku tunangannya Lee Shaoran, halo!”
         Aku sangat kaget mendengar penuturan gadis ini. Gadis yang mengaku bernama Lihua mengingatkanku pada Meilin yang juga pernah menyebut dirinya sebagai tunanganku. Tapi masalahnya, aku sama sekali tak mengenal dia. Tiba-tiba saja hadir di kencan pertamaku dan mengaku sebagai tunanganku? Oh Tuhan… tak cukupkah Kak Toya sebagai ujian cintaku pada Sakura?
Aku memandang Sakura yang -sudah pasti- kaget dan bingung.
“Tunggu. Apa maksud ucapanmu itu, Nona Lihua? Aku tak mengenalmu sama sekali.” sanggahku cepat. Aku takut Sakura salah paham.
“Coba kamu hubungi ibumu, Lee.” ujar Lihua sambil menyerahkan ponselnya yang sudah terhubung ke nomor ibuku.
Di ujung telepon, aku mendengar semua penjelasan dari ibu. Tentang permintaan kakek… juga janji kakek pada almarhum sahabatnya jika tak berhasil mengumpulkan kartu clow. Ya Tuhan… bagaimana caraku menjelaskan semua ini pada Sakura?

 Bersambung!

3 komentar:

  1. Ciee shaoran baper cieee *dikemplang pake pedang

    Yuk Emud kita akhir saja cerita ini, kita bikin dia menikah langsung, nikah mudah *ngagul

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ngiahahaha. Yang nulis juga baper :3

      Boleh tuh!Hmm...

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Silakan komentar dengan bahasa santun :)