#1
Ulang tahun ke-6
Ulang tahun ke-6
Ada kenangan pada tiap bulir air dari langit yang jatuh. Kita
sama-sama teringat pesan bunda agar meneduh sejenak ketika Tuhan menyapa
makhluk-Nya dengan hujan. Namun dengan entengnya, langkah kaki kita berkejaran
riang. Kutangkap gurat ketakutan di wajahmu saat menatapku yang menggigil
kediginan. Tergopoh kau menggendong tubuhku yang suhunya meninggi dengan
tiba-tiba. Sesampainya di rumah, kau menangis sebagai tanda penyesalan
karena sengaja melupakan peringatan dari bunda. Seperti yang kita tahu, bunda
hanya tersenyum, membelai rambutmu, dan berbisik pelan, “Tidak apa-apa, sudah …
tidak perlu menangis.”
“Selamat ulang tahun, Cici!” Tiba-tiba ayah hadir dengan
balon warna-warni di tangannya.
Kemudian
empat cangkir cokelat panas buatan bunda makin melelehkan rasa cemas yang
sedari tadi bergelayut. Aku bahagia berada di antara kalian, bisikku pada
Tuhan. Hujan pun berhenti tanpa pesan sebelumnya.
#2
Ulang tahun ke-11
Ulang tahun ke-11
‘Adikku, Princess Cici. Hadiah buku harian ini untukmu.
Kuharap kausuka. Dari kakakmu yang super ganteng.’
Bibirku yang tadinya menyungging senyum, menjadi kerucut
setelah membaca pesan pada kado ulang tahun darimu. Ah, aku tak pernah ingin
kehilanganmu. Tahukah? Entah kenapa, selalu kelu ‘tuk aku katakan. Namun tanpa
kata-kata, kau sangat pahami aku. Isyarat tubuhku, kau yang paling hafal.
Bagaimana saat aku merajuk manja, tak senang, sedih, atau saat marah. Sebab
itulah aku tak dapat berbohong di hadapanmu. Diam-diam aku menyelipkan doa yang
membuat pipiku merona di tepi jendela kamar saat hujan menyapa. Sampai ia pergi
tanpa pesan sebelumnya.
#3
Ulang tahun ke-17
Ulang tahun ke-17
Kau berbisik, “Pelan-pelan. Jangan sampai suara langkah
kakimu gaduh lalu membangunkan ayah dan bunda.“
“Siap, Kak! Sebagai princess yang hari ini sedang berulang
tahun, aku minta dibuatkan cokelat panas yang paling enak sedunia!” perintahku
dengan menirukan gaya seorang puteri raja.
Malam
itu dengan bersijingkat, kita ke dapur untuk membuat dua cangkir cokelat panas.
Sebab dinginnya hujan telah menyergap tubuhmu yang tengah belajar sampai larut.
Aku setia menemani sambil berceloteh banyak hal dan bertanya ini itu.
“Tapi, Yah, bunda takut melukainya … “
Suara Bunda menghentikan langkah kaki kita. Aku dan kau
berdiri di depan pintu kamar mereka sembari menempelkan daun telinga. Menguping
…
“Ayah tahu itu. Tapi bagaimana pun, kita harus menceritakan
yang sebenarnya. Bahwa Cici bukan anak kita yang sesungguhnya. Ia ditukar oleh
ibu kandungnya saat di rumah sakit. Ingat, Nda! Cici hari ini sudah 17 tahun.
Ia semakin dewasa …”
Tanpa pikir panjang, kau menarik lenganku untuk menjauh dari
percakapan yang seharusnya bersifat rahasia itu. Aku tahu kau bingung harus
bersikap bagaimana, apalagi aku yang menjadi tokoh dalam perbincangan tadi.
“Aku tak bisa tidur,“ ucapku lirih.
Kau menarik lengan kananku lagi, lalu kaubawa aku menuju
tempat persembunyian kita. Loteng. Aku terisak pelan sambil membenamkan wajah
di antara kaki yang kutekuk. Kali ini kita bertukar posisi. Giliranmu yang
menemaniku bersama simfoni gerimis yang ritmis. Begitu pilu, menyayat hati.
Sampai ia berhenti seperti hujan-hujan pada hari ulang tahunku yang lalu … ia
pergi tanpa pesan atau kata apa pun.
#4
Ulang tahun ke-20
Ulang tahun ke-20
‘Princessku, ini novel yang kauidamkan itu. Ah, tulislah
sebuah novel juga. Kakak tahu kau suka sekali menulis. Ayolah. Semangaaat! Dan,
selamat ulang tahun, Ciciku.’
Aku
tersenyum dikulum. Kau memang selalu tahu yang kumau.
Kita memutuskan untuk menyimpan rahasia aksi pengupingan ala
detektif malam itu. Tiga tahun berselang. Ayah-bunda pun diam. Tak ada yang
berubah. Semua terlihat baik dan normal. Aku juga tidak mau bertanya lebih
jauh.
Hanya satu yang berubah. Yakni perasaanku padamu. Sejak
kenyataan yang kudengar kala itu, ada sedikit bahagia yang bersemayam dalam
diam. Kau bukan kakak kandungku. Itu artinya, aku diperbolehkan memiliki rasa
yang lebih padamu.
Oh, mungkinkah ini jawaban atas doa yang dulu pernah
kubisikkan pada Tuhan saat hujan turun? Aku mengatakan pada-Nya, “Kelak, aku
menginginkan lelaki yang bisa menjaga cintaku seperti kakak yang selalu
melindungiku.”
Dia mengabulkan permintaanku seperti memberi buah durian. Di
luar durinya tajam, namun rasa di dalamnya sangatlah manis dan
menyenangkan.
#5
Semburat jingga muncul di ufuk barat sungai Rhein. Empat
tahun aku pergi meningglkan rumah dan tanah air. Penyebabnya bukan karena
kenyataan tentang pertalian darah, bahwa aku bukan anak kandung ayah-bunda.
Tapi karena …
“Cici sayaaang! Happy birthday, My Girl! Hadiah ini untukmu.“
seru Kak Rhein antusias petang itu.
“Wow! Coat super elegan dan? Jilbab ini untukku? Terima
kasih, Kak Rhein …”
“Ya. Kuharap kau menjadi seorang muslimah yang sholehah, Dik.
Oh, ada satu lagi. Kado untukmu …” kakak pergi ke luar sebentar dan, “kenalkan,
ini Mbak Sani. Calon mbak iparmu. Kami memutuskan untuk segera menikah. Kau
ingat kan? Kakak pernah cerita sedang dikenalkan pada seorang gadis oleh
sahabat baik kakak.”
Geludaaar! Seketika petir menyambar dahsyat. Hujanpun turun
deras. Kusambut uluran tangan gadis berjilbab itu dengan hati beku, padahal
tangan kiriku saat itu menggenggam cangkir yang berisi cokelat panas.
Bip bip bip! Aku tersadar dari lamunanku. Lalu kubuka pesan
singkat yang masuk ke surelku.
‘Princessku, selamat ulang tahun ke-25. Kapan kaupulang?
Ayah-bunda juga aku, sangat merindukanmu. Pulanglah gadis kecilku. Kau tak
rindu cokelat panas buatan bunda? Oh ya, bulan depan aku dan Sani memutuskan
untuk menikah. Pulanglah, Dik. Kuliahmu sudah selesai, kan?’
Aku kembali tersadar setelah melintasi petala ingatan.
Kulihat parade kegelapan di atas sana segera pentas. Langit bersiap dengan
jubah gelapnya. Angin bertiup kencang, menabrak jilbab berwarna tosca kado dari
Kak Rhein saat ulang tahun ke-20.
Aku tak lagi suka mendengar melodi hujan. Sebab makin buatku
terjebak dalam labirin kenangan. Namun aku terlambat berteduh dari gerimis kali
ini. Kubiarkan air-Nya menyentuh lembut wajahku. Mengalir bersama airmata yang
tersamarkan. Waktu tak selalu berperan menjadi obat. Ia dapat menjadi trailer
drama kehidupan. Aku ingin hujan berhenti dengan pesan sebelumnya, supaya aku
bersiap melangkah maju menyusuri waktu, bertemu pelangi yang warna-warni.
#ChallengeMissCici
😙😙😙
cerita
fiksi ini dipersembahkan untuk salah satu anggota OWOP 2 bernama Cici yg sedang
merayakan berkurangnya jatah usia, ehehehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan komentar dengan bahasa santun :)