#1
Aku, kamu dan hujan.
Ada kenangan ditiap bulir air
yang jatuh. Saat kita sama-sama khawatir karena teringat pesan Bunda agar
meneduh sejenak ketika Tuhan menyapa makhluk-Nya dengan air. Namun dengan
entengnya, langkah kaki kita berkejeran riang dibawah tetesan air milik-Nya
yang turun dari langit. Kutangkap gurat ketakutan diwajahmu saat menatapku yang
menggigil kediginan. Tergopoh kau menggendong
tubuhku yang suhunya meninggi dengan tiba-tiba.
Sesampainya di rumah, kau menangis sebagai tanda penyesalan karena sengaja
melupakan pesan Bunda. Seperti yang kita tahu, Bunda hanya tersenyum, membelai
rambutmu, dan berbisik pelan, “Tidak apa-apa, sudah.. tidak perlu
menangis”. Secangkir cokelat panas hadir
melelehkan rasa cemas yang menggelayut dihati kita. Hujan pun berhenti tanpa
pesan sebelumnya.
#2
Aku, kamu dan hujan.
Aku tak pernah ingin
kehilanganmu. Tahukah?. Bibirku kelu tuk katakan. Tapi aku tahu, tanpa
kata-kata, kau sangat pahami diriku. Isyarat tubuhku, kau yang paling hafal.
Bagaimana saat aku merajuk manja, tak senang, sedih, marah. Ah, karena itulah
aku tak dapat berbohong dihadapanmu. Diam-diam aku menyelipkan do’a yang
membuat pipiku merona didepan jendela saat hujan menyapa. Sampai ia pergi tanpa
pesan sebelumnya.
#3
Aku, kamu dan hujan.
Kau berbisik, “Hey, pelan-pelan.
Jangan sampai suara langkah kakimu membangunkan Ayah dan Bunda..”.
“Hihi..Iya, Kak. Cokelat panasnya
giliran Kakak yang buat”.
Malam itu kita ke dapur untuk
membuat dua cangkir cokelat panas karena dinginnya hujan menyergap tubuhmu yang
saat itu tengah belajar sampai larut. Dan aku setia menemanimu dengan sesekali
berceloteh dan bertanya ini itu. Kau tak keberatan..
“Tapi Ayah, Bunda takut
melukainya..”
Suara Bunda menghentikan langkah
kaki kita. Aku dan kau berdiri di depan pintu kamar sambil menempelkan daun
telinga. Menguping..
“Ayah tahu itu.. Tapi bagaimana pun,
kita harus menceritakan yang sebenarnya. Bahwa.. Rainy bukan anak kita yang
sesungguhnya. Ia ditukar oleh ibu kandungnya saat di rumah sakit…” .
Tanpa pikir panjang, kau menarik
lenganku menjauh dari percakapan yang seharusnya bersifat rahasia itu. Aku tahu
kau juga bingung mau bersikap bagaimana. Apalagi aku.. Aku yang menjadi tokoh
dalam perbincangan tadi. Aku yang sedang menerima kenyataan.
“Aku tak bisa tidur..”
Sekali lagi kau menarik lengan,
dan membawaku ke tempat persembunyian kita. Loteng. Aku terisak pelan sambil
membenamkan wajah. Kali ini kita bertukar posisi. Giliranmu yang menemaniku
bersama hujan yang memperdengarkan simfoni menyayat hati. Sampai ia berhenti dan
pergi, sebagaimana sebelumnya.. tanpa pesan atau kata apa pun.
#4
Aku, kamu dan hujan.
Kita memutuskan untuk menyimpan
rahasia aksi pengupingan malam itu. Belasan tahun telah berganti. Ayah dan
Bunda juga diam. Tak ada yang berubah. Semua terlihat baik dan normal. Aku juga
tidak mau bertanya lebih jauh.
Hanya satu yang berubah. Yakni
perasaanku padamu. Belasan tahun sejak kenyataan yang kudengar saat itu, ada
sedikit bahagia yang bersemayam dalam diam. Kau bukan kakak kandungku. Itu artinya,
aku diperbolehkan memiliki rasa lebih padamu.
Mungkinkah ini jawaban do’a yang
dulu pernah kubisikkan pada Tuhan saat hujan turun?. Kelak, aku menginginkan
lelaki yang bisa menjaga cintaku seperti kau yang selalu melindungiku. Dia
menjawab permintaanku layaknya buah durian. Diluarnya ada duri tajam, namun
rasa didalamnya sangatlah manis dan
menyenangkan.
#5
Semburat jingga muncul diufuk
barat sungai Rhein. Empat tahun aku pergi meningglkan rumah dan tanah air.
Bukan karena kenyataan pertalian darah yang kutahu. Tapi karena…
“Rain sayang, kenalkan, ini
Sunfy.. Pacar Kakak..”. Geludaaar!. Seketika petir menyambar dahsyat. Hujan pun
turun deras. Kusambut uluran tangan dengan hati beku, padahal saat itu kau
membawakanku secangkir cokelat panas. Dan disnilah sekarang aku terpaku setelah
terhanyut waktu kala hujan turun. Perancis.
Tiba-tiba saja langit menjadi
gelap saat hati mengenangmu. Aku tak lagi suka mendengar alunan melodi hujan.
Karena membuatku sesak. Aku semakin mengingatmu.
Aku terlambat berteduh dari
gerimis. Kubiarkan air-Nya menyentuh lembut wajahku. Mengalir bersama airmata
yang akhirnya tersamarkan. Waktu tak selalu berperan menjadi obat. Ia bisa
menjadi trailer film drama kehidupan secara tiba-tiba. Aku ingin hujan berhenti
dengan pesan sebelumnya. Agar aku bersiap melangkah maju menyusuri waktu,
bertemu pelangi.
- Inspirasi : Hujan, Senja, Pelangi, dan hati-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)