19 Februari 2016

[Fanfic CCS] : Pesan dari Daidoji


Pemilik cerita CCS original tetap CLAMP, dan semoga cerita ini tidak merusak image tokoh-tokoh yang dibuat oleh CLAMP. Mohon dimaklumi apabila ada yang tidak sesuai dari cerita atau pun penokohan. Dibuat dalam rangka menyalurkan hobi, rasa gemas (haha) dan tempat kami mengasah kemampuan menulis.




Pesan dari Daidoji

Malam ini sepasang mataku enggan terpejam. Debaran jantungku seolah ingin loncat. Apa sih yang terjadi dengan diriku? Seperti ada yang tengah mengawasiku. Ada seseorang ingin mengambil sesuatu yang berharga dari hidupku. Tapi siapa? Sial! Aku tak mampu menebak. Yang jelas, perasaan ini mirip seperti yang aku rasakan saat aku dan dia terjebak dalam lift. Pada waktu itu, Hiiragizawa menggunakan sihir yang menyebabkan dirinya terjatuh ke sebuah jurang yang gelap dan dalam. Aku tak sempat menggunakan sihirku. Tangannya pun tak mampu kuraih…

“Sakuraaaaaaaaaa!!!”

Saat itu hatiku remuk. Aku merasa tak berguna, juga ada kehilangan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Namun…

“Aku menggunakan kartu float,”

Dia datang dari bawah jurang dengan seulas senyum. Rasa khawatir dan ketakutanku mendadak sirna.

“Syukurlah…”

 Tiiit!

Pesan masuk ke surel? Siapa yang malam begini kirim e-mail? Awas saja jika itu dari Meilin yang hanya ingin tahu apakah aku sudah tidur apa belum. Sepupuku itu memang masih kekanakan. Namun pada beberapa hal, termasuk di dalamnya urusan hati. Meilin memang dewasa. Merelakan perasaannya padaku untuk …

Hhh .. rasa ini tak berubah. Pipiku tetap memanas dan merah tiap kali terbayang senyumnya. Lalu bagaimana dengan dia? Apakah perasaanya masih sama seperti empat tahun lalu?

“Tidak masalah kalau Shaoran tidak bisa benar-benar mengingat siapa aku ... Aku menyukaimu. Shaoran-lah orang yang paling berarti bagiku!”  

“Ya, aku juga, Sakura...”

“Sakura…” Aku berbisik pelan di depan layar laptop.

  Eh, bukan Meilin. Daidoji?

Hai, Lee-kun. Apa kau tidak rindu Jepang? Tomoeda? Dan… tentu saja Sakura. Empat tahun Sakura menunggu kehadiranmu. Temuilah dia, Lee-kun. Liburan akan segera datang. Di sini, ada laki-laki yang siap merebut Sakura dari tanganmu jika kau lengah.

Ada angin dingin yang menusuk sampai ke tulangku. Laki-laki? Saingan?

Dari : Lee Shaoran
Kepada : Tomoyo Daidoji
Subjek : ….
Siapa? Aku mengenalnya? Lalu dia bagaimana? Aku ingin sekali ke Tomoeda. Tapi …

Aku menekah tombol kirim. Kuhela napas panjang. Aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Daidjoji. Selama ini aku diancam oleh Kak Toya agar tak menemui Sakura. Tapi jika sudah begini? 

           Sakura…

          Tiit! Balasan lagi dari Daidoji

Jika kau memang mencintai Sakura, tak peduli apapun rintangannya. Kau harus kembali. 

Kupandangi teddy bear buatan Sakura yang kunamai dengan namanya. Juga syal hijau darinya sebagai hadiah di malam natal. Ada yang sesak sekali rasanya. Aku beranjak dari meja belajar menuju tepi jendela kamar yang sengaja kubuka. Kubiarkan angin malam menampar wajahku. Tentu saja aku mencintainya… melebihi siapapun. Perasaan ini, tak pernah berkurang sedikitpun.
 
***
“Ini aku, Daidoji,” 

“Ah, Lee-kun! Di mana kau?”

“Dalam perjalanan dari bandara menuju Tomoeda. Boleh aku menginap di rumahmu?”

“Oh…sayang sekali, Lee-kun. Selama liburan ini aku menemani ibu ke Inggris. Juga ada seseorang yang … ah, sudah-sudah. Tak perlu dibahas rencanaku. Bagaimana jika kau menginap di rumah Sakura-chan?”

“Sakura?”

“Ya. Dia pasti senang. Kau adalah hadiah natal terbaik untuknya. Ah, sudah ya. Ibu memanggilku.”

Klik. Telepon terputus. 

***

Aku berdiri mematung di depan rumahnya cukup lama. Aku memperhatikan sekeliling. Cat rumah dan halamannya tak ada yang berubah. Hm, apa dia juga masih sama? Atau jangan-jangan … hanya aku yang sesak menahan rindu? Bodoh. Kenapa pertanyaan seperti itu muncul saat langkah kakiku sudah sampai di sini.

Telunjukku tanpa sadar menekan bel.

Ting tong!

Berbunyi sudah… aku tak mungkin melarikan diri.

“Ya, seben...” Itu suara Sakura. Ya ... aku mendengar lagi suaranya secara langsung. Sepersekian detik, waktu bagai berhenti berputar. Dia …terlihat lebih dewasa dan semakin cantik.

“Hei…”

Bodoh bodoh! Kenapa hanya sapaan begitu yang keluar dari mulutku. Padahal banyak kata yang berdesakan di kepalaku. Sial! Ini karena jantungku berdegup kencang sekali.

“Sha- Shaoran...?”

Dari nada suaranya, jelas sekali bahwa ia terkejut dengan kedatanganku yang tak kukabari sebelumnya. Aku membetulkan posisi ranselku yang cukup berat. “Boleh aku masuk?”

“Ho- hoeee ... ma-maaf, ayo masuk.”

Sakura… aku merindukanmu.

Tangan Sakura terlihat pucat akibat serangkum hawa dingin yang menjadi sahabat baik kota Tomoeda. Kukeluarkan sarung tangan yang tadinya, ingin kukirimkan lewat jasa pengiriman barang sebagai hadiah natal untuk gadis yang sekarang berada persis di sampingku.

“Maaf tiba-tiba dan membuatmu kaget.” Aku memasangkan sarung tangan di sepasang tangannya. Dia masih bergeming. Bukan hanya dia yang merasa seperti mimpi. Tapi aku juga.

Lalu bagaimana dengan Kak Toya? Hah! Laki-laki itu! Sampai sekarang aku masih tak habis pikir. Kenapa Kak Toya tak suka padaku dan belum merestui hubungan kami. Dia pasti tidak akan suka dengan kehadiranku sekarang.

Jika kau memang mencintai Sakura, tak peduli apapun rintangannya. Kau harus kembali.

Tiba-tiba isi pesan Daidoji terngiang jelas dalam kelebatan ingatanku. Baiklah … aku tidak akan mundur. Demi perasaan ini. Demi kami… demi hubungan kita, Sakura. Aku takkan menyerah pada apapun.

“Selamat malam. Apa kabar Pak Kinomoto dan Kak Toya? Maaf mengganggu makan malam kalian.”

***

“Terimakasih, Pak Kinomoto. Nasi karenya enak sekali,” Aku memecah hening di ruang makan. Sedikit kikuk rasanya karena tiba-tiba saja hadir di antara mereka. Pun selama makan tadi, ada sepasang mata yang begitu lekat memandangku dengan tatapan sinisnya. Seolah berujar, Dasar pengganggu! Sudah kubilang jangan pernah menemui adikku!

 “Menu favorit Sakura, Lee. Bagaimana kabarmu? Sekolahmu juga sedang libur ya? Kenapa lama sekali tak ke rumah?”

Pertanyaan Ayah Sakura yang bertubi-tubi membuat suasana menjadi cair. Aku melirik sekilas ke arah laki-laki dengan tatapan tak sukanya padaku. Dari ujung ekor mata, kulihat Sakura pun enggan mengeluarkan suara. Dia seolah ingin mendengar jawabanku. Haruskah kukatakan yang sebenarnya saat ini? Bahwa…

Kriiiiing!

“Oy, Monster! Angkat tuh teleponnya!”

Sakura menatap jengkel kakaknya. Dia mendengus kesal lalu berjalan ke arah telepon.

“Toya … jangan ganggu adikmu terus,” lerai Ayah dari kakak-beradik itu. “Ah, Lee. Dimakan pudding cokelatnya. Jadi bagaimana? Kenapa kau baru kelihatan sekarang?” Ayah mereka mengalihkan pembicaraan dengan topik utamanya adalah aku.

“Aku … di sana cukup sibuk membantu perusahaan ibu,”

Sayup-sayup kudengar, Sakura menyebut nama Daidoji.

“Oh. Ibumu sehat juga ‘kan?”

 “Ya, Pak.”

“Syukurlah.”

Tak lama, Sakura kembali ke tempat duduknya. Kami duduk bersisian.  

“Siapa, Sakura?” tanya ayahnya.

“Tomoyo, Yah. Dia pamit ke Inggris dan minta maaf tidak dapat menemaniku liburan natal kali ini. O ya, Ayah dan Kak Toya dapat salam dari Tomoyo dan ibunya.”

“Kalau Tomoyo pergi, lalu di mana kau akan menginap, Lee? Empat tahun lalu saat festival kota Tomoeda, kau dan sepupumu Meilin menginap di rumah Tomoyo ‘kan?”

Sejurus kemudian, semua mata tertuju ke arahku.

“Emm … jika diizinkan, aku ingin menginap di sini.”

“Ho-hoeee??!” teriak Sakura. Tentu saja dia kaget.

“Tidak boleh!” sentak Kak Toya.

“Kenapa, Toya? Bukankah masih ada kamar kosong?” tanya ayah sambil mengerutkan keningnya.

“Bukan masalah itu, Yah. Tidak enak juga pada tetangga ‘kan? Rumah kita tak sebesar rumahnya Tomoyo. Jadi kurasa, jika bocah ini ingin liburan di Tomoeda, lebih baik dia menginap di penginapan atau rumah temannya yang lain.”

“Tapi… teman-teman kami saat SD, kurasa sebagian besar sedang berlibur.”sanggah Sakura.

Yang dikatakan Kak Toya ada benarnya juga. Walau di rumah ini, aku dan Sakura takkan bisa berdua seperti yang dikhawatirkan Kak Toya, sebab adan kerberus, makhluk penjaga segel sakura card. Tapi yang tahu tentang makhluk itu, hanya segelintir orang saja. Dan tak mungkin pula karena keinginanku untuk menginap di rumah ini, semua orang tahu siapa kerberus juga Sakura.

“Tak apa Pak Kinomoto dan Sakura. Aku bisa menginap di tempat lain.”

“S-Shaoran… “ Kulihat, Sakura menundukkan wajahnya. Aku tahu dia merasa tak enak padaku. Juga …aku yakin banyak yang ia ingin dia bicarakan padaku.

***

Di depan pintu rumah Sakura, kami saling terdiam. Salju mulai turun. Kurapatkan jaket sambil kubenahi syal hijau pemberian Sakura yang melilit di leher. 

“Sh-Shaoran, aku… minta maaf atas perkataan kakak,”

            “Tak apa, Sakura. Kau tak perlu khawatir padaku.”

“Tapi … k-kau mau menginap di mana?”

Aku mengedikkan bahu. Aku memang belum memutuskan untuk menumpang di tempat siapa selama liburan ini di Tomoeda. 

“Jangan-jangan kau mau pulang ke Cina?” tanya Sakura. Aku melihat matanya yang sayu seolah memohon padaku untuk tetap di Tomoeda. 

Aku mengelus rambutnya sambil tersenyum. “Kau masih belum berubah ya? Mana mungkin aku kembali secepat itu. Sudah ya. Aku janji akan menghubungimu lagi … bye.”

“Shaoran… aku… aku… “

Sakura menggantung kalimatnya. Aku penasaran apa yang ingin diucapkannya. 

“Tidak. Tidak ada apa-apa!” Sakura menggeleng kepalanya kencang. 

Kupikir, kau ingin mengatakan bahwa kau amat merindakanku, Sakura…

“Sampai ketemu lagi. Hati-hati,” ujarnya kemudian sambil melambaikan tangan dan tersenyum.

“Ya. Selamat malam.”

Aku meninggalkan dirinya  yang kurasa masih mematung di depan pintu gerbang rumah. Dia pasti menunggu sampai aku hanya terlihat sebagai titik di matanya.

Aku rindu kau, Sakura.

Bersambung!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan komentar dengan bahasa santun :)