Pemilik cerita CCS original tetap CLAMP, dan semoga cerita ini tidak merusak image
tokoh-tokoh yang dibuat oleh CLAMP. Mohon dimaklumi apabila ada yang
tidak sesuai dari cerita atau pun penokohan. Dibuat dalam rangka
menyalurkan hobi, rasa gemas (haha) dan tempat kami mengasah kemampuan
menulis.
Pesan dari Daidoji
Malam ini sepasang mataku
enggan terpejam. Debaran jantungku seolah ingin loncat. Apa sih yang terjadi
dengan diriku? Seperti ada yang tengah mengawasiku. Ada seseorang ingin
mengambil sesuatu yang berharga dari hidupku. Tapi siapa? Sial! Aku tak mampu
menebak. Yang jelas, perasaan ini mirip seperti yang aku rasakan saat aku dan
dia terjebak dalam lift. Pada waktu
itu, Hiiragizawa menggunakan sihir yang menyebabkan dirinya terjatuh ke sebuah
jurang yang gelap dan dalam. Aku tak sempat menggunakan sihirku. Tangannya pun
tak mampu kuraih…
“Sakuraaaaaaaaaa!!!”
Saat itu hatiku remuk. Aku
merasa tak berguna, juga ada kehilangan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Namun…
“Aku menggunakan kartu float,”
Dia datang dari bawah jurang
dengan seulas senyum. Rasa khawatir dan ketakutanku mendadak sirna.
“Syukurlah…”
Tiiit!
Pesan masuk ke surel? Siapa
yang malam begini kirim e-mail? Awas
saja jika itu dari Meilin yang hanya ingin tahu apakah aku sudah tidur apa
belum. Sepupuku itu memang masih kekanakan. Namun pada beberapa hal, termasuk
di dalamnya urusan hati. Meilin memang dewasa. Merelakan perasaannya padaku
untuk …
Hhh .. rasa ini tak berubah.
Pipiku tetap memanas dan merah tiap kali terbayang senyumnya. Lalu bagaimana dengan
dia? Apakah perasaanya masih sama seperti empat tahun lalu?
“Tidak
masalah kalau Shaoran tidak bisa benar-benar mengingat siapa aku
...
Aku menyukaimu. Shaoran-lah orang yang paling berarti bagiku!”
“Ya,
aku juga, Sakura...”
“Sakura…” Aku berbisik pelan
di depan layar laptop.
Eh, bukan Meilin. Daidoji?
Hai,
Lee-kun. Apa kau tidak rindu Jepang? Tomoeda? Dan… tentu saja Sakura. Empat
tahun Sakura menunggu kehadiranmu. Temuilah dia, Lee-kun. Liburan akan segera
datang. Di sini, ada laki-laki yang siap merebut Sakura dari tanganmu jika kau
lengah.
Ada angin dingin yang menusuk
sampai ke tulangku. Laki-laki? Saingan?
Dari : Lee
Shaoran
Kepada :
Tomoyo Daidoji
Subjek : ….
Siapa? Aku
mengenalnya? Lalu dia bagaimana? Aku ingin sekali ke Tomoeda. Tapi …
Aku menekah tombol kirim.
Kuhela napas panjang. Aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Daidjoji.
Selama ini aku diancam oleh Kak Toya agar tak menemui Sakura. Tapi jika sudah
begini?
Sakura…
Tiit! Balasan lagi dari Daidoji.
Jika kau memang
mencintai Sakura, tak peduli apapun rintangannya. Kau harus kembali.
Kupandangi teddy bear buatan Sakura yang kunamai
dengan namanya. Juga syal hijau darinya sebagai hadiah di malam natal. Ada yang
sesak sekali rasanya. Aku beranjak dari meja belajar menuju tepi jendela kamar
yang sengaja kubuka. Kubiarkan angin malam menampar wajahku. Tentu saja aku mencintainya… melebihi
siapapun. Perasaan ini, tak pernah berkurang sedikitpun.
***
“Ini aku, Daidoji,”
“Ah, Lee-kun! Di mana kau?”
“Dalam perjalanan dari
bandara menuju Tomoeda. Boleh aku menginap di rumahmu?”
“Oh…sayang sekali, Lee-kun. Selama liburan ini aku menemani ibu ke
Inggris. Juga ada seseorang yang … ah, sudah-sudah. Tak perlu dibahas
rencanaku. Bagaimana jika kau menginap di rumah Sakura-chan?”
“Sakura?”
“Ya. Dia pasti senang. Kau adalah hadiah natal terbaik untuknya. Ah,
sudah ya. Ibu memanggilku.”
Klik. Telepon terputus.
***
Aku berdiri mematung di
depan rumahnya cukup lama. Aku memperhatikan sekeliling. Cat rumah dan
halamannya tak ada yang berubah. Hm, apa dia juga masih sama? Atau
jangan-jangan … hanya aku yang sesak menahan rindu? Bodoh. Kenapa pertanyaan
seperti itu muncul saat langkah kakiku sudah sampai di sini.
Telunjukku tanpa sadar
menekan bel.
Ting tong!
Berbunyi sudah… aku tak
mungkin melarikan diri.
“Ya, seben...” Itu suara Sakura. Ya ... aku mendengar lagi suaranya
secara langsung. Sepersekian detik, waktu bagai berhenti berputar. Dia …terlihat
lebih dewasa dan semakin cantik.
“Hei…”
Bodoh bodoh! Kenapa hanya
sapaan begitu yang keluar dari mulutku. Padahal banyak kata yang berdesakan di
kepalaku. Sial! Ini karena jantungku berdegup kencang sekali.
“Sha- Shaoran...?”
Dari nada suaranya, jelas
sekali bahwa ia terkejut dengan kedatanganku yang tak kukabari sebelumnya. Aku
membetulkan posisi ranselku yang cukup berat. “Boleh
aku masuk?”
“Ho- hoeee ... ma-maaf, ayo
masuk.”
Sakura… aku merindukanmu.
Tangan Sakura terlihat pucat
akibat serangkum hawa dingin yang menjadi sahabat baik kota Tomoeda.
Kukeluarkan sarung tangan yang tadinya, ingin kukirimkan lewat jasa pengiriman
barang sebagai hadiah natal untuk gadis yang sekarang berada persis di
sampingku.
“Maaf tiba-tiba dan membuatmu kaget.” Aku memasangkan sarung tangan di sepasang tangannya.
Dia masih bergeming. Bukan hanya dia yang merasa seperti mimpi. Tapi aku juga.
Lalu bagaimana dengan Kak Toya?
Hah! Laki-laki itu! Sampai sekarang aku masih tak habis pikir. Kenapa Kak Toya
tak suka padaku dan belum merestui hubungan kami. Dia pasti tidak akan suka
dengan kehadiranku sekarang.
Jika kau memang mencintai Sakura, tak peduli apapun
rintangannya. Kau harus kembali.
Tiba-tiba isi pesan Daidoji
terngiang jelas dalam kelebatan ingatanku. Baiklah … aku tidak akan mundur.
Demi perasaan ini. Demi kami… demi
hubungan kita, Sakura. Aku takkan menyerah pada apapun.
“Selamat malam. Apa kabar
Pak Kinomoto dan Kak Toya? Maaf mengganggu makan malam kalian.”
***
“Terimakasih, Pak Kinomoto.
Nasi karenya enak sekali,” Aku memecah hening di ruang makan. Sedikit kikuk
rasanya karena tiba-tiba saja hadir di antara mereka. Pun selama makan tadi,
ada sepasang mata yang begitu lekat memandangku dengan tatapan sinisnya. Seolah
berujar, Dasar pengganggu! Sudah kubilang
jangan pernah menemui adikku!
“Menu favorit Sakura, Lee. Bagaimana kabarmu? Sekolahmu
juga sedang libur ya? Kenapa lama sekali tak ke rumah?”
Pertanyaan Ayah Sakura yang
bertubi-tubi membuat suasana menjadi cair. Aku melirik sekilas ke arah
laki-laki dengan tatapan tak sukanya padaku. Dari ujung ekor mata, kulihat
Sakura pun enggan mengeluarkan suara. Dia seolah ingin mendengar jawabanku.
Haruskah kukatakan yang sebenarnya saat ini? Bahwa…
Kriiiiing!
“Oy, Monster! Angkat tuh
teleponnya!”
Sakura menatap jengkel
kakaknya. Dia mendengus kesal lalu berjalan ke arah telepon.
“Toya … jangan ganggu adikmu
terus,” lerai Ayah dari kakak-beradik itu. “Ah, Lee. Dimakan pudding cokelatnya. Jadi bagaimana?
Kenapa kau baru kelihatan sekarang?” Ayah mereka mengalihkan pembicaraan dengan
topik utamanya adalah aku.
“Aku … di sana cukup sibuk
membantu perusahaan ibu,”
Sayup-sayup kudengar, Sakura
menyebut nama Daidoji.
“Oh. Ibumu sehat juga ‘kan?”
“Ya, Pak.”
“Syukurlah.”
Tak lama, Sakura kembali ke
tempat duduknya. Kami duduk bersisian.
“Siapa, Sakura?” tanya
ayahnya.
“Tomoyo, Yah. Dia pamit ke
Inggris dan minta maaf tidak dapat menemaniku liburan natal kali ini. O ya,
Ayah dan Kak Toya dapat salam dari Tomoyo dan ibunya.”
“Kalau Tomoyo pergi, lalu di
mana kau akan menginap, Lee? Empat tahun lalu saat festival kota Tomoeda, kau
dan sepupumu Meilin menginap di rumah Tomoyo ‘kan?”
Sejurus kemudian, semua mata
tertuju ke arahku.
“Emm … jika diizinkan, aku
ingin menginap di sini.”
“Ho-hoeee??!” teriak Sakura.
Tentu saja dia kaget.
“Tidak boleh!” sentak Kak
Toya.
“Kenapa, Toya? Bukankah
masih ada kamar kosong?” tanya ayah sambil mengerutkan keningnya.
“Bukan masalah itu, Yah.
Tidak enak juga pada tetangga ‘kan? Rumah kita tak sebesar rumahnya Tomoyo.
Jadi kurasa, jika bocah ini ingin liburan di Tomoeda, lebih baik dia menginap
di penginapan atau rumah temannya yang lain.”
“Tapi… teman-teman kami saat
SD, kurasa sebagian besar sedang berlibur.”sanggah Sakura.
Yang dikatakan Kak Toya ada
benarnya juga. Walau di rumah ini, aku dan Sakura takkan bisa berdua seperti
yang dikhawatirkan Kak Toya, sebab adan kerberus, makhluk penjaga segel sakura card. Tapi yang tahu tentang
makhluk itu, hanya segelintir orang saja. Dan tak mungkin pula karena
keinginanku untuk menginap di rumah ini, semua orang tahu siapa kerberus juga
Sakura.
“Tak apa Pak Kinomoto dan
Sakura. Aku bisa menginap di tempat lain.”
“S-Shaoran… “ Kulihat,
Sakura menundukkan wajahnya. Aku tahu dia merasa tak enak padaku. Juga …aku
yakin banyak yang ia ingin dia bicarakan padaku.
***
Di depan pintu rumah Sakura,
kami saling terdiam. Salju mulai turun. Kurapatkan jaket sambil kubenahi syal
hijau pemberian Sakura yang melilit di leher.
“Sh-Shaoran, aku… minta maaf
atas perkataan kakak,”
“Tak apa, Sakura. Kau tak perlu
khawatir padaku.”
“Tapi … k-kau mau menginap
di mana?”
Aku mengedikkan bahu. Aku
memang belum memutuskan untuk menumpang di tempat siapa selama liburan ini di
Tomoeda.
“Jangan-jangan kau mau
pulang ke Cina?” tanya Sakura. Aku melihat matanya yang sayu seolah memohon
padaku untuk tetap di Tomoeda.
Aku mengelus rambutnya
sambil tersenyum. “Kau masih belum berubah ya? Mana mungkin aku kembali secepat
itu. Sudah ya. Aku janji akan menghubungimu lagi … bye.”
“Shaoran… aku… aku… “
Sakura menggantung
kalimatnya. Aku penasaran apa yang ingin diucapkannya.
“Tidak. Tidak ada apa-apa!”
Sakura menggeleng kepalanya kencang.
Kupikir, kau ingin mengatakan bahwa kau amat merindakanku, Sakura…
“Sampai ketemu lagi. Hati-hati,”
ujarnya kemudian sambil melambaikan tangan dan tersenyum.
“Ya. Selamat malam.”
Aku meninggalkan
dirinya yang kurasa masih mematung di
depan pintu gerbang rumah. Dia pasti menunggu sampai aku hanya terlihat sebagai
titik di matanya.
Aku rindu kau, Sakura.
Bersambung!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)