gambar dari sini |
Lamat-lamat
ada yang berselirat. Kusut berjalin-jalin. Menimbang hubungan dengan ikatan
simpul hidup yang semu, apakah semua ini benar atau salah. Apakah berhenti atau
tetap berjalan…
"Kita
sedang bermain dengan api," ucapnya pelan suatu hari di taman kota.
"Lalu
mau dipadamkan begitu saja?"
Beberapa
waktu lamanya, tema percakapan tadi seolah menghilang--untuk sementara. Mungkin
lebih tepat jika kami yang menghindar agar tidak membahasnya.
Kalian
tentu tahu. Jatuh cinta dekat dengan sebuah komitmen. Seperti aku yang kerap diberikan
banyaknya harapan bak mawar-mawar merah yang merekah di taman kota.
Nahasnya, kami sudah sama-sama paham bahwa tak ada janji yang abadi selain
janji dari Tuhan.
Kami
pun --sengaja melupakan-- perihal mawar merah yang memiliki duri amat tajam.
Hingga pada suatu hari, masing-masing jemari kami terluka akibat menggenggam
mawar merah terlalu erat. Luka itu menginfeksi, merambat cepat ke hati.
"Ki-kita
terluka 'kan? tanyaku ragu.
Di
ujung telepon kudengar dia mendesah. Lalu menghela napasnya yang berat.
"Aku akan membawa obatnya. Tapi aku butuh waktu yang tidak sebentar
untuk..."
"Aku akan menunggu kau membawa obatnya," sanggahku cepat.
Sebenarnya sudah banyak orang lain yang memperingati tatkala melihat darah dan airmata kami yang becucuran. Tapi aku dan dia masih keras kepala untuk bermain api sambil menggenggam mawar.
Waktu
terus begulir. Dia belum juga datang ke rumah membawa penawar yang dijanjikan.
Kian lama, ceruk kecewa melebar. Tak jarang aku mengalami demam disertai
gigilan akibat menahan nyeri. Dengan gontai, aku menghadap-Nya dalam sujud
panjang. Meminta kesembuhan. Tabiat manusia. Jika diterpa kesusahan, maka hati
akan kembali pada Sang Pencipta.
Kami
bersepakat dalam diam. Tak ada ucapan perpisahan. Tak ada caci maki akibat
sesal yang sesak. Api perlahan padam. Aku dan dia saling memunggungi.
Mawar-mawar yang kami sebut harapan tadi, satu persatu kelopaknya layu, luruh
dan jatuh. Luka yang membebat jemari dan hati kami membaik, infeksi terhenti.
Kini aku mulai menerima yang ditetapkan-Nya. Juga, aku berusaha untuk paham
pada sebuah kalimat dalam novel yang kubaca : tak perlu memaksa harus
bersama.
***
"Nyonya,
mawar ini mau diletakkan di sebelah mana?"
Aku
terperanjat mendengar pertanyaan tukang kebun rumahku. Aku selesai melintasi
petala ingatan. Sebuah kenangan yang mampu menjebakku lama dalam labirin rasa.
Ah, benang-benang masa lalu sudah tergulung rapi lagi pada tempatnya.
"Di
sebelah sana aja, Pak." Aku menunjuk pot di pinggir kolam yang terdapat
air terjun buatan.
Tiiin
Tiiin...!
Suara
klakson mobil membuatku gegas ke depan rumah. Aku menyambut seorang pria yang
--kupanggil suami-- setahun lalu mengajakku berkenalan tanpa mawar atau
menyeretku masuk lagi ke dalam api. Pria itu datang meminta izin kepada
ayah-ibu untuk menyembuhkan lukaku dengan janji suci yang ia ikrarkan di
hadapan Tuhan.
(Okeh done. Tulisan ini apa banget, wahahaha. Ini dalam rangka ikutan challenge si Tutut yang suruh bikin flashfic dengan tema P-A-T-A-H. Gak tau patah apa. Patah tulang mungkin (?) wkwkwk. Abaikan... buka link ini deh, biar seberapa tau patahnya Tutut. Eh salah... makusdnya flashfic-nya Tutut. Ngiahahaha *ketawa jahat. Pisss, Tut :p)
Jiahaha. Sumpah ini kok....
BalasHapusIni kok apa? Hayo ngakuuu. Eaaaa... XD
Hapus