21 Februari 2016

Pesan Tertahan pada Telepon Koin


gambar didapat dari grup one week one paper


Bolehkah kuhubungi dirimu dari telepon koin ini? Ada yang ingin segera kukatakan. Maukah kau angkat? Atau lebih baik, rindu ini kularungkan saja ke lautan lepas? Beri aku waktu tiga menit saja. Ada yang ingin kudengar. Maukah kau bicara? Atau lebih baik, tulisan ini ikut kuhanyutkan?
***
Aku bosan menatap kabel telepon yang kian melilit dadaku. Lalu sesak menjadikanku tak berdaya. Oksigen tak mampu kuhirup. Apa kau ingin aku membiru lantaran kehabisan napas?
Nahasnya, loncatan listrik dari satu neuron ke neuron lain yang ada di otakku cekatan sekali menjala kenangan indah yang makin membuatku ingin melihat seraut wajahmu. Layar kenangan terkembang begitu saja. Menampilkan kilasan kisah aku dan kau, kita.

Ouch! Koin terakhir yang kumiliki untuk menghubungimu lewat telepon koin ini terjatuh. Kakiku terantuk batu saat mengambilnya. Darah segar mengalir, rasa sakit mulai membangkitkan kesadaran yang hampir tergilas buncahan rindu. Ya, hampir saja aku menjadi mayat hidup yang sekujur tubuhnya terbebat penyesalan.
Sebulan lalu, kautawarkan bahumu untukku bersandar di depan kotak telepon koin ini. Kauulurkan cincin agar tersemat di jari manis kananku. Aku tak acuh. Tidak peduli dengan sebongkah rasa yang kausebut cinta.
Dan tadi pagi, kau datang lagi dengan seulas senyum sembari menyerahkan undangan merah jambu. Kubaca hati-hati agar tak ada kalimat yang terlewat. Kutelusur huruf demi huruf agar tak salah paham. Ada namamu dan nama seorang wanita tengah bersanding mesra di sana.
Tanpa meminta persetujuanku, kau tinggalkan aku yang mematung di depan kotak telepon koin ini.
Baiklah, koin yang tadi jatuh sudah kuambil. Kutekan beberapa angka, kemudian ada jeda sebentar. Dan kudengar suaramu dari seberang.
“Dengan Ray, siapa di sana?”
“Lily,”
“Oh, ya, ada apa?”
“Ada yang ingin kukatakan sebelum terlambat …” kuhirup napas panjang, setelah itu kuembus pelan. Aku tahu kau pun tengah menanti apa yang kan kuucap.
“A … aku … selamat. Maksudku, selamat atas pernikahanmu. Aku ikut bahagia …” napasku tercekat. Bukan itu yang ingin kuucap, Ray.
“Terima kasih.”
Tut tut tut tut … sambungan telepon terputus.
“Aku ingin hidup bersamamu,” bisikku pelan dengan air mata yang meleleh pada kedua pipiku.
***
Braaaaaaak!
Aku tak tahu dari mana mobil itu berasal. Tubuhku terhempas dengan cepat. Aku larung bersama kotak telepon koin bercampur penyesalan. Terapung pergi mengikuti aliran sungai. Melewati tubir yang dalam. Lalu hanyut ke laut biru, sesuai untuk hatiku yang sendu.
Selamat tinggal, Ray.
***
Epilog
Wanita dengan gaun pengantin yang menawan itu, menyungging senyum saat membaca berita utama koran pagi ini. Seolah tahu betul dengan kasus tabrak lari di kotak telepon koin yang diperkirakan terjadi kemarin petang.
“Seorang Wanita Ditemukan Tewas Terdampar di Pantai”
“Apa kau sudah siap? Upacara pernikahan kita akan dimulai, Nia.” panggil Ray, calon mempelai pria yang akan mengikat janji sehidup semati dengannya.
“Tentu.” jawabnya singkat dengan hati berbunga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan komentar dengan bahasa santun :)