“Aku kembali, Ken …” bisik Ran pelan di tepi jendela pesawat
saat mendarat. Ran pulang ke negara asalnya. Setelah sepuluh tahun yang lalu ia
putuskan untuk menaruh suratnya di kotak surat cinta yang pernah Ken-sahabatnya
sejak kecil- ceritakan.
***
Petrichor
menyeruak. Masuk ke saluran pernapasan milik Ran. Air berdenting, berjatuhan
seolah berima di atas genting rumahnya. Ran berdiri mematung bersisian dengan
jendela kamar yang sengaja ia buka. Ia biarkan tempias membasahi wajahnya.
Hatinya ikut kuyu. Tersapu air bernama rindu.
“Bukankah sekarang musim gugur?” tanyanya dalam hening. Ia
masih bergeming. Tatapannya lekat pada rumah seberang. Rumah Ken yang tak
berpenghuni.
Ran menapaki tiap inci jalan yang isinya kenangan. Ada tawa
renyah. Senyum berhias rona merah yang mati-matian ia sembunyikan. Ia pun
memindai dengan teliti tiap benda yang ia lewati.
Tangan kanan Ran menggenggam erat sebuah novel. Begitulah,
kisah masa lalu telah ia rangkum. Pada tiap huruf yang dirangkai, ada melodi
cinta yang mengalun lembut.
Ran naik ke bukit belakang sekolahnya dulu. Tak ada yang
berubah. Semua masih sama, hanya …
Napas Ran tercekat. Ia melihat punggung yang ia kenal. Yang
sepuluh tahun tak mengucap salam perpisahan.
“B … ba … bagaimana mungkin?” gumam Ran.
Punggung itu menoleh. Pandangan mereka saling berbicara.
Mereka bersitatap dalam diam. Namun riuh menggemuruh pada masing-masing rongga
dada mereka. Sesak. Rindu itu menguar begitu saja. Partikel air di
masing-masing pelupuk mata mereka membentuk bening.
“Ran? Apa kabar?” sapa pemilik punggung itu : Ken. Sedetik
kemudian, wajah Ken berubah pias.
“Baik. Kau?”
“Sama sepertimu. Untuk apa kau kemari?”
“Ah, aku … ingin menjenguk kotak surat cinta yang dulu … kau
ceritakan. Sebelum kau pergi.” Jawaban Ran barusan menyentak kesadaran Ken.
Ken berbohong dengan mengatakan bahwa jika menulis di samping
kotak surat cinta itu, maka dengan tak sadar, kita akan menulis pengakuan cinta
untuk seseorang yang disuka. “Apa kau percaya?”
“Sudah kubuktikan,” senyum Ran mengembang.
“Benarkah?” sepasang mata Ken berbinar. “Tapi sayang … kotak
surat itu sepertinya sudah dipindahkan oleh seseorang. Lihat! Sudah tak ada,”
Ken menunjuk ke tempat kotak surat itu.
“Eh? Kemana?” Ran berlari menghampiri Ken. Mereka berdiri
berdampingan. Banyak kata-kata yang ingin meluncur dari masing-masing bibir
mereka. Ada kuncup yang hampir rekah dengan indah.
Namun saat hening menjadi sahabat setia di antara mereka.
Tiba-tiba …
“Ken? Siapa dia?” suara seorang wanita menyadarkan mereka
dari lamunan.
“Sudah selesai mengambil gambarnya, Zi? Perkenalkan. Ini Ran.
Sahabat baikku sejak kecil. Ran, ini Zira … tunanganku …”
Bibir Ran menjadi sangat kelu. Ia kehabisan kata-kata.
Hatinya mendadak kebas. Mati rasa. Namun tangan kanannya masih mampu ia ulurkan.
“Oh! Rupanya kau Ran ya? Ken sering sekali berkisah tentang
kalian. Uh, aku kadang cemburu. Tapi rasanya itu hanya kebodohanku saja. Senang
bertemu denganmu, Nona!” Zira menyambut uluran tangan Ran yang sedingin es itu
dengan hangat.
“Apa yang kau bawa, Ran?” Zira mengernyitkan dahi saat
melihat buku yang ditenteng Ran. Buku bersampul hijau tosca jika dilihat dari
belakang. Warna kesukaan Ken dan Ran.
“Aa … ini, bukan apa-apa. Buku catatan biasa,” elak Ran.
“Kalau begitu, aku pamit pulang. Pesawatku sore ini. Selamat berbahagia, Ken,
Zi. Kudoakan yang terbaik untuk kalian. Selamat tinggal.”
Hati Ran remuk redam. Tadinya, ia ingin menghabiskan waktu
dengan membaca surat-surat yang berinisial ‘K’. Lalu ia menulis surat cinta
lagi untuk Ken, dan ia tinggalkan novel pertamanya. Kisah mereka. Namun Tuhan
mempunyai rencana lain.
Angin musim gugur menabrak wajah Ran yang sembap. Air mata
tak mampu ditahan. Ia ingat permintaan ayahnya beberapa pekan lalu.
Perjodohannya dengan lelaki yang ayahnya kenal baik. Ran mengembuskan napasnya
yang berat.
“Selamat tinggaaaaaaal!” teriak Ran bak katarsis.
Langkah kaki Ran gontai. Wajahnya amat masai. Ia merutuki
nasib perasaannya yang lama ia pendam. Menunggu cinta yang tak pasti itu tak
melulu berakhir manis.
***
Sebelum pulang, Ran memutuskan mampir ke sekolahnya. Ia
menyandar pada sebuah pohon di halaman belakang sekolah. Ran kembali melintasi
petala ingatannya. Suatu siang pada jam istirahat sekolah, Ran dan Ken tengah
duduk sambil menikmati bekal makan siang.
“Ken, kau tahu makna penerimaan?”
“Hmm. Tak tahu,”
“Daun yang gugur itu, apa pernah ia protes atas
ketetapan-Nya? Aku rasa, itu salah satu analogi untuk sebuah penerimaan.”
Ran tersadar dari lamunannya. Ia seperti mendapat pemahaman
baru untuk hidup. Ya. Bahwa untuk jatuh ke dalam cinta, ia harus siap jika
suatu waktu jatuh dari rasa itu. Sakit memang. Namun itulah risiko bagi mereka
yang memutuskan menunggu untuk seorang manusia.
Ran tengadahkan wajahnya. Ia menatap langit dan awan yang
seolah berjalan. Hidup terus berputar. Walau terseok dan terbata, Ran tahu, ia
harus kembali melangkah. Menata masa depan.
-sunflower-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)