Fanfic? Well, saya suka menulis sejak lama. Tulisan pertama
saya adalah semacam novel. Tapi entah di mana sekarang tulisan saya itu.
Inspirasinya datang dari rasa tidak puas saya atas drama
Taiwan. Judulnya "My MVP Valentine" yang saat itu ditayangkan di salah
satu stasiun televisi swasta, hehe. Dan, baru saat saya kuliah
–tergabung dalam suatu komunitas menulis- saya tahu ada isitilah
fanfiction. Yaaa, cerita fiksi yang dibuat karena si penulis tidak puas
atas ending suatu film, cerita, atau apa pun itu. Namun dengan tokoh,
karakter, dan dasar ceritanya ya dari film/cerita yang tadi. Kira-kira
begitu pengertian fanfic yang saya tahu, hehe.
Beberapa waktu lalu, saya dimanahi oleh seseorang untuk semacam share
terkait menulis di suatu komunitas menulis. Untuk mendalami materi
share tadi, saya meluncur ke youtube. Dan oh? Saya menemukan kembali
anime Cardcaptor Sakura (CCS) yang diputar saat saya masih kecil. Sekian
lama tak pernah menonton anime itu lagi, huah! Rupanya banyak keanehan.
LGBT juga ada di sana … saya menghela napas panjang dan tak percaya.
Namun, si pembuat anime begitu ‘rapi’ menyembunyikan LGBT dalam anime
ini. Entah yang di manga… saya hanya pernah satu kali baca di vol. yang
saya juga lupa ke berapa. Ya ampun…
Kemudian saya diskusi dengan Zu.
Baiklah. Saya kembali ke niat awal untuk belajar membentuk karakter
tokoh. Dan terjadilah! Saya dan Zu sepakat membuat fanfic CCS. Tentu
dengan menghilangkan unsur LGBT yang kerap muncul di anime. Saya dan Zu
sependapat bahwa dalam anime ini, pasangan yang lumayan tak banyak
menyimpang –walau tetap saja menyimpang mengingat mereka masih anak SD-
adalah tentang Sakura dan Shaoran. Karena itulah, kami mencoba membuat
fanfic ini dengan setting masa remajanya mereka. Bukan lagi anak SD.
Tentu
jika kalian yang membaca ini, ingin sedikit nyambung dengan fanfic yang
saya dan Zu buat, ada baiknya menonton sekilas di youtube atau membaca
sinopsis CCS. Oh, saya sedang coba membangun tokoh Shaoran yang dingin
namun juga hangat. Secara, banyak tokoh laki-laki di cerita pendek atau
flash fiction yang sering saya buat, kebanyakan adalah puitis nan
romantis, heu. So, cekidot kalau ingin membaca. Kalau gak, lewati saja
postingan ini :D. Satu lagi, sambil membuat chapter fanfic ini, saya ditemani oleh lagu yang cukup menguras emosi saya : My Immortal by Evanescence
Prolog - Rahasia Di Balik Terkumpulnya Clow Card
Ada dua orang lelaki gagah yang selalu candu untuk
mengadu kemampuan bela diri saat dunia persilatan di Cina sedang berada puncak
masa kejayaannya. Berada di bawah perguruan yang berbeda tidak membuat mereka
serta merta menjadi musuh yang selalu berambisi untuk mengalahkan satu sama
lain. Hubungan keduanya selalu baik, bahkan mereka bersahabat. Namun tidak
dapat dipungkiri di dalam diri masing-masing,
terdapat
gejolak bersaing yang cukup tinggi.
"Tan Hei, lebih baik kau menyerah saja. Kau
akui jika ilmu bela diri yang diturunkan oleh leluhurku lebih unggul." Li
Zi, 34 tahun, dari Perguruan Naga Putih.
Napas Tan Hei—lelaki 32 tahun dari Perguruan Tapak
Api—tersengal. Dia kelelahan. Setelah hampir dua jam lamanya beradu kemampuan,
akhirnya bisa terlihat di antara keduanya siapa yang lebih unggul.
"Li Zi, aku tak semudah itu untuk menyerah.
Pada akhirnya, kau yang harus mengakui, bahwa ilmu bela diri keluargaku lebih
baik."
Tan Hei kembali memperbaiki posisinya dan mengambil
kuda-kuda. Tangan kanannya mengacungkan pedang. Siap menusuk dan merobek
jantung lawannya. Di seberang, sebenarnya Li Zi juga sudah kewalahan. Namun ada
senyum tipis yang dia sunggingkan. Perasaan yang puas, karena hanya Tan Hei
yang bisa membuatnya selalu bersemangat dalam adu kekuatan seperti ini.
Sejujurnya, di awal
mereka tak sungguh-sungguh untuk mengadakan adu ilmu bela diri semacam ini. Mereka
hanya ingin menguji kemampuan
satu sama lain. Namun entah mengapa, kejadian ini berulang seperti
sebelum-sebelumnya. Keduanya terhanyut dalam pertarungan dan akan berhenti
ketika salah satu dari mereka kehabisan tenaga.
Serangan Tan Hei bisa dihindari Li Zi dengan mudah,
namun ternyata Li Zi masuk perangkap Tan Hei. Tan Hei bersiap untuk melancarkan
serangan yang selanjutnya dengan kekuatan yang lebih besar dua kali lipat dari
sebelumnya. Namun saat Tan Hei akan menyerang, Li Zi dengan sigap mengeluarkan
jimat milik keluarganya. Lalu ia lempar ke udara dengan pedangnya.
"Dewa petir! Tunjukkan kekuatanmu!"
Tan Hei terkejut dan tak siap dengan serangan yang
tiba-tiba. Ia terpelanting jauh. Darah segar mengalir dari mulut dan kepalanya.
Li Zi tersadar saat melihat lawannya terkapar tak berdaya.
"Tan Heeeeiiii!"
***
20
tahun setelah kejadian itu...
Berita duka datang dari keluarga Tan. Anak dan
menantu Mister Tan Hei meninggal karena kecelakaan saat sedang melakukan
perjalanan bisnis ke luar negeri.
Anak
dan menantunya tewas di tempat kejadian perkara. Mereka meninggalkan seorang
anak perempuan cantik berusia lima tahun.
Sebulan setelah itu, penyakit yang diderita Tan Hei
cukup lama itu kembali meradang.
"Uhuk uhuk..." Tan Hei terbatuk di atas
pembaringannya. Luka yang dialaminya cukup parah.
“Aku turut berduka, Hei... maaf aku baru sempat ke
sini.”
“Terima kasih, Zi...”
Lawan tangguhnya saat bertarung 20 tahun yang lalu
kini berada di sampingnya. Terkulai lemah tak berdaya. Perasaan bersalah
kembali menggandrungi Li Zi.
"Hei, maafkan aku. Aku... aku sudah berusaha
untuk mencari pengobatan terbaik dari negeri manapun, tapi sampai sekarang..."
kalimatnya terputus, tidak sanggup untuk diteruskan.
Karena perasaan bersalah Li Zi, selama belasan tahun
dia mencari pengobatan terbaik agar bisa mengobati seorang sahabat yang telah
lama menderita sakit parah karenanya.
Jurus Dewa Petir itu sendiri adalah jurus sihir yang
dipakai oleh Li Zi untuk menghadapi roh-roh jahat atau sihir hitam. Ketika
sihir ini mengenai seorang manusia efeknya mematikan, beruntung tidak mengenai
titik fatal Tan Hei, tapi sampai sekarang keadaan tubuh Tan Hei tidak jauh lebih
baik dari tahun-tahun pertama setelah dia terluka oleh jurus itu.
"Zi, kau tak perlu minta maaf. Itulah mengapa
leluhur kita berpesan... uhuk... jangan sembarangan menggunakan ilmu bela diri.
Ada nafsu mengalahkan yang bisa hadir kapanpun ia mau..."
"Aku paham, Hei. Tapi apa gunanya nasehat itu
sekarang. Kau menjadi begini,
semuanya
karena salahku!" Perasaan sesak memenuhi hatinya karena rasa bersalahnya.
Berbagai pengandaian pun muncul dalam benaknya.
Jika
saja dia tak menuruti nafsu mengalahkan...
Jika
saja dia selalu ingat pesan leluhurnya dulu...
Mungkin
kondisi sahabatnya itu tak akan seperti ini.
Kedua lelaki itu diselimuti kebisuan. Lalu dari
balik pintu, muncul gadis mungil yang dengan takut menyapa kakeknya.
"Kakek...” Gadis mungil itu dengan ragu-ragu
menghampiri mereka. Dia memeluk erat boneka kelinci dan terlihat sungkan
untuk mendekat. Namun Tan Hei mengarahkan cucunya untuk naik ke pembaringannya.
“Kakek, kapan ayah dan ibu pulang? Aku bosan. Nggak
ada yang bisa menemaniku main, Kek."
“Uhuk, bagaimana dengan Sun?”
“Sun nggak mau tersenyum. Aku nggak mau main
dengan Sun...”
Tan Hei tersenyum lemah. Lelaki renta itu kembali
menyakinkan cucunya, kalau Sun—satu-satunya
orang kepercayaan Tan Hei—adalah orang yang baik.
Hati Li Zi semakin merasa bersalah saat melihat cucu
Tan Hei yang merengek manja ke kakeknya yang lemah tak berdaya.
"Tan Hei, bertahanlah.” Li Zi kembali
meyakinkan Tan Hei seperti sebelum-sebelumnya. “Aku janji akan menyembuhkanmu.”
“Zi, sudahlah. Jangan habiskan waktumu hanya untuk
mencari sesuatu yang tidak mungkin jelas keberadaanya...”
“Tidak, kali ini aku sudah mendapatkan info penting
dari rapat perguruan seluruh Cina. Ada satu cara yang bisa menyembuhan cedera
yang diakibatkan oleh ilmu sihir Dewa Petir.”
Tan Hei kali ini diam membiarkan temannya itu untuk
menjelaskan. Pasalnya hal ini baru pertama kali dia dengar. Penjelasan Li Zi
kali ini benar-benar berbeda dari yang sebelumnya.
“Aku akan mencari clow card. Mengumpulkannya dan memakai kartu itu untuk
menyembuhkanmu. Bahkan kemampuan clow
card bisa ‘mengembalikan’ sesuatu yang telah lama menghilang. Aku memang
tidak tahu batas dari kemampuan clow card
ini, tapi paling tidak aku akan mengumpulkannya dulu...”
“Jika kau tak berhasil membawa clow card?” tanya Tan Hei. Senyum Li Zi menghilang, namun kini Tan
Hei yang tersenyum lemah.
“Sudahlah, Zi... saat ini yang aku pikirkan hanya
nasib cucuku ini, Lihua. Anak malang ini sekarang sudah tidak punya orang tua.
Kelak ketika waktuku tiba nanti, Lihua
akan benar-benar sendirian...” Napas Tan Hei tersengal. Hari ini dia berpikir
terlalu banyak, sehingga memperburuk kondisi tubuhnya.
Li Zi terdiam cukup lama sambil memandang cucu
sahabatnya itu yang mulai menangis sesenggukan ketika melihat kakeknya
kesusahan.
"Li Zi, aku tak minta kau sembuhkan. Uhuk...
jika aku tak mampu bertahan, aku minta tolong. Jaga baik-baik Lihua. Dia tak
punya siapa-siapa lagi, selain aku dan Sun."
Terlintas suatu cara untuk menebus rasa bersalah Li
Zi pada Tan Hei.
"Baiklah.... jika aku tak berhasil membawa clow card, maka Lihua akan aku jodohkan
dengan cucuku, Shaoran."
***
Tiga tahun setelah itu, Tan Hei menghembuskan nafas
terakhirnya. Setahun sebelum kepergian Tan Hei, Li Zi berinisiatif untuk
mewariskan seluruh kemampuannya kepada cucunya, Shaoran, serta mengajak Shaoran
untuk ikut membantunya mengumpulkan clow
card. Namun tubuh Tan Hei sudah tidak sanggup untuk menunggu lebih lama
lagi.
Tan Hei meninggalkan dunia untuk selamanya sebelum
akhirnya Li Zi menerima info yang sangat penting dari relasinya. Clow card yang dia cari selama ini, tersebar di Jepang
karena pemilik terakhir dari kartu itu adalah keturunan Jepang. Beruntung,
Shaoran sejak kecil telah dibekali kemampuan bahasa Jepang oleh ayahnya yang
orang Jepang.
Dan Li Zi akhirnya menyuruh Shaoran untuk pindah
sekolah di Jepang dan mencari clow card
yang tersebar. Namun, tiga bulan setelah kepergian Shaoran ke Jepang dan belum
genap dua tahun tahun kepergian Tan Hei, Li Zi pun menyusul sahabatnya itu ke
alam sana.
_*_*_
Dua tahun setelah kepergian Shaoran, Sang Ibu
mendengar kabar bahwa clow card itu
sudah terkumpul lengkap. Namun bukan Shaoran si pemilik kartu, melainkan
Sakura, seorang gadis manis keturunan Jepang yang sekarang menjadi teman
sekelasnya Shaoran.
“Halo, Nak...” Sang ibu menelpon Shaoran yang berada
di belahan bumi yang lain.
“Ibu?”
“Pulanglah, Nak. Lanjutkan sekolahmu di sini. Kau
sudah tidak perlu mengumpulkan kartu itu lagi...”
“Tapi,
Bu... Maaf, aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Kakek.”
“Sudahlah, Nak. Masih ada cara lain untuk itu.
Pulanglah ke Cina...”
Sang ibu menyudahi pembicaraannya dengan anaknya.
Lama berpikir dia akhirnya bergumam sendiri.
“Mungkin sebaiknya kuberitahu tentang pertunangan
itu saat usianya sudah cukup dewasa...”
--
Lanjut ke sini >> klik ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)