Tadinya,siang ini banyak kata yang ingin saya tuangkan agar menjadi paragraf utuh. Tentang banyak hal yang terjadi kemarin dari kamar berukuran 5x6. Tentu, dengan bantuan beberapa ‘orang’ ,walau bukan suara yang hadir. Hingga mugkin saja, bukan hanya saya yang pernah ‘ditemani’ oleh mereka.
Dipinjami beberapa buku oleh salah seorang teman, membuat saya betah berlama-lama tak menyentuh hape atau leptop. Dunia saya berpindah atau sebutan yang sedang nge-ternd sekarang adalah autis.
Sebuah bacaan yang cukup mengaduk emosi saya. Tere Liye dengan ‘moga bunda disayang Alloh’. Hadir dalam ruang rasa saya. Membuat saya menerawang jauh, mengingat seraut wajah yang selalu hadir dengan senyum kala tangisan saya tak kunjung mereda karena ujian-Nya. Sebongkah cinta yang tiap harinya disuguhkan menemani diri . Sebait do’a yang selalu pasti ada tentang aku-nya, dan ia pinta pada-Nya.
Saya ingat pernah menuliskan sebuah status di facebook : setiap orang memiliki kisah sendiri dalam hidupnya yang bertema klasik namun asyik dan menarik : keluarga.
Iya. Walau kadang beberapa ada yang temanya mirip antara yang satu dengan yang lain. Ah..tapi bukankah takdir yang membentuk sebuah kisah hidup hanya Alloh yang Tahu dan pegang?.
Mari, saya ceritakan sebuah kisah yang belum ada akhirnya. Seperti biasa, saya agak-agak takut jika menuliskan tahap ending. Entah kenapa..mungkin kekhawatiran bernasib sama dengan si tokoh atau karena belum tau, tokoh itu akan berakhir seperti apa. ah..fiksi yang terinspirasi dari raga nyata hanya menimbulkan sebuah euforia tak jelas. Atau kah sebaliknya? . silahkan membaca dan menerka.
Gadis itu benci sekali praktimum biologi hari ini. Tes golongan darah. Dua malam ia tak bisa tidur karena memikirkan hal ini, membuat kantung hitam di sepasang matanya.
Siang..cepatlah berlalu, pintanya.
Ia benci disuntik. Pernah dulu ketika ia masih kecil, ada program dari puskesmas setempat untuk memberi vaksin pada anak-anak yang masih bersekolah dasar. Benar saja, ia mampu menahan tangis saat jarum suntik berhasil masuk ke dalam lapisan kulitnya. Lima menit, sepuluh menit. Brukkk! Gadis kecil itu pingsan di tempat duduknya.
Hhhh… gadis itu menghela nafas panjang. Terlihat jelas sekali, rona merah di paras ayunya itu mendadak pasi kala Bu Evi, guru biologi memasuki ruang praktikum.
Ugggh! Ada yang seperti meninju ulu hatinya.
Beberapa teman dekatnya berkali-kali menyanyakan apakah ia baik-baik saja. Dan hanya anggukan pelan yang mampu ia beri sebagai jawaban. Semua orang juga tahu, bahwa anggukannya itu hanya kebohongan belaka. Bukan jawaban dari hatinya. Tapi mau bagaimana?.
Ia terus memandangi telujuk kirinya yang akan di tusuk jarum. Kuat, aku pasti kuat..batinnya meyakinkan.
“Pelita!”
Ah. Nama itu akhirnya tersebut jua. Ia tarik nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya. Kuat, aku pasti kuat..
Sampai di depan, agak ragu ia menyerahkan telunjuk kirinya itu. matanya terpejam kuat. Dan..
“Arrgh!huhuhu”. darah diteteskannya pada dua bagian –kanan dan kiri- di object glass.
“sudah “ kata bu evi. “segera beri reagen”.
Gadis berkerudung putih itu mengambil dua reagen. Bagian kanan ia teteskan reaen anti A dan bagian kiri, reagen anti B. sambil mengaduk pelan agar bercampur dengan darah, terngiang kembali percakapan semalam dengan kedua orang tuanya.
“Ayah apa?”
“hmm, 0, nduk”
“Ibu?”.
Tak ada rekasi. Malah melengos ke kamar. Pelita sama sekali tak paham mengapa Ibundanya berlaku aneh begitu. Wajah bingungnya itu hanya diusap pelan ayah, “pergi tidur. Takut besok kesiangan”. Ah..apa susahnya sih, bilang kalau golngan darah Ibu sama kayak ayah?. ya, pelita pernah tanpa sengaja melihat Kartu Tanda Penduduk milik ibunya dan jelas-jelas tertera. Gol. Darah : 0.
Setidaknya, ia sudah memiliki jawaban saat ada temannya yang bertanya tentang golongan darahnya. Dengan ilmu biologi yang ia pelajari sebelum praktikum, tentulah ia juga memiliki golongan yang sama dengan ibu dan ayahnya.
Bukk! Hampir saja pelita jatuh jika tangan kirinya tak segera memegang meja praktikum. Tapi..tunggu. ia bukan hampir pingsan karena ujung jemari telunjuknya yang barusan ditusuk atau karena phobia darah dan jarum suntiknya seperti saat ia masih SD.
“gak mungkin..”lirihnya. Ini pasti ada yang salah.
“wah, kamu A ya, pelita?” Tanya temannya yang membangunkan ia dari lamunan.
“Iya.. liat aja, Anti A aglitinasi positif. Anti B aglutinasi negatif” Yang lain menimpali.
Gak..Ga mungkin! Ini pasti salah!. Batinnya berteriak.
**
Delapan tahu terlewati sejak kejadian ‘tes golongan darah’ itu. pelita tak ingin mengingkari kebenaran walau ada sejumput kebimbangan yang bertahun-tahun ia simpan.
Semua ia simpan sendiri. rasa penasaran, bingung, cemas, tak mengerti hanya mampu ia pendam dalam-dalam. Ya, sendiri. Ia punya kebiasaan baru sejak kejadian itu. mendongak ke langit tatkala semua rasa itu muncul. Entah..mungkin menahan tangis. Atau menahan seujta tanya yang penuh sesak menyelimuti dada.
Gadis itu hanya mampu bercerita pada angin tentang semua rasa itu, bertahun-tahun.
Angin, bolehkah aku bercerita padamu tentang sejuta rasa yang lama ku pendam?.
Agar setelah ku ceritakan, kau membawanya pergi bersama air mata ku. Walau berulang. Tapi setidaknya, aku mampu tersenyum dan merangkai hari ku lagi selepas berkisah.
Ini tentang dua orang malaikat yang saat aku lahir ke dunia ini, memberi ku sebuah nama indah. Pelita. Kata orang, pelita itu artinya adalah cahaya. Dan aku tau, dua malaikat itu berdo’a agar aku menjadi penerang sekitar kala gelap menyeringai galak.
Angin, tahukah kau?.
Aku sangat sayang pada dua malaikat itu. jika kau ingin paham makna ikhlas, maka belajarlah pada mereka. Jika kau ingin melihat cinta tulus yang tak pernah putus, maka hadirlah diantara mereka. Kau akan merasakannnya. Dan aku, mendapat itu semua dari dua malaikat tersebut.
Do’a yang diajarkan oleh mereka, tentu saja selalu hadir ditiap bincangku dengan-Nya.
Tapi angin..tahukah kau?. aku tak pernah asing diantara mereka yang ku tau, tak ada keterikatan darah diantara kami. Sebuah fakta baru atau hanya gossip belaka mampir ditelingaku, bahwa tahun kelahiran saat aku dilahirkan ke dunia ini adalah tahun dimana orang tua yang sangat menyayangi ankanya, menukarnya dengan anak lain, berharap bahwa anak yang dilahirkannnya dapat tumbuh dengan baik dilingkungan keluarga yang baik pula. Dan semua itu makin membuat ku yakin, kala emosi mendatangiku dan bertanya pada adik dari ibu, dan beliau berkata “ibu sudah terlanjur sayang padamu”.
Angin..aku memandang cermin. Mata ini, hidung, bibir, telinga,alis, bulu mata, garis wajah. Semua ini mirip dengan siapa yang ada di dunia ini?. Aku tak menuntut banyak. Hanya ingin tahu dan meihat dua orang lain yang mirip dengan ku. Itu sudah cukup. Aku tak mengharap kasih sayang atau cinta dari mereka. Kaena itu sudah ku dapat dari dua malaikat yang sejak kecil ku panggil Ayah dan Ibu.
Aku pun tak kan iri dan marah pada dia yang wajahnya mirip dan berjenis golongn darah sama pada dua malaikatku. Tentu tidak. karena, ia sama dengan ku. Tak tahu apa-apa.
Angin, aku benar-benar bersyukur dipertemukan dengan tangan hangat ibu saat ia memelukku erat. Berterimakasih saat wajah ku diusap sayang oleh Ayah.
Sungguh, aku adalah Pelita yang beruntung karena hadir ditengah lingkaran keluarga yang penuh dengan orang-orang bercahaya seperti mereka.
Pintaku, agar Alloh senantiasa membahagiakan mereka di dunia dan akhirat.
Agar suatu hari, aku benar-benar menjadi Pelita yang menerangi segala ketak jelasan.
Agar kelak masanya, aku di kumpulkan dalam Jannah-Nya bersama dua malaikat ditambah dua orang lain yang menghadirkan ku ke dunia ini.
Begitulah, gadis itu tiap kali resah terhadap rasa yang datang menghinggap, ia ceritakan pada angin. Berharap angin sesegara mungkin membawa pergi rasa ‘kacau’ dan selaksa air mata darinya. Dan angin berhembus kemana ia pergi. Membawa pergi jauh bersama debu-debu gelisah. Sampai saat itu tiba. Saat jawaban diberikan. Saat cahaya benar-benar hadir dan menghapus kegundahan dari hati gadis itu, pelita.
Dipinjami beberapa buku oleh salah seorang teman, membuat saya betah berlama-lama tak menyentuh hape atau leptop. Dunia saya berpindah atau sebutan yang sedang nge-ternd sekarang adalah autis.
Sebuah bacaan yang cukup mengaduk emosi saya. Tere Liye dengan ‘moga bunda disayang Alloh’. Hadir dalam ruang rasa saya. Membuat saya menerawang jauh, mengingat seraut wajah yang selalu hadir dengan senyum kala tangisan saya tak kunjung mereda karena ujian-Nya. Sebongkah cinta yang tiap harinya disuguhkan menemani diri . Sebait do’a yang selalu pasti ada tentang aku-nya, dan ia pinta pada-Nya.
Saya ingat pernah menuliskan sebuah status di facebook : setiap orang memiliki kisah sendiri dalam hidupnya yang bertema klasik namun asyik dan menarik : keluarga.
Iya. Walau kadang beberapa ada yang temanya mirip antara yang satu dengan yang lain. Ah..tapi bukankah takdir yang membentuk sebuah kisah hidup hanya Alloh yang Tahu dan pegang?.
Mari, saya ceritakan sebuah kisah yang belum ada akhirnya. Seperti biasa, saya agak-agak takut jika menuliskan tahap ending. Entah kenapa..mungkin kekhawatiran bernasib sama dengan si tokoh atau karena belum tau, tokoh itu akan berakhir seperti apa. ah..fiksi yang terinspirasi dari raga nyata hanya menimbulkan sebuah euforia tak jelas. Atau kah sebaliknya? . silahkan membaca dan menerka.
Gadis itu benci sekali praktimum biologi hari ini. Tes golongan darah. Dua malam ia tak bisa tidur karena memikirkan hal ini, membuat kantung hitam di sepasang matanya.
Siang..cepatlah berlalu, pintanya.
Ia benci disuntik. Pernah dulu ketika ia masih kecil, ada program dari puskesmas setempat untuk memberi vaksin pada anak-anak yang masih bersekolah dasar. Benar saja, ia mampu menahan tangis saat jarum suntik berhasil masuk ke dalam lapisan kulitnya. Lima menit, sepuluh menit. Brukkk! Gadis kecil itu pingsan di tempat duduknya.
Hhhh… gadis itu menghela nafas panjang. Terlihat jelas sekali, rona merah di paras ayunya itu mendadak pasi kala Bu Evi, guru biologi memasuki ruang praktikum.
Ugggh! Ada yang seperti meninju ulu hatinya.
Beberapa teman dekatnya berkali-kali menyanyakan apakah ia baik-baik saja. Dan hanya anggukan pelan yang mampu ia beri sebagai jawaban. Semua orang juga tahu, bahwa anggukannya itu hanya kebohongan belaka. Bukan jawaban dari hatinya. Tapi mau bagaimana?.
Ia terus memandangi telujuk kirinya yang akan di tusuk jarum. Kuat, aku pasti kuat..batinnya meyakinkan.
“Pelita!”
Ah. Nama itu akhirnya tersebut jua. Ia tarik nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya. Kuat, aku pasti kuat..
Sampai di depan, agak ragu ia menyerahkan telunjuk kirinya itu. matanya terpejam kuat. Dan..
“Arrgh!huhuhu”. darah diteteskannya pada dua bagian –kanan dan kiri- di object glass.
“sudah “ kata bu evi. “segera beri reagen”.
Gadis berkerudung putih itu mengambil dua reagen. Bagian kanan ia teteskan reaen anti A dan bagian kiri, reagen anti B. sambil mengaduk pelan agar bercampur dengan darah, terngiang kembali percakapan semalam dengan kedua orang tuanya.
“Ayah apa?”
“hmm, 0, nduk”
“Ibu?”.
Tak ada rekasi. Malah melengos ke kamar. Pelita sama sekali tak paham mengapa Ibundanya berlaku aneh begitu. Wajah bingungnya itu hanya diusap pelan ayah, “pergi tidur. Takut besok kesiangan”. Ah..apa susahnya sih, bilang kalau golngan darah Ibu sama kayak ayah?. ya, pelita pernah tanpa sengaja melihat Kartu Tanda Penduduk milik ibunya dan jelas-jelas tertera. Gol. Darah : 0.
Setidaknya, ia sudah memiliki jawaban saat ada temannya yang bertanya tentang golongan darahnya. Dengan ilmu biologi yang ia pelajari sebelum praktikum, tentulah ia juga memiliki golongan yang sama dengan ibu dan ayahnya.
Bukk! Hampir saja pelita jatuh jika tangan kirinya tak segera memegang meja praktikum. Tapi..tunggu. ia bukan hampir pingsan karena ujung jemari telunjuknya yang barusan ditusuk atau karena phobia darah dan jarum suntiknya seperti saat ia masih SD.
“gak mungkin..”lirihnya. Ini pasti ada yang salah.
“wah, kamu A ya, pelita?” Tanya temannya yang membangunkan ia dari lamunan.
“Iya.. liat aja, Anti A aglitinasi positif. Anti B aglutinasi negatif” Yang lain menimpali.
Gak..Ga mungkin! Ini pasti salah!. Batinnya berteriak.
**
Delapan tahu terlewati sejak kejadian ‘tes golongan darah’ itu. pelita tak ingin mengingkari kebenaran walau ada sejumput kebimbangan yang bertahun-tahun ia simpan.
Semua ia simpan sendiri. rasa penasaran, bingung, cemas, tak mengerti hanya mampu ia pendam dalam-dalam. Ya, sendiri. Ia punya kebiasaan baru sejak kejadian itu. mendongak ke langit tatkala semua rasa itu muncul. Entah..mungkin menahan tangis. Atau menahan seujta tanya yang penuh sesak menyelimuti dada.
Gadis itu hanya mampu bercerita pada angin tentang semua rasa itu, bertahun-tahun.
Angin, bolehkah aku bercerita padamu tentang sejuta rasa yang lama ku pendam?.
Agar setelah ku ceritakan, kau membawanya pergi bersama air mata ku. Walau berulang. Tapi setidaknya, aku mampu tersenyum dan merangkai hari ku lagi selepas berkisah.
Ini tentang dua orang malaikat yang saat aku lahir ke dunia ini, memberi ku sebuah nama indah. Pelita. Kata orang, pelita itu artinya adalah cahaya. Dan aku tau, dua malaikat itu berdo’a agar aku menjadi penerang sekitar kala gelap menyeringai galak.
Angin, tahukah kau?.
Aku sangat sayang pada dua malaikat itu. jika kau ingin paham makna ikhlas, maka belajarlah pada mereka. Jika kau ingin melihat cinta tulus yang tak pernah putus, maka hadirlah diantara mereka. Kau akan merasakannnya. Dan aku, mendapat itu semua dari dua malaikat tersebut.
Do’a yang diajarkan oleh mereka, tentu saja selalu hadir ditiap bincangku dengan-Nya.
Tapi angin..tahukah kau?. aku tak pernah asing diantara mereka yang ku tau, tak ada keterikatan darah diantara kami. Sebuah fakta baru atau hanya gossip belaka mampir ditelingaku, bahwa tahun kelahiran saat aku dilahirkan ke dunia ini adalah tahun dimana orang tua yang sangat menyayangi ankanya, menukarnya dengan anak lain, berharap bahwa anak yang dilahirkannnya dapat tumbuh dengan baik dilingkungan keluarga yang baik pula. Dan semua itu makin membuat ku yakin, kala emosi mendatangiku dan bertanya pada adik dari ibu, dan beliau berkata “ibu sudah terlanjur sayang padamu”.
Angin..aku memandang cermin. Mata ini, hidung, bibir, telinga,alis, bulu mata, garis wajah. Semua ini mirip dengan siapa yang ada di dunia ini?. Aku tak menuntut banyak. Hanya ingin tahu dan meihat dua orang lain yang mirip dengan ku. Itu sudah cukup. Aku tak mengharap kasih sayang atau cinta dari mereka. Kaena itu sudah ku dapat dari dua malaikat yang sejak kecil ku panggil Ayah dan Ibu.
Aku pun tak kan iri dan marah pada dia yang wajahnya mirip dan berjenis golongn darah sama pada dua malaikatku. Tentu tidak. karena, ia sama dengan ku. Tak tahu apa-apa.
Angin, aku benar-benar bersyukur dipertemukan dengan tangan hangat ibu saat ia memelukku erat. Berterimakasih saat wajah ku diusap sayang oleh Ayah.
Sungguh, aku adalah Pelita yang beruntung karena hadir ditengah lingkaran keluarga yang penuh dengan orang-orang bercahaya seperti mereka.
Pintaku, agar Alloh senantiasa membahagiakan mereka di dunia dan akhirat.
Agar suatu hari, aku benar-benar menjadi Pelita yang menerangi segala ketak jelasan.
Agar kelak masanya, aku di kumpulkan dalam Jannah-Nya bersama dua malaikat ditambah dua orang lain yang menghadirkan ku ke dunia ini.
Begitulah, gadis itu tiap kali resah terhadap rasa yang datang menghinggap, ia ceritakan pada angin. Berharap angin sesegara mungkin membawa pergi rasa ‘kacau’ dan selaksa air mata darinya. Dan angin berhembus kemana ia pergi. Membawa pergi jauh bersama debu-debu gelisah. Sampai saat itu tiba. Saat jawaban diberikan. Saat cahaya benar-benar hadir dan menghapus kegundahan dari hati gadis itu, pelita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)