20 April 2016

Benang, Mawar dan Api di Masa Lalu



gambar dari sini
Tiba-tiba aku ingin mengetuk pintu masa lalu. Sebentar saja mengulang waktu. Pikiranku berkelindan, seolah tengah mengurai benang usang yang dulu pernah kurajut menjadi sebuah kisah. Pertemuan aku dan dia, berawal dari dunia yang maya. Namun rupanya, pelan tapi pasti kedekatan kami memunculkan sebuah rasa yang nyata. Perasaan itu cepat menggunung, bergemuruh memenuhi rongga dada. Lalu terciptalah banyak kalimat indah berbentuk puisi atau prosa yang melukiskan betapa merah jambunya cerita kami masa itu.

Lamat-lamat ada yang berselirat. Kusut berjalin-jalin. Menimbang hubungan dengan ikatan simpul hidup yang semu, apakah semua ini benar atau salah. Apakah berhenti atau tetap berjalan…

"Kita sedang bermain dengan api," ucapnya pelan suatu hari di taman kota. 

"Lalu mau dipadamkan begitu saja?"

Beberapa waktu lamanya, tema percakapan tadi seolah menghilang--untuk sementara. Mungkin lebih tepat jika kami yang menghindar agar tidak membahasnya.

Kalian tentu tahu. Jatuh cinta dekat dengan sebuah komitmen. Seperti aku yang kerap diberikan banyaknya harapan bak mawar-mawar merah yang merekah di taman kota. Nahasnya, kami sudah sama-sama paham bahwa tak ada janji yang abadi selain janji dari Tuhan.

Kami pun --sengaja melupakan-- perihal mawar merah yang memiliki duri amat tajam. Hingga pada suatu hari, masing-masing jemari kami terluka akibat menggenggam mawar merah terlalu erat. Luka itu menginfeksi, merambat cepat ke hati.

"Ki-kita terluka 'kan? tanyaku ragu.

Di ujung telepon kudengar dia mendesah. Lalu menghela napasnya yang berat. "Aku akan membawa obatnya. Tapi aku butuh waktu yang tidak sebentar untuk..."

"Aku akan menunggu kau membawa obatnya," sanggahku cepat.

Sebenarnya sudah banyak orang lain yang memperingati tatkala melihat darah dan airmata kami yang becucuran. Tapi aku dan dia masih keras kepala untuk bermain api sambil menggenggam mawar.

Waktu terus begulir. Dia belum juga datang ke rumah membawa  penawar yang dijanjikan. Kian lama, ceruk kecewa melebar. Tak jarang aku mengalami demam disertai gigilan akibat menahan nyeri. Dengan gontai, aku menghadap-Nya dalam sujud panjang. Meminta kesembuhan. Tabiat manusia. Jika diterpa kesusahan, maka hati akan kembali pada Sang Pencipta.

Kami bersepakat dalam diam. Tak ada ucapan perpisahan. Tak ada caci maki akibat sesal yang sesak. Api perlahan padam. Aku dan dia saling memunggungi. Mawar-mawar yang kami sebut harapan tadi, satu persatu kelopaknya layu, luruh dan jatuh. Luka yang membebat jemari dan hati kami membaik, infeksi terhenti. Kini aku mulai menerima yang ditetapkan-Nya. Juga, aku berusaha untuk paham pada sebuah kalimat dalam novel yang kubaca : tak perlu memaksa harus bersama.
***
"Nyonya, mawar ini mau diletakkan di sebelah mana?"

Aku terperanjat mendengar pertanyaan tukang kebun rumahku. Aku selesai melintasi petala ingatan. Sebuah kenangan yang mampu menjebakku lama dalam labirin rasa. Ah, benang-benang masa lalu sudah tergulung rapi lagi pada tempatnya.

"Di sebelah sana aja, Pak." Aku menunjuk pot di pinggir kolam yang terdapat air terjun buatan.

Tiiin Tiiin...!

Suara klakson mobil membuatku gegas ke depan rumah. Aku menyambut seorang pria yang --kupanggil suami-- setahun lalu mengajakku berkenalan tanpa mawar atau menyeretku masuk lagi ke dalam api. Pria itu datang meminta izin kepada ayah-ibu untuk menyembuhkan lukaku dengan janji suci yang ia ikrarkan di hadapan Tuhan.

(Okeh done. Tulisan ini apa banget, wahahaha. Ini dalam rangka ikutan challenge si Tutut yang suruh bikin flashfic dengan tema P-A-T-A-H. Gak tau patah apa. Patah tulang mungkin (?) wkwkwk. Abaikan... buka link ini deh, biar seberapa tau patahnya Tutut. Eh salah... makusdnya flashfic-nya Tutut. Ngiahahaha *ketawa jahat. Pisss, Tut :p)

2 komentar:

Silakan komentar dengan bahasa santun :)