gambar didapat dari grup one week one paper |
Bolehkah kuhubungi dirimu dari telepon koin ini? Ada yang
ingin segera kukatakan. Maukah kau angkat? Atau lebih baik, rindu ini
kularungkan saja ke lautan lepas? Beri aku waktu tiga menit saja. Ada yang
ingin kudengar. Maukah kau bicara? Atau lebih baik, tulisan ini ikut
kuhanyutkan?
***
Aku bosan menatap kabel telepon yang kian melilit dadaku.
Lalu sesak menjadikanku tak berdaya. Oksigen tak mampu kuhirup. Apa kau ingin
aku membiru lantaran kehabisan napas?
Nahasnya,
loncatan listrik dari satu neuron ke neuron lain yang ada di otakku cekatan
sekali menjala kenangan indah yang makin membuatku ingin melihat seraut
wajahmu. Layar kenangan terkembang begitu saja. Menampilkan kilasan kisah aku
dan kau, kita.
Ouch! Koin terakhir yang kumiliki untuk menghubungimu lewat
telepon koin ini terjatuh. Kakiku terantuk batu saat mengambilnya. Darah segar
mengalir, rasa sakit mulai membangkitkan kesadaran yang hampir tergilas
buncahan rindu. Ya, hampir saja aku menjadi mayat hidup yang sekujur tubuhnya
terbebat penyesalan.
Sebulan lalu, kautawarkan bahumu untukku bersandar di depan
kotak telepon koin ini. Kauulurkan cincin agar tersemat di jari manis kananku.
Aku tak acuh. Tidak peduli dengan sebongkah rasa yang kausebut cinta.
Dan tadi pagi, kau datang lagi dengan seulas senyum sembari
menyerahkan undangan merah jambu. Kubaca hati-hati agar tak ada kalimat yang
terlewat. Kutelusur huruf demi huruf agar tak salah paham. Ada namamu dan nama
seorang wanita tengah bersanding mesra di sana.
Tanpa meminta persetujuanku, kau tinggalkan aku yang mematung
di depan kotak telepon koin ini.
Baiklah, koin yang tadi jatuh sudah kuambil. Kutekan beberapa
angka, kemudian ada jeda sebentar. Dan kudengar suaramu dari seberang.
“Dengan Ray, siapa di sana?”
“Lily,”
“Oh, ya, ada apa?”
“Ada yang ingin kukatakan sebelum terlambat …” kuhirup napas
panjang, setelah itu kuembus pelan. Aku tahu kau pun tengah menanti apa yang
kan kuucap.
“A … aku … selamat. Maksudku, selamat atas pernikahanmu. Aku
ikut bahagia …” napasku tercekat. Bukan itu yang ingin kuucap, Ray.
“Terima kasih.”
Tut tut tut tut … sambungan telepon terputus.
“Aku ingin hidup bersamamu,” bisikku pelan dengan air mata
yang meleleh pada kedua pipiku.
***
Braaaaaaak!
Aku tak tahu dari mana mobil itu berasal. Tubuhku terhempas
dengan cepat. Aku larung bersama kotak telepon koin bercampur penyesalan. Terapung
pergi mengikuti aliran sungai. Melewati tubir yang dalam. Lalu hanyut ke laut
biru, sesuai untuk hatiku yang sendu.
Selamat
tinggal, Ray.
***
Epilog
Wanita dengan gaun pengantin yang menawan itu, menyungging
senyum saat membaca berita utama koran pagi ini. Seolah tahu betul dengan kasus
tabrak lari di kotak telepon koin yang diperkirakan terjadi kemarin petang.
“Seorang Wanita Ditemukan Tewas Terdampar di Pantai”
“Apa kau sudah siap? Upacara pernikahan kita akan dimulai,
Nia.” panggil Ray, calon mempelai pria yang akan mengikat janji sehidup semati
dengannya.
“Tentu.” jawabnya singkat dengan hati berbunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)