“Jadi bagaimana?” Malam itu kuhela napas kuat-kuat. Rahasia
yang tersimpan dua puluh tujuh tahun lamanya terkuak juga. Sudah kuduga sejak
aku masih remaja. Hanya bibirku selalu kelu untuk bertanya.
“Baik, izinkan aku istikharah lagi dan kukatakan pada orang
tuaku,” jawab seorang lelaki dari ujung telepon. Seminggu yang lalu, ia ajukan
keinginan baiknya lewat guru ngajiku, dalam rangka menjalankan perintah-Nya.
Menikah. Tanpa pacaran ala anak zaman sekarang.
Mataku sembab. Tadi sore, saat langit tengah tergores padanan
warna oranye, putih, kuning serta hitam. Dengan terbata, mama-papa mengatakan
bahwa aku bukan anak kandung mereka. Mereka menemukanku di tepian sungai dekat
rumah. Hanya ada kertas bertuliskan sebuah nama di sisiku. Hatiku tak nyeri, namun
lega. Aku sudah lama menebak itu semua. Tersebab perbedaan golongan darah juga
kemiripan wajah …
Lalu kenyataan ini, telah kusampaikan padanya. Laki-laki yang
ingin meminangku. Aku takut jika ia dan keluarganya tak setuju … kuambil napas,
dan kuembuskan kencang. Duh, tak patut aku punya rasa cemas. Rindu ini masih
belum halal untukku.
***
Enam bulan berlalu sejak kejadian itu. Statusku sekarang
adalah seorang istri dan calon ibu untuk janin yang ada di rahimku. Lelaki yang
kala itu hampir tak jadi mengajakku ke pelaminan, kini kusebut ia suamiku.
Tuhan menakdirkan yang terbaik untuk doa yang kupanjat.
Hidup terus berjalan. Waktu berputar bak roda. Semua terasa
cepat. Masalah silih berganti berkelit kelindan. Sudah terurai yang satu, kusut
lagi yang lainnya. Namun bukankah begitu fitrahnya hidup?
Suami memintaku ikut dengannya merantau ke negeri seberang.
Tuntutan pekerjaan mengharuskan ia pindah. Hatiku hancur jika teringat akan
pergi meninggalkan dua raut wajah yang membuatku hangat serta nyaman. Ah,
seandainya saja aku memiliki saudara kembar …
Aku akan memintanya untuk tetap berada di samping sepasang
malaikat tanpa sayap yang kusebut mama dan papa. Menjaga mereka dengan baik
saat aku tak ada di sekeliling mereka. Sekalipun mereka … bukan orang tua
kandungku.
***
Epilog
Di belahan bumi lain
Di belahan bumi lain
“Dasar anak tak tahu diuntung! Sudah syukur kurawat! Layani
pelanggan dengan manis dan baik, Ela!” Hardik ibu paruh baya kepada seorang
gadis muda dengan paras rupawan akibat polesan kosmetik tak bermerek.
“Lebih baik, dulu kaubuang aku saja bersama kembaranku. Dari
pada saban malam kau suruh aku melakukan perbuatan nista seperti ini. Ibu
kandung macam apa kau?! Tega menjual anak kandungnya sendiri!” Ada katarsis
yang keluar setelah dua puluh tujuh tahun lama gadis itu pendam. Matanya
nyalang, tajam menatap ibu yang telah melahirkannya. Ada kebencian yang
meruap-ruap dan ingin ia muntahkan lebih banyak. Tapi apa daya? Sepasang
kakinya seperti terbelenggu, tak mampu ‘tuk melangkah jauh. Rongga dadanya
sesak dengan penyesalan dan pengandaian.
Baik-baik sajakah kau di sana, Eli? Adakah nasibmu lebih
nahas, atau beruntung? Maukah kau bertukar posisi denganku? Apa kau tahu, tiap
malam aku bermimpi membunuh ibu dan ayah, sekalipun mereka … adalah orang tua
kandung kita, rintih hati sang gadis tiap malam.
-sunflower-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)