19 Februari 2016

[Fanfic CCS] : Prolog - Rahasia Dibalik Terkumpulnya Clow Card

Fanfic? Well, saya suka menulis sejak lama. Tulisan pertama saya adalah semacam novel. Tapi entah di mana sekarang tulisan saya itu. Inspirasinya datang dari rasa tidak puas saya atas drama Taiwan. Judulnya "My MVP Valentine" yang saat itu ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta, hehe. Dan, baru saat saya kuliah –tergabung dalam suatu komunitas menulis- saya tahu ada isitilah fanfiction. Yaaa, cerita fiksi yang dibuat karena si penulis tidak puas atas ending suatu film, cerita, atau apa pun itu. Namun dengan tokoh, karakter, dan dasar ceritanya ya dari film/cerita yang tadi.  Kira-kira begitu pengertian fanfic yang saya tahu, hehe.

Beberapa waktu lalu, saya dimanahi oleh seseorang untuk semacam share terkait menulis di suatu komunitas menulis.  Untuk mendalami materi share tadi, saya meluncur ke youtube. Dan oh? Saya menemukan kembali anime Cardcaptor Sakura (CCS) yang diputar saat saya masih kecil. Sekian lama tak pernah menonton anime itu lagi, huah! Rupanya banyak keanehan. LGBT juga ada di sana … saya menghela napas panjang dan tak percaya. Namun, si pembuat anime begitu ‘rapi’ menyembunyikan LGBT dalam anime ini. Entah yang di manga… saya hanya pernah satu kali baca di vol. yang saya juga lupa ke berapa. Ya ampun…

Kemudian saya diskusi dengan Zu. Baiklah. Saya kembali ke niat awal untuk belajar membentuk karakter tokoh. Dan terjadilah! Saya dan Zu sepakat membuat fanfic CCS. Tentu dengan menghilangkan unsur LGBT yang kerap muncul di anime. Saya dan Zu sependapat bahwa dalam anime ini, pasangan yang lumayan tak banyak menyimpang –walau tetap saja menyimpang mengingat mereka masih anak SD- adalah tentang Sakura dan Shaoran. Karena itulah, kami mencoba membuat fanfic ini dengan setting masa remajanya mereka. Bukan lagi anak SD.

Tentu jika kalian yang membaca ini, ingin sedikit nyambung dengan fanfic yang saya dan Zu buat, ada baiknya menonton sekilas di youtube atau membaca sinopsis CCS. Oh, saya sedang coba membangun tokoh Shaoran yang dingin namun juga hangat. Secara, banyak tokoh laki-laki di cerita pendek atau flash fiction yang sering saya buat, kebanyakan adalah puitis nan romantis, heu. So, cekidot kalau ingin membaca. Kalau gak, lewati saja postingan ini :D. Satu lagi, sambil membuat chapter fanfic ini, saya ditemani oleh lagu yang cukup menguras emosi saya : My Immortal by Evanescence




Prolog - Rahasia Di Balik Terkumpulnya Clow Card


Ada dua orang lelaki gagah yang selalu candu untuk mengadu kemampuan bela diri saat dunia persilatan di Cina sedang berada puncak masa kejayaannya. Berada di bawah perguruan yang berbeda tidak membuat mereka serta merta menjadi musuh yang selalu berambisi untuk mengalahkan satu sama lain. Hubungan keduanya selalu baik, bahkan mereka bersahabat. Namun tidak dapat dipungkiri di dalam diri masing-masing, terdapat gejolak bersaing yang cukup tinggi.

"Tan Hei, lebih baik kau menyerah saja. Kau akui jika ilmu bela diri yang diturunkan oleh leluhurku lebih unggul." Li Zi, 34 tahun, dari Perguruan Naga Putih.

Napas Tan Hei—lelaki 32 tahun dari Perguruan Tapak Api—tersengal. Dia kelelahan. Setelah hampir dua jam lamanya beradu kemampuan, akhirnya bisa terlihat di antara keduanya siapa yang lebih unggul.

"Li Zi, aku tak semudah itu untuk menyerah. Pada akhirnya, kau yang harus mengakui, bahwa ilmu bela diri keluargaku lebih baik."

Tan Hei kembali memperbaiki posisinya dan mengambil kuda-kuda. Tangan kanannya mengacungkan pedang. Siap menusuk dan merobek jantung lawannya. Di seberang, sebenarnya Li Zi juga sudah kewalahan. Namun ada senyum tipis yang dia sunggingkan. Perasaan yang puas, karena hanya Tan Hei yang bisa membuatnya selalu bersemangat dalam adu kekuatan seperti ini.

Sejujurnya, di awal  mereka tak sungguh-sungguh untuk mengadakan adu ilmu bela diri semacam ini. Mereka hanya ingin menguji kemampuan satu sama lain. Namun entah mengapa, kejadian ini berulang seperti sebelum-sebelumnya. Keduanya terhanyut dalam pertarungan dan akan berhenti ketika salah satu dari mereka kehabisan tenaga.

Serangan Tan Hei bisa dihindari Li Zi dengan mudah, namun ternyata Li Zi masuk perangkap Tan Hei. Tan Hei bersiap untuk melancarkan serangan yang selanjutnya dengan kekuatan yang lebih besar dua kali lipat dari sebelumnya. Namun saat Tan Hei akan menyerang, Li Zi dengan sigap mengeluarkan jimat milik keluarganya. Lalu ia lempar ke udara dengan pedangnya.

"Dewa petir! Tunjukkan kekuatanmu!"

Tan Hei terkejut dan tak siap dengan serangan yang tiba-tiba. Ia terpelanting jauh. Darah segar mengalir dari mulut dan kepalanya. Li Zi tersadar saat melihat lawannya terkapar tak berdaya.

"Tan Heeeeiiii!"
***


20 tahun setelah  kejadian itu...

Berita duka datang dari keluarga Tan. Anak dan menantu Mister Tan Hei meninggal karena kecelakaan saat sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri. Anak dan menantunya tewas di tempat kejadian perkara. Mereka meninggalkan seorang anak perempuan cantik berusia lima tahun.

Sebulan setelah itu, penyakit yang diderita Tan Hei cukup lama itu kembali meradang.

"Uhuk uhuk..." Tan Hei terbatuk di atas pembaringannya. Luka yang dialaminya cukup parah.

“Aku turut berduka, Hei... maaf aku baru sempat ke sini.”

“Terima kasih, Zi...”

Lawan tangguhnya saat bertarung 20 tahun yang lalu kini berada di sampingnya. Terkulai lemah tak berdaya. Perasaan bersalah kembali menggandrungi Li Zi.

"Hei, maafkan aku. Aku... aku sudah berusaha untuk mencari pengobatan terbaik dari negeri manapun, tapi sampai sekarang..." kalimatnya terputus, tidak sanggup untuk diteruskan.

Karena perasaan bersalah Li Zi, selama belasan tahun dia mencari pengobatan terbaik agar bisa mengobati seorang sahabat yang telah lama menderita sakit parah karenanya.

Jurus Dewa Petir itu sendiri adalah jurus sihir yang dipakai oleh Li Zi untuk menghadapi roh-roh jahat atau sihir hitam. Ketika sihir ini mengenai seorang manusia efeknya mematikan, beruntung tidak mengenai titik fatal Tan Hei, tapi sampai sekarang keadaan tubuh Tan Hei tidak jauh lebih baik dari tahun-tahun pertama setelah dia terluka oleh jurus itu.

"Zi, kau tak perlu minta maaf. Itulah mengapa leluhur kita berpesan... uhuk... jangan sembarangan menggunakan ilmu bela diri. Ada nafsu mengalahkan yang bisa hadir kapanpun ia mau..."

"Aku paham, Hei. Tapi apa gunanya nasehat itu sekarang. Kau menjadi begini, semuanya karena salahku!" Perasaan sesak memenuhi hatinya karena rasa bersalahnya.
Berbagai pengandaian pun muncul dalam benaknya.

Jika saja dia tak menuruti nafsu mengalahkan...
Jika saja dia selalu ingat pesan leluhurnya dulu...
Mungkin kondisi sahabatnya itu tak akan seperti ini.

Kedua lelaki itu diselimuti kebisuan. Lalu dari balik pintu, muncul gadis mungil yang dengan takut menyapa kakeknya.

"Kakek...” Gadis mungil itu dengan ragu-ragu menghampiri mereka. Dia memeluk erat boneka kelinci dan terlihat sungkan untuk mendekat. Namun Tan Hei mengarahkan cucunya untuk naik ke pembaringannya.

“Kakek, kapan ayah dan ibu pulang? Aku bosan. Nggak ada yang bisa menemaniku main, Kek."

“Uhuk, bagaimana dengan Sun?”

“Sun nggak mau tersenyum. Aku nggak mau main dengan Sun...”

Tan Hei tersenyum lemah. Lelaki renta itu kembali menyakinkan cucunya, kalau Sun—satu-satunya orang kepercayaan Tan Hei—adalah orang yang baik.

Hati Li Zi semakin merasa bersalah saat melihat cucu Tan Hei yang merengek manja ke kakeknya yang lemah tak berdaya.

"Tan Hei, bertahanlah.” Li Zi kembali meyakinkan Tan Hei seperti sebelum-sebelumnya. “Aku janji akan menyembuhkanmu.”

“Zi, sudahlah. Jangan habiskan waktumu hanya untuk mencari sesuatu yang tidak mungkin jelas keberadaanya...”

“Tidak, kali ini aku sudah mendapatkan info penting dari rapat perguruan seluruh Cina. Ada satu cara yang bisa menyembuhan cedera yang diakibatkan oleh ilmu sihir Dewa Petir.”

Tan Hei kali ini diam membiarkan temannya itu untuk menjelaskan. Pasalnya hal ini baru pertama kali dia dengar. Penjelasan Li Zi kali ini benar-benar berbeda dari yang sebelumnya.

“Aku akan mencari clow card. Mengumpulkannya dan memakai kartu itu untuk menyembuhkanmu. Bahkan kemampuan clow card bisa ‘mengembalikan’ sesuatu yang telah lama menghilang. Aku memang tidak tahu batas dari kemampuan clow card ini, tapi paling tidak aku akan mengumpulkannya dulu...”

“Jika kau tak berhasil membawa clow card?” tanya Tan Hei. Senyum Li Zi menghilang, namun kini Tan Hei yang tersenyum lemah.

“Sudahlah, Zi... saat ini yang aku pikirkan hanya nasib cucuku ini, Lihua. Anak malang ini sekarang sudah tidak punya orang tua. Kelak ketika waktuku tiba nanti, Lihua akan benar-benar sendirian...” Napas Tan Hei tersengal. Hari ini dia berpikir terlalu banyak, sehingga memperburuk kondisi tubuhnya.

Li Zi terdiam cukup lama sambil memandang cucu sahabatnya itu yang mulai menangis sesenggukan ketika melihat kakeknya kesusahan.

"Li Zi, aku tak minta kau sembuhkan. Uhuk... jika aku tak mampu bertahan, aku minta tolong. Jaga baik-baik Lihua. Dia tak punya siapa-siapa lagi, selain aku dan Sun."

Terlintas suatu cara untuk menebus rasa bersalah Li Zi pada Tan Hei.

"Baiklah.... jika aku tak berhasil membawa clow card, maka Lihua akan aku jodohkan dengan cucuku, Shaoran."
***


Tiga tahun setelah itu, Tan Hei menghembuskan nafas terakhirnya. Setahun sebelum kepergian Tan Hei, Li Zi berinisiatif untuk mewariskan seluruh kemampuannya kepada cucunya, Shaoran, serta mengajak Shaoran untuk ikut membantunya mengumpulkan clow card. Namun tubuh Tan Hei sudah tidak sanggup untuk menunggu lebih lama lagi.

Tan Hei meninggalkan dunia untuk selamanya sebelum akhirnya Li Zi menerima info yang sangat penting dari relasinya. Clow card yang dia cari selama ini, tersebar di Jepang karena pemilik terakhir dari kartu itu adalah keturunan Jepang. Beruntung, Shaoran sejak kecil telah dibekali kemampuan bahasa Jepang oleh ayahnya yang orang Jepang.

Dan Li Zi akhirnya menyuruh Shaoran untuk pindah sekolah di Jepang dan mencari clow card yang tersebar. Namun, tiga bulan setelah kepergian Shaoran ke Jepang dan belum genap dua tahun tahun kepergian Tan Hei, Li Zi pun menyusul sahabatnya itu ke alam sana.

_*_*_


Dua tahun setelah kepergian Shaoran, Sang Ibu mendengar kabar bahwa clow card itu sudah terkumpul lengkap. Namun bukan Shaoran si pemilik kartu, melainkan Sakura, seorang gadis manis keturunan Jepang yang sekarang menjadi teman sekelasnya Shaoran.

“Halo, Nak...” Sang ibu menelpon Shaoran yang berada di belahan bumi yang lain.

“Ibu?”

“Pulanglah, Nak. Lanjutkan sekolahmu di sini. Kau sudah tidak perlu mengumpulkan kartu itu lagi...”

“Tapi, Bu... Maaf, aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Kakek.”

“Sudahlah, Nak. Masih ada cara lain untuk itu. Pulanglah ke Cina...”

Sang ibu menyudahi pembicaraannya dengan anaknya. Lama berpikir dia akhirnya bergumam sendiri.

“Mungkin sebaiknya kuberitahu tentang pertunangan itu saat usianya sudah cukup dewasa...”

--
Lanjut ke sini >> klik ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan komentar dengan bahasa santun :)