Aku bersijingkat pelan. Mengendap keluar kamar.
Hatiku kacau. Wajahku masai. Pikiranku carut marut tak karuan. Namun sepasang
mataku awas. Kalau-kalau ada yang tahu aku keluar kamar.
Arakan mega mendung mewarnai langit menjadi kelabu.
Parade kegelapan di langit tengah bersiap untuk pentas. Aku duduk di bangku
sebuah taman kota yang tak lagi ramai. Sebab semua orang yang tadinya riuh
berkerumun, memutuskan berlindung dari tetesan air-Nya yang sebentar lagi akan
turun.
Aku? Sendirian? Takkan. Aku ditemani olehnya. Ia
yang tadinya terkunci rapat sekali. Tiba-tiba saja muncul keluar. Ia lancang.
Hadir bagai serpihan, dan dalam sepersekian detik membentuk bangunan kokoh.
Pondasinya sulit kuhancurkan. Bangunan itu bernama rindu. Alamatnya di hatiku.
Ah, walau bangunan tersebut tak megah nan mewah. Sederhana saja. Tapi buatku,
ia cukup sempurna. Aku sendirian? Sudah kubilang kan, aku ditemani bangunan
rindu.
Aku teringat perkataan ia -yang
tak boleh kusebut namanya- saat emosi dan pendapat kami berseberangan. “Semoga
kau masih suka melihat purnama.“
Tanpa sadar, sisi sastraku yang
belakangan ini tertikam jauh. Tak terjamah olehku karena memang sengaja ingin
kulumat lalu kuenyahkan. Telah berhasil kabur dari penjara keinginan. Membuat
langkah kakiku yang kaku akhirnya menjangkah untuk pergi dari kamar nomer 7.
Kemudian aku terjebak dalam labirin memori di bangku taman. Nahasnya, aku tak
membawa turut serta kertas dan pena yang tergeletak di laci yang tertutup lagi
terkunci di samping tempat tidurku.
Sembari menatap dedaunan yang
meranggas. Ada loncatan listrik dari satu neuron ke neuron yang lain di otak,
sukses membawa jiwaku melintasi petala ingatan. Saat itu, dua tahun yang lalu.
Aku menangis keras sambil duduk di pinggir jendela kamar. Mendongakkan kepala.
Melihat bulan utuh yang ia -tak boleh kusebut namanya- katakan. Sebelumnya kami
bertengkar hebat. Teriakan dan suara pecahan kaca atau keramik merupakan musik
yang kerap mampir di masing-masing daun telinga kami.
Kami memang sedang memindai
purnama yang sama. Tak lagi berseberangan. Pandangan kami satu … hanya hatinya
dan milikku tak lagi dapat menyatu. Namun tahukah kalian? Aku masih sangat mencintainya.
***
Ketukan palu di pengadilan agama mengakhiri
segalanya. Rumah kami tak lagi berisik oleh teriakan dan lemparan barang. Hanya
sekarang yang mengusik pendengaran kami ialah kasak-kusuk tetangga.
Tak ada lagi yang tersisa. Tinggal kenangan yang
siap menjadi kawan baik. Janji pernikahan kami di depan Tuhan seolah tak
berarti. Sesuatu yang Dia benci, menjadi pintu keluar dari masalah kami -aku
dan mantan suamiku.
***
"Apa kabar, Tuan? Masihkah kau mengingatku
yang pernah hadir dalam hidupmu? Apakah kau … masih suka melihat purnama?”
bisikku pada angin.
Setelah perpisahan yang menyakitkan itu. Dokter
memvonisku kanker darah stadium empat. Sebenarnya, aku sudah tahu sejak stadium
satu. Aku simpan sendiri. Iya. Sendiri. Sampai kuputuskan untuk kerap menyulut
emosi dalam pernikahanku. Aku dan mantan suamiku menjadi sering berseteru
dengan tema yang sengaja kucipta.
Tahukah? Cinta tak melulu berwarna ceria seperti
pelangi di siang hari yang tampak. Namun dapat menjelma bak pelangi yang muncul
di malam hari. Pelangi tetaplah pelangi yang berwarna-warni. Namun tak semua
orang mampu melihat dan merasakan hadirnya itu saat gelap gulita kan? Begitulah
kiranya cintaku padanya. Bahkan, ia pun tak tahu bahwa aku … masih sangat
mencintainya hingga detik ini.
***
Aku meremas undangan biru. Tertulis di sana nama
dia -yang tak boleh lagi kusebut namanya- bersanding mesra dengan wanita lain.
Sudah paham kan? Aku tak sendiri. Aku memilki
sahabat baik bernama rindu dan kenangan. Dan kini, kawan-karibku bertambah. Ada
lara yang sedari tadi menyelusup masuk ke jiwa. Mengusir paksa tegar yang telah
lama kupasung di dalamnya.
*hanya fiksi belaka
*bikin tulisan fiksi ini sambil berdoa : na'udzubillah semoga pernikahanku Samara n barokah terus. Aamiin. 😂😂
*tulisan ini dibuat dalam rangka setor malam narasi. Btw, gambar dikasih sama salah seorang personil owop. Sepertinya dia juga ambil dari Google. Kalau ada yang tahu ini punya siapa, sila inbox saya. Akan saya cantumkan sumber gambarnya
*peluk anak gue yang lagi bobok, haha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)