19 Februari 2016

[stroy blog tour] : Sebuah Salam dan Bayang Masa Lalu

Ini adalah Challenge menulis OWOP (One Week One Paper), temanya STORY BLOG TOUR. Di mana member lain yang sudah diberi urutan absen melanjutkan sesuai imajinasinya di blog pribadinya. Aku, Kiki alias Rizki Khotimah alias Emud alias sunflower (plis abaikan, wahaha), mendapatkan giliran untuk membuat episode ketiga dalam serial story blog tour ini.

Episode 1: Devi Asri Antika - Lelaki yang Tertelan Waktu
Episode 2 : Lisma Nopiyanti - Sepenggal Harap

Bismillah. Ini episode ketiganya. Yuk, dinikmati ceritanya. Walau banyak kekurangannya … mariii~



Sebuah Salam dan Bayang Masa Lalu

Kardi menoleh ragu ke arah asalnya suara salam. “Wa'alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh…” jawab Kardi lirih. Kardi melihat sesosok laki-laki berdiri di ambang pintu surau. Alisnya bertaut. sosok tersebut dipindainya dalam cahaya lampu surau yang remang. Diteliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lelaki berjaket dengan perawakan sedang.

 Siapa? Kardi mengucek matanya yang sama sekali tak gatal.

“Anda siapa dan ada perlu apa?” tanya Kardi.

“S … saya … mencari seseorang di daerah sini, Pak. Tadi saya lihat dari jauh, pintu surau terbuka.”

Kardi semakin heran. Menjelang subuh begini mencari orang?

“Singgahlah sekejap, Nak. Sudah mau masuk waktu subuh. Maaf, Nak, agamanya islam?”

Yang ditanya tergeragap. “A … anu, iya, Pak. Saya islam.” Sejak kecil, laki-laki itu memang berstatus seorang muslim. Namun keluarganya, tak pernah mengenalkan dia dengan agamanya. Ilmu tentang wudhu dan sholatpun, ia dapatkan dari pelajaran agama islam saat duduk di bangku sekolah.

Kardi tersenyum. Lalu mengajak lelaki itu untuk mengambil wudhu. Ada buncah bahagia yang menyelimuti hati Kardi. Walau hanya seorang saja yang menjadi ma'mumnya. Kardi berkali-kali melafadzkan hamdalah dalam benaknya.

Kardi mengumandangkan adzan subuh seperti biasa. Suaranya yang serak dan kerap terhenti karena batuk tetap setia menggemakan panggilan Rabbnya. Membangunkan tiap jiwa yang terlelap. Memanggil warga dusun yang masih beringsut dibalik selimut mereka. Agar tiap mata terjaga. Lalu mengambil wudhu, membentuk barisan yang rapat, menghadap Tuhan dengan khusyuk. Begitu syahdu bagi hati yang di dalamnya ada sejumput rindu pada Sang Pencipta.

Subuh kali ini, Kardi tak lagi sendiri dalam rangka menjalankan titah-Nya. Tak hanya surau dan angin yang menjadi kawannya. Ada seseorang yang mengikuti gerakan sholat di belakang tubuhnya yang renta.

Usai sholat subuh dan berdoa, Kardi menyungging senyum ke arah lelaki yang subuh ini menjadi ma'mumnya. “Kalau boleh tahu, namanya siapa? Sepertinya bukan tinggal di dusun ini ya?”

“Saya Karman, Pak. Saya … dari kota. Baru sampai di dusun sebelum adzan subuh tadi berkumandang.”

“Lantas ke dusun ini sedang mencari siapanya Nak Karman? Keluarga? Barangkali saya bisa bantu carikan. Atau mungkin, saya kenal dengan yang Nak Karman cari.”

“Emmm, anu, Pak. Saya juga tak paham nama orang yang saya cari.”

Kardi kembali heran. Orang aneh, pikir Kardi.

“Dua hari lalu, ibu saya wafat. Sebelum beliau mengembuskan napasnya yang terakhir, beliau mengatakan bahwa orang yang saya cari, tinggal di dusun ini. Namun ibu tak sempat ucapkan nama orang yang saya cari itu.”

Kardi mendengarkan takdzim. Tak menyela sedikitpun. Hanya beberapa kali terbatuk ditambah sesak di dadanya yang tak kunjung membaik.

“Saya mencari bapak saya.”

Deg! Seketika Kardi menjadi beku. Ada hawa dingin yang menyeruak dan menusuk sampai ke tulang. Ngilu. Sekelebat bayang Marni, bertandang lagi ke petala ingatan Kardi. Seandainya saja saat itu Marni hamil, mungkin anak kami seusia dengan lelaki yang duduk di hadapanku saat ini. Ada banyak tanya dan mungkin yang menyelinap ke dalam hati Kardi. Apakah? Ah tidak! Tidak mungkin. Tapi…

Bersambung!

Nantikan kisah selanjutnya ya. Cek di blognya si Mister.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan komentar dengan bahasa santun :)