21 Februari 2016

Aksa-Ra Melihat Dunia



Aku selalu tahu kedatangannya dari aroma parfum yang ia gunakan.
“Hari ini kau datang lebih awal?” tanyaku sembari memersilakannya duduk bersisian denganku untuk menyesap senja yang hari ini tak terlalu jingga. Sebab langit tengah mengenakan jubah abu-abu, kudengar ada gemuruh yang rusuh. Lalu lahirlah gerimis kecil yang membasuh tanah.
“Ya,” Aksa menjawab dengan lengkungan senyum. Betul, aku tahu pasti itu : senyum Aksa.
“Hari ini apa yang kautulis?”
“Tentang hujan dan tanah. Dua paket alam yang diciptakan Tuhan mampu membuat siapa saja paham arti dari rindu. Cobalah kau buka dua telapak tanganmu. Dengarkan riciknya.” ujar Aksa. Lalu kuikuti seperti yang ia katakan.
“Apa yang kaulihat, Ra?” bisik Aksa di telinga kananku.
“Dunia … dan kau,” aku mengulum senyum.
“Maukah kau hidup bersamaku?”
Pertanyaan Aksa yang barusan dan tiba-tiba itu, membuat jiwaku membubung tinggi. Degup jantungku kian kencang, tak kalah riuh dengan guntur yang bersahutan. Kujawab dengan senyum, dan Aksa pasti tahu maksudku.
Aku dilahirkan untuk berkawan-karib dengan gelap. Sepasang mataku tak mampu melihat. Enam bulan lalu, Tuhan berbaik hati mengirim Aksa yang saat itu sedang menulis puisi di pantai Klayar, tempat yang baru saja menjadi saksi pinangannya padaku. Setelah Aksa selesai mencipta bait-bait puisi atau prosa, ia bacakan di hadapanku. Begitulah, cara Tuhan menautkan hati kami.
***



Matahari siap tenggelam. Terdengar dari muda-mudi kian ramai mengunjungi pantai. Kudengar dari celoteh mereka, senja di sini romantis. Ah, Aksa pernah menceritakan tentang senja lewat rangkaian katanya. Sebab itu aku tahu, senja ialah peristiwa alam yang banyak penulis buru untuk mereka pindai lalu dirangkumnya pada huruf demi huruf yang terangkai.

‘Senja menepis benci
pada sengatan sinar matahari
jingganya meneja
hangatnya menyelusup ke jiwa
Sekawanan burung di langit sana,
seolah membentuk kita
Aksa-Ra
kueja cinta’

Aku mengambil tempat yang jarang dilewati pengunjung. Tempat kami, aku dan Aksa. Sambil menunggunya, aku menikmati sepoi angin yang menabrak mahkota panjangku. Ada gemuruh ombak yang menggulung, serta seruling laut yang membuat sesiapa saja akan berdecak kagum.
Ada kaki yang sedang menuju ke arahku. Tapi bukan milik Aksa. Sebab harum parfumnya berbeda. Siapa? Yang tahu tempat ini hanya aku dan Aksa.
“Nona Ra?”
“Ya,”
“Saya Awan, teman baiknya Aksa.”
Deg! Aksa? Ada cemas yang menyelimutiku.
“Ada titipan dari Aksa. Sila dengarkan kaset rekaman ini. Saya menunggu di sini.”
***
Satu tahun berlalu dengan amat cepat. Waktu tak mampu mengubur kenangan. Apatah lagi ada hujan serta tanah yang terkadang menghampiriku. Seperti yang Aksa cakap, ricik air berbenturan dengan tanah menimbulkan aroma yang mencipta rindu. Begitu menusuk kalbu. Akibat, aku terjebak dalam labirin ingatan.
Kini kulihat dunia lewat sepasang netra yang Aksa yang beri untukku. Tuhan mengambilnya lewat kanker yang ia derita setahun lalu. Aku mampu membaca semua bait-bait sajak serta prosa yang ia tulis. Lalu kueja c-i-n-t-a. Namun, aku tak dapat memandang wajahnya, memindai senyumnya.

-sunflower-

1 komentar:

Silakan komentar dengan bahasa santun :)