21 Agustus 2011

(fiksi) Tinggalkan, cinta!

Sebelumnya, ingin menegaskan kembali!. kisah dibawah benar-benar fiksi belaka. jangan menyangkut pautkan dengan diri saya atau anda (yang mbaca). okey???. kalo ada kemiripan kisah n tokoh, bener2 gak disengaja!!!. terinspirasi dari bangunan yang mulai akrab denganku (Rumah Sakit Margono). 
Aku menunduk tak berdaya di depan seorang wanita yang telah mengenalku sejak kecil.
“Bu lik minta nomer yang bisa dihubungi”
Dengan mengucap Bismillah, ku berikan secarik kertas berisi angka yang dapat menentukan masa depan ku.
Penuh gemuruh kini dadaku. Ada sejumput asa disana. Harap-harap cemas, memohon yang terbaik dari takdir-Nya.
“sekarang Aisy makin perkuat ruhiyah ya. Banyak mohon petunjuk sama Gusti Alloh, nggih?”.
Aku hanya mengangguk pelan. Semua ini mengalir begitu saja dari mulutku. Sebuah keinginan suci yang didambakan oleh tiap Muslim. Menggenapkan separuh dien. Namun  tak pernah terlintas nama itu dalam perhitungan ku. Bukan karena ia yang tak baik atau tak pantas masuk dalam daftar. Jika ada yang mengatakan itu, mesti maksudnya terbalik. Aku yang tak pantas.

Dalam keraguan mendalam itu, aku kembali menekuni kisah yang tersimpan rapi dalam arsip di laci hati. Seperti tengah membaca sebuah novel roman picisan. Hanya saja aku tak mampu merangkai rapi kalimat untuk menggambarkan rasa yang berkecamuk. Akhrinya hanya tergugu dalam kesendirian.

Salah ku karena terlalu menggantungkan harapan pada manusia. Sebuah kesalahan sederhana yang fatal. Bagimana tidak?,karena hal itu, ruang di dalam diri  yang harusnya suci dan terjaga, kini porak poranda. Seperti sebuah rumah yang tengah  dibobol maling untuk mencari harta.

Sebuah undangan bertemakan merah jambu mendadak hadir di depan pintu rumah ku beberapa bulan lalu. 15 menit aku berdiri mematung. Mencoba mengeja dua nama yang tertulis rapi. Kalau saja hp ku tak bersuara murottal saat itu, mungkin aku tak kan bangun dari lamunan.

“assalamu’alaykum.nduk, pripun kabare?”. Begitu pesang singkat yang terbaca. Bawahnya entah apa. Karena pelupuk mata ku telah penuh sesak oleh air mata. Tanpa pikir panjang, ku bawa motor menuju tempat sang pengirim Short Message Service itu.

Sepanjang  jalan hanya mampu beristghfar sebanyak mungkin. Mencoba ber-muraja’ah. Namun sekelebat bayangan seseorang hadir begitu saja tanpa diminta. Menambah irisan luka di hati. Pilu!.

“bu lik…”.tanpa sempat mengucap salam, aku tenggelam dalam pelukan hangat beliau. Terisak keras. Terguncang hebat. Sebuah kisah sedih itu pun akhirnya terlontar walau dengan terbata. Mungkin saat itu, aku terlihat seperti anak kecil yang kehilangan mainanan kesayangan. Anak bulik yang paling bontot berumur 4 tahun itu tertegun melihat ku. Ih, mirip kayak aku, mungkin begitu batinnya.

“nduk, apa kamu lupa?.yang namanya jodoh, rezeki, itu sudah ada yang mengatur. Jangan bersedih. Alloh itu Maha Adil dan Maha Tahu. Lelaki yang baik akan mendapat pasangan yang baik pula. Yang lalu tak perlu lagi disesalkan. Cukup jadi pembelajaran. Mungkin sekarang Aisy terluka parah. Seperti dilupa dan dikhinati. tapi yakinlah nduk, Alloh itu akan memberikan jawabannya kelak. Entah dalam bentuk yang seperti apa, itu tak perlu dipikirkan dan dirisaukan”

“tapi…kenapa ia tega tanpa sepatah kata, pergi begitu saja..”

“ssttt..jangan terus menyalahkan apa yang terjadi. Mungkin beliau pun terpakasa melakukan. Berbaik sangka saja, sholehah. Bersabar”

“aku gak bisa dengan mudah berbaik sangka padanya, lik…”. tetap pada ke-egoan ku. Mencoba menghakimi lelaki yang sudah mengotori hati ku selama 2 setengah tahun. Yang sudah memutus asa tanpa sempat ucap perpisahan. hanya undangan yang dilayangkan.  

“Bukan berbaik sangka padanya, nduk. Tapi pada Gusti Alloh. Ayo nduk,  jangan terpuruk hanya karena manusia. Masih banyak manusia di jagat raya ini yang butuh Aisy. Aisy punya segudang impian, bu lik tahu itu!.dan impian mu itu begitu mulia. Sayang jika hancur lebur hanya karena patah hati”.

Dan..

Kini aku tengah berikhtiar dengan jawaban dari istikhrah-ku beberapa waktu lalu. Menikah. Ide itu muncul begitu saja dan ku utarakan pada bu lik. saat itu jawaban bulik hanya tersenyum, “kau sudah dewasa, nduk. Berdo’alah. Minta yang terbaik “. Dengan dada berdebar, ku katakan niat ku itu pada kedua orang tua yang ku sayangi. Seperti sudah jalan, keduanya pun merestui.

Dua pekan berlalu. Pesan singkat dari bu lik tadi pagi membuat aku tak mampu menahan rona merah di pipi. “ Insya Alloh beliau menerima niat baik kita. Beberapa hari lagi, mungkin Aisy akan berta’aruf dengannya”. Alloh, seperti mimpi kisah ku ini. aku hanya tak ingin berharap banyak mengingat siapa diriku dan siapa lelaki mulia itu. seorang dokter yang ku kenal karena bekerja di Rumah Sakit yang sama. Hanya sekilas obrolan yang ku dengar tentangnya dari para perawat yang sedang bertugas mengambil obat di Instalasi Farmasi.

Profesi ku sebagai seorang apoteker mengharuskan aku berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya. Namun dengan dokter itu, hanya beberapa kali saja aku berbincang. Itu pun dia yang mulai berdiskusi, membicarakan pasien yang sedang ia tangani. Tentang akhlak mulianya, mampu ku tangkap tanpa harus mengoreksi lebih dalam. Karena tampak pada laku dan ucapnya.

Ta’aruf?.dengan dokter yang banyak di sukai oleh teman sejawat dan perawat?. Wahai Dzat Yang Maha Hebat, berilah hamba-Mu ini takdir terbaik dan terhebat.aku hanya mampu berpasrah selepas ikhtiar.

BERSAMBUNG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan komentar dengan bahasa santun :)