26 April 2016

Pengakuan Untuk Hati yang Patah


Aku melipat koran dan menyesap teh melati. Kisahku dan perempuan hujan, telah kuhimpun dalam barisan aksara dan dibaca banyak orang pada koran minggu pagi hari ini. Setelah paragraf terakhir dari cerita pendek itu, termaktub inisial nama penaku di sana.

Hampir enam bulan lamanya aku tak memesan kopi di kafe yang menjadi saksi betapa patahnya hatiku saat itu. Aku tak menikmati petrikor. Tidak berdiri di langkan rumah ketika mega mendung berarak. Juga, aku sengaja memasang earphone saat hujan mendadak tumpah dari langit.

Kalian boleh mencaciku bodoh. Tapi aku kesulitan mengenyahkan bayangan sepasang mata perempuan hujan. Dia kala itu menatap sepintas sebelum aku mendebam pintu kafe dengan keras. Akibatnya sampai detik ini aku benci hujan, dan selalu memilih teh sebagai kawan karibku.

Aku menatap tiket pesawat yang tergeletak di samping koran. Kuputuskan untuk pergi ke kota khatulistiwa. Menerima permintaan ayah-ibu untuk tinggal bersama mereka. Penerbanganku petang ini. Kuliahku telah selesai. Seremonial wisuda tiga hari lalu membulatkan tekadku untuk pergi dari hiruk pikuk Jakarta, dan perempuan hujan.

***

Kuhirup napas panjang lalu mengembuskannya kuat-kuat. Aku telah menghabiskan satu porsi chai kwe yang tentu saja ditemani secangkir teh. Aku makan di sebuah restoran yang terletak di tepian Sungai Kapuas.

Tik tik tik...

Ah, hujan turun. Padahal aku ingin menyaksikan teja jingga di kaki langit barat dari tempat dudukku. Oh! Aku lupa membawa earphone. Sepasang telingaku dengan pasrah menangkap suara hujan yang merajam hatiku. Hujan dan aroma espresso yang tiba-tiba saja menyeruak, menerabas indera penciumanku. Kini aku sempurna terjebak dalam labirin kenangan.

"P-peremupuan itu?!" Aku mengucek mata yang tak gatal. Aku tak mungkin salah mengenali wajah yang masih terpahat di pembuluh darah arteriku. Ilusi? Delusi?

Kuhampiri perempuan hujan dengan payung warna-warni yang berdiri di depan restoran. Tak kupedulikan tatapan heran yang datang dari pelayan restoran atau pengunjung lainnya.

Perempuan itu menoleh dan tersenyum tipis. "Apa kabar?"

"Bukankah seharusnya kau? Mana suamimu?" Aku celingukan mencari laki-laki itu.

Perempuan itu mendongakkan kepala. "Suami? Aku berharap setelah kukirimkan bill dusta itu, aku mampu melupakanmu."

Aku mengerutkan kening.

"Kupikir sekian lama diam-diam memerhatikanmu yang berdiri di balkon. Lalu kupendam mati-matian kagum yang membubung pada tiap cerita pendek atau puisimu di koran minggu pagi. Tuhan menakdirkan segores kisah indah untuk kita. Pelayan kafe dan bill itu dusta, Tuan Penulis."

"Maksudmu?" Jantungku seperti loncat saat mendengar penuturannya.

"Aku ingin mengenalmu dari dekat, Tuan. Tapi hari itu aku mendapat telepon dari ayah untuk segera menikah dengan anak sahabatnya. Kupakai payung hitam untuk menarik perhatianmu. Dan tebakanku benar. Kau mengikutiku sampai kafe. Tapi Tuan, seharusnya aku tidak perlu melakukan sandiwara bersama sahabatku si pelayan kafe yang kuminta berpura-pura menjadi suamiku. Tentu saja aku ingin tahu reaksimu saat tahu aku sudah menikah." Bibirnya melengkung indah ke kanan-kiri sebelum melanjutkan kalimatnya. "Hatiku benar. Kita memunyai perasaan yang sama. 

Aku mencerna dengan baik yang diucapkannya. Kulihat bibirnya sedikit pucat yang kutebak akibat hawa dingin yang mulai menyergap kami. Kemeja dan jeans-ku kuyup, begitu pun dengan pakaiannya.

"Ayahku... " Perempuan hujan mengembuskan napas sejenak. Kemudian dipalingkan wajahnya ke arah restoran yang ramai dengan para wisatawan. "Dia pemilik restoran ini. Sudah dua pekan aku berada di Pontianak. Aku berusaha melapangkan hati, menerima perjodohan, dan kembali ke rumah. Entah apa yang Tuhan inginkan ... saat aku sudah siap melepas bayanganmu. Aku melihat Tuan Penulis yang tengah memandang Kapuas."

Suara petir menggelegar. Jiwaku seolah rontok. Hatiku yang patah dan tengah kuperbaiki dengan lem keikhlasan tiba-tiba kembali remuk. Kali ini bukan hanya terbelah, tapi juga terserak. Aku tak peduli dengan banyak pasang mata dari lalu-lalang pengunjung restoran. Untuk kali ini aku tak ingin membenci hujan. Sebab hujan dengan baik hatinya menyamarkan air bah yang tumpah dari sepasang mataku.

(Sebenernya mau ikutan challenge Tutut, hehe. Tapi berhubung telat isi presensi yasudahlah... tapi pas baca tulisannya Tutut  yang judulnya "Patah Hati Pada Kopi dan Hujan", tiba-tiba aja dapet ide buat bikin ini. Ya ampun, endingya apa-apaan banget. Padahal abis nonton drakor "Jang Yeongsil" yang gak menye-menye. Hah... kasian amat Si Tuan Penulis)

2 komentar:

  1. Wakakak. Jadi perempuan itu cuma bohong? Tsahh!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tadinya mau bikin si suami meninggal. Tapi gak tega, huks. Atau mau bikin cerai? Mba ga tega juga, karena perceraian adalah jalan terbaik yang harus dihindari kalau pasutri ada masalah besar...

      Yawdah deh. Bikin boong aja, haha. Di flashfic punyamu ada kalimat : tertawa begitu lepas, seolah-olah bahagia.
      Di sini mba ada bayangan kalau si cewe emang bohongan bahagia, hehe.

      Tapi tetep aja ending flashfic mba patah hati dan bisa dibilang gantung juga, hahaha.

      Hapus

Silakan komentar dengan bahasa santun :)