21 Februari 2016

Kotak Surat (bagian 1)



“Ran, pernah dengar mitos tentang kotak surat di atas bukit belakang sekolah?” tanya Ken ditemani matahari yang sedang bersiap kembali ke peraduan.
Ran sedang asyik menekuni novel. Ia menautkan alis tanpa berpaling dari novel yang berwarna dasar biru. “Mitos apa?”
“Iya. Katanya, kalau kita menulis surat disamping kotak surat itu … tanpa sadar, jari-jari kita akan merangkai kata cinta untuk orang yang kita suka, ” jelas Ken sambil menatap camar yang mengangkasa. Ada semburat merah di pipi yang mati-matian ia sembunyikan.
“Kau pernah?”
“Umm, kau coba saja sendiri. Sudah ya. Aku pergi dulu. Kau jaga diri baik-baik.” Ken berlalu dengan debaran di dadanya. Ada kalimat yang tertahan di kerongkongan. Sebuah perpisahan. Esok Ran takkan lagi bisa menemukannya di sekolah atau di halaman rumahnya. Ken akan terbang dengan burung besi ke Belanda. Mengikuti ayahnya yang pindah tugas ke sana.
Ran menatap sendu punggung Ken. Sepasang matanya berucap dalam diam. Mulutnya terkatup rapat. Satu yang bersuara : hatinya. Ran sudah mendengar dari teman lainnya bahwa Ken akan pindah sekolah, rumah juga negara. Namun selamat jalan, terlalu sembilu untuk dikatakan.
Mungkin benar. Mereka takkan tahu tentang cinta sampai hadir rindu yang menyiksa.
***
 

Ran berangkat ke sekolah lebih awal dari biasanya. Ia tengah menguatkan hati untuk melihat bangku kosong di depan tempat duduknya. Ken, sahabatnya sejak kecil yang mengisi separuh hidup Ran telah pergi.
Ran sadar, terkadang getaran halus menjalar dengan cepat. Berkelindan di hatinya. Hanya selalu ia tepis. Ia tak ingin status persahabatan mereka suatu saat pupus. Lalu berubah menjadi cinta yang tak pasti. Dan akhirnya mati.
***
Bel sekolah berdentang-dentang. Menandakan jam untuk pulang. Ran tak gegas kembali ke rumah. Ia memutuskan untuk naik ke atas bukit yang terletak di belakang sekolahnya.
Ran mengambil beberapa daun yang jatuh di jalan setapak menuju bukit. Daun-daun itu meranggas. Musim gugur telah tiba. Sama dengan semangatnya yang tengah meluruh.
Napas panjang Ran hela. Berat. Lagi-lagi ia terjebak dalam labirin memori. Sel-sel neuron di otaknya mampu menjala dengan terampil ingatannya bersama Ken. Mungkin benar kata sahabat kecilnya itu dulu. Kenangan merupakan judul buku terindah namun membuat sesak.
Ada ego yang sedari tadi Ran tekan : ia tak harus merasa kehilangan. Namun semakin ia tak acuh, ada ceruk hampa yang kian melebar.
Langkahnya terhenti. Tepat di depan kotak surat yang Ken kisahkan sebelum pergi. Mitos kotak surat cinta. Ran mengambil posisi duduk di samping kotak surat itu. Ia keluarkan alat tulis. Kemudian jemarinya seolah bergerak sendiri. Ran menulis. Sebuah pengakuan. Tentang rindu yang bersemayam untuk seorang lelaki. Ken.
Sesuatu merangsek masuk ke dalam hati Ran : sepi. Yang merobek benteng pertahanan air matanya. Tegar yang ia ikat, melindap pergi berjingkat-jingkat.
Mitos yang Ken sampaikan memang tak benar. Namun laki-laki itu juga tak berdusta. Sebab Ran mampu menulis dua lembar surat untuk sahabat yang telah berubah menjadi sosok lelaki yang ia suka.
Ran membuka kotak surat cintanya. Surat-surat di dalamnya terjatuh karena isi kotaknya telah sangat penuh. Kening Ran berkerut.
“Dari K? Siapa K?” gumam Ran sambil meneliti salah satu amplop surat. Ia ingin sekali membaca semua surat itu. Namun teja jingga di kaki langit sebelah barat menjadi tanda bahwa ia harus segera pulang.
Ran mengembalikan surat-surat yang terjatuh ke dalam kotak. Lalu ia masukkan surat miliknya.
‘Dari RA’.
Begitu yang ia tulis di amplop surat miliknya.
Ran menatap lama kotak surat cinta tadi sebelum ia menuruni bukit. Ini ialah kali terakhir ia melihat kotak itu. Sebab esok, ia pun akan pergi meninggalkan sekolah, rumah dan negaranya. Ran dan keluarganya akan pindah ke Turki.
Rahasia sepasang anak manusia tertahan. Bukan maksud-Nya mempermainkan. Tuhan tahu kapan waktu yang tepat untuk menghadirkan pendar-pendar cinta yang saling berbalas dengan indah.
-sunflower-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan komentar dengan bahasa santun :)