gambar dari IG kartun muslimah |
Penat menghimpit kelapangan yang coba aku gelar di jiwa. Aku
catat baik-baik pada sel-sel yang ada di otak, bahwa Tuhan selalu ada, pun tak
pernah membebani seorang hamba di luar kemampuannya.
Masih tentang penelitian untuk tugas akhirku, skripsi yang
menguras bukan hanya energi. Tapi juga hati. Bagaimana tidak? Aku dibimbing
oleh dua orang dosen yang tak jarang berbeda pendapat. Aku seperti berdiri di
antara kutub utara dan selatan. Mereka berseberangan. Sedang aku layaknya
jembatan yang hampir rusak. Otakku mau meledak saja rasanya. Pikiranku
berkelindan tak karuan. Jika tak segera kuurai, bisa menjadi kusut yang makin
carut marut.
Petang ini aku duduk di langkan salah satu gedung yang ada di
kampus. Sembari menunggu lanskap senja, aku menerawang jauh ke kampung halaman.
Muncul dua raut wajah yang kurindu. Kupanggil mereka ayah dan ibu. Napas
panjang kuhela, dan inginnya ada katarsis yang juga kuhempas ke udara. Ada juga
yang kutahan kuat-kuat agar tak lindap. Tegar yang kuikat, agar ia tak
diam-diam bersijingkat meninggalkan ruang sabar yang kuncinya menghilang, entah
terselip di mana.
Tiba-tiba angin berembus kencang. Mega mendung berarak.
Parade kegelapan akan segera pentas. Semburat jingga kemerah-merahan yang tadi
bersiap urung muncul. Aku mencari payung yang biasanya berdiam diri di dalam
tas. Sengaja tak kupindah untuk menghadapi situasi seperti sekarang. Tapi
nihil. Menambah sesak saja. Asa yang sedari tadi kukumpulkan mendadak lesap.
Titik-titik air dari langit-Nya beritmis menyayat hati. Air
mata yang coba kubekukan, meleleh jua. Aku butuh bahu untuk bersandar.
“Ini … ” Tiba-tiba sebuah es krim disodorkan ke hadapanku.
Aku tengah tergugu. Aku kenal suara itu …
“Maaf aku tak bisa meminjamkan bahu atau sapu tanganku. Ini
tak seperti kisah cinta picisan yang sering kubuat, lalu kukirim ke koran atau
penerbit untuk menyambung hidup. Aku tadi ingin menghabiskan es krim ini
sendirian di sini. Tak kusangka ada dirimu … ambillah, kata orang es krim mampu
membebat luka,” lajutnya.
Lelaki yang bernama Ito memberi es krim? Bukankah kami kerap
bertengkar dalam temu ilmiah? Lagi pula, makan es krim saat hujan turun? Dia …
sejak kapan di langkan ini?
“Terima kasih … ” ucapku lirih. Kemudian ada riuh yang
bergemuruh di hatiku. Getaran halus menjalari ia yang tengah terluka. Ito
benar, es yang terselimut susu dengan aneka rasa dapat menjadi obat. Namun …
mengapa pipiku terasa panas? Hei, aku tak demam! Tidak! Belum saatnya
memutuskan hati ‘tuk berlabuh walau lelah membelit jiwa. Ada yang harus dijaga
rapat, begitu yang diperintah oleh-Nya.
aaaaakkk... Emud. Lop lop u
BalasHapusCie Cici baper, hahaha
Hapus