21 Februari 2016

Hujan Di Tahun yang Berulang



#1
Ulang tahun ke-6

Ada kenangan pada tiap bulir air dari langit yang jatuh. Kita sama-sama teringat pesan bunda agar meneduh sejenak ketika Tuhan menyapa makhluk-Nya dengan hujan. Namun dengan entengnya, langkah kaki kita berkejaran riang. Kutangkap gurat ketakutan di wajahmu saat menatapku yang menggigil kediginan. Tergopoh kau menggendong tubuhku yang suhunya meninggi dengan tiba-tiba.  Sesampainya di rumah, kau menangis sebagai tanda penyesalan karena sengaja melupakan peringatan dari bunda. Seperti yang kita tahu, bunda hanya tersenyum, membelai rambutmu, dan berbisik pelan, “Tidak apa-apa, sudah … tidak perlu menangis.”
“Selamat ulang tahun, Cici!” Tiba-tiba ayah hadir dengan balon warna-warni di tangannya.
Kemudian empat cangkir cokelat panas buatan bunda makin melelehkan rasa cemas yang sedari tadi bergelayut. Aku bahagia berada di antara kalian, bisikku pada Tuhan. Hujan pun berhenti tanpa pesan sebelumnya.

#2
Ulang tahun ke-11
‘Adikku, Princess Cici. Hadiah buku harian ini untukmu. Kuharap kausuka. Dari kakakmu yang super ganteng.’
Bibirku yang tadinya menyungging senyum, menjadi kerucut setelah membaca pesan pada kado ulang tahun darimu. Ah, aku tak pernah ingin kehilanganmu. Tahukah? Entah kenapa, selalu kelu ‘tuk aku katakan. Namun tanpa kata-kata, kau sangat pahami aku. Isyarat tubuhku, kau yang paling hafal. Bagaimana saat aku merajuk manja, tak senang, sedih, atau saat marah. Sebab itulah aku tak dapat berbohong di hadapanmu. Diam-diam aku menyelipkan doa yang membuat pipiku merona di tepi jendela kamar saat hujan menyapa. Sampai ia pergi tanpa pesan sebelumnya.


#3
Ulang tahun ke-17

Kau berbisik, “Pelan-pelan. Jangan sampai suara langkah kakimu gaduh lalu membangunkan ayah dan bunda.“
“Siap, Kak! Sebagai princess yang hari ini sedang berulang tahun, aku minta dibuatkan cokelat panas yang paling enak sedunia!” perintahku dengan menirukan gaya seorang puteri raja.
Malam itu dengan bersijingkat, kita ke dapur untuk membuat dua cangkir cokelat panas. Sebab dinginnya hujan telah menyergap tubuhmu yang tengah belajar sampai larut. Aku setia menemani sambil berceloteh banyak hal dan bertanya ini itu.
“Tapi, Yah, bunda takut melukainya … “
Suara Bunda menghentikan langkah kaki kita. Aku dan kau berdiri di depan pintu kamar mereka sembari menempelkan daun telinga. Menguping …
“Ayah tahu itu. Tapi bagaimana pun, kita harus menceritakan yang sebenarnya. Bahwa Cici bukan anak kita yang sesungguhnya. Ia ditukar oleh ibu kandungnya saat di rumah sakit. Ingat, Nda! Cici hari ini sudah 17 tahun. Ia semakin dewasa …”
Tanpa pikir panjang, kau menarik lenganku untuk menjauh dari percakapan yang seharusnya bersifat rahasia itu. Aku tahu kau bingung harus bersikap bagaimana, apalagi aku yang menjadi tokoh dalam perbincangan tadi.
“Aku tak bisa tidur,“ ucapku lirih.
Kau menarik lengan kananku lagi, lalu kaubawa aku menuju tempat persembunyian kita. Loteng. Aku terisak pelan sambil membenamkan wajah di antara kaki yang kutekuk. Kali ini kita bertukar posisi. Giliranmu yang menemaniku bersama simfoni gerimis yang ritmis. Begitu pilu, menyayat hati. Sampai ia berhenti seperti hujan-hujan pada hari ulang tahunku yang lalu … ia pergi tanpa pesan atau kata apa pun. 

#4
Ulang tahun ke-20

‘Princessku, ini novel yang kauidamkan itu. Ah, tulislah sebuah novel juga. Kakak tahu kau suka sekali menulis. Ayolah. Semangaaat! Dan, selamat ulang tahun, Ciciku.’
Aku tersenyum dikulum. Kau memang selalu tahu yang kumau.
Kita memutuskan untuk menyimpan rahasia aksi pengupingan ala detektif malam itu. Tiga tahun berselang. Ayah-bunda pun diam. Tak ada yang berubah. Semua terlihat baik dan normal. Aku juga tidak mau bertanya lebih jauh. 
Hanya satu yang berubah. Yakni perasaanku padamu. Sejak kenyataan yang kudengar kala itu, ada sedikit bahagia yang bersemayam dalam diam. Kau bukan kakak kandungku. Itu artinya, aku diperbolehkan memiliki rasa yang lebih padamu. 
Oh, mungkinkah ini jawaban atas doa yang dulu pernah kubisikkan pada Tuhan saat hujan turun? Aku mengatakan pada-Nya, “Kelak, aku menginginkan lelaki yang bisa menjaga cintaku seperti kakak yang selalu melindungiku.”
Dia mengabulkan permintaanku seperti memberi buah durian. Di luar durinya tajam, namun rasa di dalamnya sangatlah  manis dan menyenangkan.

#5
Semburat jingga muncul di ufuk barat sungai Rhein. Empat tahun aku pergi meningglkan rumah dan tanah air. Penyebabnya bukan karena kenyataan tentang pertalian darah, bahwa aku bukan anak kandung ayah-bunda. Tapi karena …
“Cici sayaaang! Happy birthday, My Girl! Hadiah ini untukmu.“ seru Kak Rhein antusias petang itu.
“Wow! Coat super elegan dan? Jilbab ini untukku? Terima kasih, Kak Rhein …”
“Ya. Kuharap kau menjadi seorang muslimah yang sholehah, Dik. Oh, ada satu lagi. Kado untukmu …” kakak pergi ke luar sebentar dan, “kenalkan, ini Mbak Sani. Calon mbak iparmu. Kami memutuskan untuk segera menikah. Kau ingat kan? Kakak pernah cerita sedang dikenalkan pada seorang gadis oleh sahabat baik kakak.”
Geludaaar! Seketika petir menyambar dahsyat. Hujanpun turun deras. Kusambut uluran tangan gadis berjilbab itu dengan hati beku, padahal tangan kiriku saat itu menggenggam cangkir yang berisi cokelat panas.
Bip bip bip! Aku tersadar dari lamunanku. Lalu kubuka pesan singkat yang masuk ke surelku.
‘Princessku, selamat ulang tahun ke-25. Kapan kaupulang? Ayah-bunda juga aku, sangat merindukanmu. Pulanglah gadis kecilku. Kau tak rindu cokelat panas buatan bunda? Oh ya, bulan depan aku dan Sani memutuskan untuk menikah. Pulanglah, Dik. Kuliahmu sudah selesai, kan?’
Aku kembali tersadar setelah melintasi petala ingatan. Kulihat parade kegelapan di atas sana segera pentas. Langit bersiap dengan jubah gelapnya. Angin bertiup kencang, menabrak jilbab berwarna tosca kado dari Kak Rhein saat ulang tahun ke-20.
Aku tak lagi suka mendengar melodi hujan. Sebab makin buatku terjebak dalam labirin kenangan. Namun aku terlambat berteduh dari gerimis kali ini. Kubiarkan air-Nya menyentuh lembut wajahku. Mengalir bersama airmata yang tersamarkan. Waktu tak selalu berperan menjadi obat. Ia dapat menjadi trailer drama kehidupan. Aku ingin hujan berhenti dengan pesan sebelumnya, supaya aku bersiap melangkah maju menyusuri waktu, bertemu pelangi yang warna-warni.

#ChallengeMissCici 😙😙😙
cerita fiksi ini dipersembahkan untuk salah satu anggota OWOP 2 bernama Cici yg sedang merayakan berkurangnya jatah usia, ehehehe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan komentar dengan bahasa santun :)