21 Februari 2016

Gadis Kabut Asap



Aku muak! Kota macam apa ini? Saat kemarau, air yang katanya PDAM terasa asin. Air laut mulai masuk, jelas orang tuaku sore tadi. Keruh pula. Seandainya saja perusahaan papi di Jakarta tak gulung tikar, mungkin kami takkan pindah ke kota yang tepat dilalui garis khatulistiwa. Aku memang dilahirkan di kota ini. Kemudian menetap sampai usiaku lima tahun. Namun terlalu lama di ibu kota membuatku merasa asing dan tak nyaman untuk kembali hidup di tanah kelahiran. Pun tiap kali aku teringat Pontianak, ada bagian tubuhku yang sakit : hati. Entah mengapa …
Siapa itu? Aku mengucek sepasang mataku yang tak gatal. Ada gadis di tepian Kapuas malam-malam begini?
“Eh, Nona! Sedang apa di sana?” tanyaku setengah berteriak. Dia menoleh lalu pergi. Ada yang ia larungkan ke sungai. Kotak musikkah itu? Sial. Kabut asap mulai turun. Membuat penglihatanku kabur. Dan yang paling penting, aku merasa tak asing dengan gadis tadi.
***


“Lung, ini kotak musik milikmu? Ada yang menaruh ini di teras rumah.” Mama menghampiriku di teras rumah saat senja terhampar. Harusnya lanskap teja jingga mampu kucerap dengan baik. Jika saja kabut asap sialan ini tak mengganggu. Lagi-lagi aku menyesali keputusan mama-papi untuk tinggal di Pontianak.
“Oh ya, kau masih ingat dengan Ling? Teman perempuan masa kecilmu. Kotak musik ini mirip miliknya,” lanjut mama yang membuat loncatan listrik pada sel-sel neuron di otakku, dan akhirnya dapat kujala ingatan yang sudah terkubur lama.
Aku gegas pergi ke tepian Kapuas. Meski sayup kudengar mama berteriak memanggil namaku, lalu mengatakan sesuatu. Namun kakiku menjangkah jauh dengan cepat. Pergi ke tempat kemarin aku melihat seorang gadis. Tak salah lagi. Itu pasti dia!
Ada kotak musik yang sama! Kuambil dan kubuka. Ada pesan di dalamnya.
‘Lung, apa kau sudah melupakan aku? Baik-baikkah kau di ibu kota sana? Di sini aku sesak, Lung. Oksigen seperti menghilang, tergantikan asap. Ricik air dari langit masih enggan turun. Kemarau ini aku masih sendiri. Kapan kau kembali?’
Kutinggalkan kotak musik tadi. Lalu aku berlari pulang sambi tersenyum senang. Ling! Cinta pertamaku, aku datang! Masih dengan napas tersengal, aku memeluk mama dari belakang yang tengah memasak di dapur. Ada setumpuk asa yang dalam sepersekian detik kubangun untuk melanjutkan hidup di kota Pontianak.
“Lung, kau dari mana? Tadi mama memanggilmu sebelum kau pergi. Eh, kau bahagia sekali nampaknya?” tanyanya sambil melepas pelukanku.
“Mama tadi mengatakan apa?”
“Apa kau sudah mampir ke kuburan Ling untuk mengucapkan salam?”
Seketika badanku lemas. Kepalaku sakit. Ada kenangan yang melesak keluar dengan paksa sambil membawa rasa pahit. Alasan dulu aku meninggalkan kota ini … bukan hanya karena bisnis mama-papi. Tapi juga karena Ling pergi untuk selamanya sebab infeksi saluran napas atas yang ia derita akibat kabut asap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan komentar dengan bahasa santun :)