21 Februari 2016

Es Krim dan Langkan




gambar dari IG kartun muslimah
Penat menghimpit kelapangan yang coba aku gelar di jiwa. Aku catat baik-baik pada sel-sel yang ada di otak, bahwa Tuhan selalu ada, pun tak pernah membebani seorang hamba di luar kemampuannya.
Masih tentang penelitian untuk tugas akhirku, skripsi yang menguras bukan hanya energi. Tapi juga hati. Bagaimana tidak? Aku dibimbing oleh dua orang dosen yang tak jarang berbeda pendapat. Aku seperti berdiri di antara kutub utara dan selatan. Mereka berseberangan. Sedang aku layaknya jembatan yang hampir rusak. Otakku mau meledak saja rasanya. Pikiranku berkelindan tak karuan. Jika tak segera kuurai, bisa menjadi kusut yang makin carut marut.
Petang ini aku duduk di langkan salah satu gedung yang ada di kampus. Sembari menunggu lanskap senja, aku menerawang jauh ke kampung halaman. Muncul dua raut wajah yang kurindu. Kupanggil mereka ayah dan ibu. Napas panjang kuhela, dan inginnya ada katarsis yang juga kuhempas ke udara. Ada juga yang kutahan kuat-kuat agar tak lindap. Tegar yang kuikat, agar ia tak diam-diam bersijingkat meninggalkan ruang sabar yang kuncinya menghilang, entah terselip di mana.
Tiba-tiba angin berembus kencang. Mega mendung berarak. Parade kegelapan akan segera pentas. Semburat jingga kemerah-merahan yang tadi bersiap urung muncul. Aku mencari payung yang biasanya berdiam diri di dalam tas. Sengaja tak kupindah untuk menghadapi situasi seperti sekarang. Tapi nihil. Menambah sesak saja. Asa yang sedari tadi kukumpulkan mendadak lesap.
Titik-titik air dari langit-Nya beritmis menyayat hati. Air mata yang coba kubekukan, meleleh jua. Aku butuh bahu untuk bersandar.
“Ini … ” Tiba-tiba sebuah es krim disodorkan ke hadapanku. Aku tengah tergugu. Aku kenal suara itu …
“Maaf aku tak bisa meminjamkan bahu atau sapu tanganku. Ini tak seperti kisah cinta picisan yang sering kubuat, lalu kukirim ke koran atau penerbit untuk menyambung hidup. Aku tadi ingin menghabiskan es krim ini sendirian di sini. Tak kusangka ada dirimu … ambillah, kata orang es krim mampu membebat luka,” lajutnya.
Lelaki yang bernama Ito memberi es krim? Bukankah kami kerap bertengkar dalam temu ilmiah? Lagi pula, makan es krim saat hujan turun? Dia … sejak kapan di langkan ini?
“Terima kasih … ” ucapku lirih. Kemudian ada riuh yang bergemuruh di hatiku. Getaran halus menjalari ia yang tengah terluka. Ito benar, es yang terselimut susu dengan aneka rasa dapat menjadi obat. Namun … mengapa pipiku terasa panas? Hei, aku tak demam! Tidak! Belum saatnya memutuskan hati ‘tuk berlabuh walau lelah membelit jiwa. Ada yang harus dijaga rapat, begitu yang diperintah oleh-Nya.

2 komentar:

Silakan komentar dengan bahasa santun :)