Aku muak! Kota macam apa ini? Saat kemarau, air yang katanya
PDAM terasa asin. Air laut mulai masuk, jelas orang tuaku sore tadi. Keruh
pula. Seandainya saja perusahaan papi di Jakarta tak gulung tikar, mungkin kami
takkan pindah ke kota yang tepat dilalui garis khatulistiwa. Aku memang
dilahirkan di kota ini. Kemudian menetap sampai usiaku lima tahun. Namun
terlalu lama di ibu kota membuatku merasa asing dan tak nyaman untuk kembali
hidup di tanah kelahiran. Pun tiap kali aku teringat Pontianak, ada bagian
tubuhku yang sakit : hati. Entah mengapa …
Siapa itu? Aku mengucek sepasang mataku yang tak gatal. Ada
gadis di tepian Kapuas malam-malam begini?
“Eh, Nona! Sedang apa di sana?” tanyaku setengah berteriak.
Dia menoleh lalu pergi. Ada yang ia larungkan ke sungai. Kotak musikkah itu?
Sial. Kabut asap mulai turun. Membuat penglihatanku kabur. Dan yang paling
penting, aku merasa tak asing dengan gadis tadi.
***
“Lung, ini kotak musik milikmu? Ada yang menaruh ini di teras
rumah.” Mama menghampiriku di teras rumah saat senja terhampar. Harusnya
lanskap teja jingga mampu kucerap dengan baik. Jika saja kabut asap sialan ini
tak mengganggu. Lagi-lagi aku menyesali keputusan mama-papi untuk tinggal di
Pontianak.
“Oh ya, kau masih ingat dengan Ling? Teman perempuan masa
kecilmu. Kotak musik ini mirip miliknya,” lanjut mama yang membuat loncatan
listrik pada sel-sel neuron di otakku, dan akhirnya dapat kujala ingatan yang
sudah terkubur lama.
Aku gegas pergi ke tepian Kapuas. Meski sayup kudengar mama
berteriak memanggil namaku, lalu mengatakan sesuatu. Namun kakiku menjangkah
jauh dengan cepat. Pergi ke tempat kemarin aku melihat seorang gadis. Tak salah
lagi. Itu pasti dia!
Ada kotak musik yang sama! Kuambil dan kubuka. Ada pesan di
dalamnya.
‘Lung,
apa kau sudah melupakan aku? Baik-baikkah kau di ibu kota sana? Di sini aku
sesak, Lung. Oksigen seperti menghilang, tergantikan asap. Ricik air dari
langit masih enggan turun. Kemarau ini aku masih sendiri. Kapan kau kembali?’
Kutinggalkan kotak musik tadi. Lalu aku berlari pulang sambi
tersenyum senang. Ling! Cinta pertamaku, aku datang! Masih dengan napas
tersengal, aku memeluk mama dari belakang yang tengah memasak di dapur. Ada
setumpuk asa yang dalam sepersekian detik kubangun untuk melanjutkan hidup di
kota Pontianak.
“Lung, kau dari mana? Tadi mama memanggilmu sebelum kau
pergi. Eh, kau bahagia sekali nampaknya?” tanyanya sambil melepas pelukanku.
“Mama tadi mengatakan apa?”
“Apa kau sudah mampir ke kuburan Ling untuk mengucapkan
salam?”
Seketika badanku lemas. Kepalaku sakit. Ada kenangan yang
melesak keluar dengan paksa sambil membawa rasa pahit. Alasan dulu aku
meninggalkan kota ini … bukan hanya karena bisnis mama-papi. Tapi juga karena
Ling pergi untuk selamanya sebab infeksi saluran napas atas yang ia derita
akibat kabut asap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)