24 Maret 2012

(Kisah) Aku, kamu dan hujan

#1

Aku, kamu dan hujan. 

Ada kenangan ditiap bulir air yang jatuh. Saat kita sama-sama khawatir karena teringat pesan Bunda agar meneduh sejenak ketika Tuhan menyapa makhluk-Nya dengan air. Namun dengan entengnya, langkah kaki kita berkejeran riang dibawah tetesan air milik-Nya yang turun dari langit. Kutangkap gurat ketakutan diwajahmu saat menatapku yang menggigil kediginan.  Tergopoh kau menggendong tubuhku yang suhunya meninggi dengan tiba-tiba.  Sesampainya di rumah, kau menangis sebagai tanda penyesalan karena sengaja melupakan pesan Bunda. Seperti yang kita tahu, Bunda hanya tersenyum, membelai rambutmu, dan berbisik pelan, “Tidak apa-apa, sudah.. tidak perlu menangis”.  Secangkir cokelat panas hadir melelehkan rasa cemas yang menggelayut dihati kita. Hujan pun berhenti tanpa pesan sebelumnya.

#2

Aku, kamu dan hujan.

Aku tak pernah ingin kehilanganmu. Tahukah?. Bibirku kelu tuk katakan. Tapi aku tahu, tanpa kata-kata, kau sangat pahami diriku. Isyarat tubuhku, kau yang paling hafal. Bagaimana saat aku merajuk manja, tak senang, sedih, marah. Ah, karena itulah aku tak dapat berbohong dihadapanmu. Diam-diam aku menyelipkan do’a yang membuat pipiku merona didepan jendela saat hujan menyapa. Sampai ia pergi tanpa pesan sebelumnya. 

#3

Aku, kamu dan hujan.

Kau berbisik, “Hey, pelan-pelan. Jangan sampai suara langkah kakimu membangunkan Ayah dan Bunda..”. 

“Hihi..Iya, Kak. Cokelat panasnya giliran Kakak yang buat”.

Malam itu kita ke dapur untuk membuat dua cangkir cokelat panas karena dinginnya hujan menyergap tubuhmu yang saat itu tengah belajar sampai larut. Dan aku setia menemanimu dengan sesekali berceloteh dan bertanya ini itu. Kau tak keberatan..

“Tapi Ayah, Bunda takut melukainya..” 

Suara Bunda menghentikan langkah kaki kita. Aku dan kau berdiri di depan pintu kamar sambil menempelkan daun telinga. Menguping..

“Ayah tahu itu.. Tapi bagaimana pun, kita harus menceritakan yang sebenarnya. Bahwa.. Rainy bukan anak kita yang sesungguhnya. Ia ditukar oleh ibu kandungnya saat di rumah sakit…” .

Tanpa pikir panjang, kau menarik lenganku menjauh dari percakapan yang seharusnya bersifat rahasia itu. Aku tahu kau juga bingung mau bersikap bagaimana. Apalagi aku.. Aku yang menjadi tokoh dalam perbincangan tadi. Aku yang sedang menerima kenyataan. 

“Aku tak bisa tidur..”

Sekali lagi kau menarik lengan, dan membawaku ke tempat persembunyian kita. Loteng. Aku terisak pelan sambil membenamkan wajah. Kali ini kita bertukar posisi. Giliranmu yang menemaniku bersama hujan yang memperdengarkan simfoni menyayat hati. Sampai ia berhenti dan pergi, sebagaimana sebelumnya.. tanpa pesan atau kata apa pun. 

#4

Aku, kamu dan hujan. 

Kita memutuskan untuk menyimpan rahasia aksi pengupingan malam itu. Belasan tahun telah berganti. Ayah dan Bunda juga diam. Tak ada yang berubah. Semua terlihat baik dan normal. Aku juga tidak mau bertanya lebih jauh. 

Hanya satu yang berubah. Yakni perasaanku padamu. Belasan tahun sejak kenyataan yang kudengar saat itu, ada sedikit bahagia yang bersemayam dalam diam. Kau bukan kakak kandungku. Itu artinya, aku diperbolehkan memiliki rasa lebih padamu. 

Mungkinkah ini jawaban do’a yang dulu pernah kubisikkan pada Tuhan saat hujan turun?. Kelak, aku menginginkan lelaki yang bisa menjaga cintaku seperti kau yang selalu melindungiku. Dia menjawab permintaanku layaknya buah durian. Diluarnya ada duri tajam, namun rasa didalamnya sangatlah  manis dan menyenangkan.

#5

Semburat jingga muncul diufuk barat sungai Rhein. Empat tahun aku pergi meningglkan rumah dan tanah air. Bukan karena kenyataan pertalian darah yang kutahu. Tapi karena…

“Rain sayang, kenalkan, ini Sunfy.. Pacar Kakak..”. Geludaaar!. Seketika petir menyambar dahsyat. Hujan pun turun deras. Kusambut uluran tangan dengan hati beku, padahal saat itu kau membawakanku secangkir cokelat panas. Dan disnilah sekarang aku terpaku setelah terhanyut waktu kala hujan turun. Perancis. 

Tiba-tiba saja langit menjadi gelap saat hati mengenangmu. Aku tak lagi suka mendengar alunan melodi hujan. Karena membuatku sesak. Aku semakin mengingatmu. 

Aku terlambat berteduh dari gerimis. Kubiarkan air-Nya menyentuh lembut wajahku. Mengalir bersama airmata yang akhirnya tersamarkan. Waktu tak selalu berperan menjadi obat. Ia bisa menjadi trailer film drama kehidupan secara tiba-tiba. Aku ingin hujan berhenti dengan pesan sebelumnya. Agar aku bersiap melangkah maju menyusuri waktu, bertemu pelangi. 


- Inspirasi : Hujan, Senja, Pelangi, dan hati-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan komentar dengan bahasa santun :)